Latest News

Tuesday, January 29, 2019

TEOLOGI


PRAKATA: REFORMASI & TEOLOGI REFORMED

Teologi merupakan kristalisasi dan sistematisasi dari pengenalan terhadap Alkitab. Teologi orang Kristen merupakan ilmu Ketuhanan yang digali dari Kitab Suci yang diwahyukan Tuhan. Namun pengertian dan penafsiran Alkitab tidak lepas dari pra anggapan-pra anggapan yang kadang-kadang dipengaruhi oleh filsafat-filsafat, kebudayaan dan pengalaman pribadi. Itu sebabnya jika tidak terus-menerus setia kepada Alkitab, maka mungkin terjadi penyelewengan yang berbahaya serta merugikan iman orang Kristen.

Pada zaman Reformasi, gejala ini sangat menonjol, sehingga timbullah semangat mengembalikan iman orang Kristen yang murni dengan jalan satu-satunya : kembali kepada Alkitab. Para Reformator tidak pernah berusaha menegakkan dokrtrin yang baru atau berminat mendirikan gereja yang lain. Mereka semua berniat untuk kembali kepada kepercayaan mereka adalah betul-betul berasal dari Alkitab dan sesuai dengan Pengakuan Iman Rasuli dan Kredo-Kredo yang penting. Maka boleh dikatakan karya Reformator adalah menghidupkan kembali kepercayaan yang murni berdasarkan Alkitab.

Motivasi semacam ini sangat tinggi dan berharga, sehingga jarang terlihat di dalam sejarah, baik sdebelum maupun sesudah Reformasi. Misalnya pada zaman Scholasticisme, Kekristenan berkompromi dengan Aristotelianisme. Sedangkan pada zaman Pencerahan (abad 17-18), teologi Kekristenan dipengaruhi oleh Rasionalisme, Kantianisme, atau abad 19 teologi Kekristenan tunduk kepada Skepticisme yang diwarnai oleh Anti Supranaturalisme dan Anti-metafisika, serta berkompromi dengan Aliran Baru, misalnya: Evolusi dan Naturalisme, sehingga Kekristenan disingkirkan dan Alkitab diabaikan.

Maka kami dengan tegas menghargai perjuangan Teologi Reformed di sepanjang sejarah yang harus mengalami peperangan yang sengit dan beban apologetika yang berat, supaya kebangunan iman Kristen boleh tetap dipertahankan, sampai Tuhan Yesus datang kembali. Dengan motivasi seperti inilah kami mencetak buku ini sebagai pedoman kecil bagi setiap orang untuk mengenal Teologi yang sudah tahan uji itu. Kiranya Tuhan dipermuliakan. Amin.

Jakarta, April 1991

Pdt. DR. Stephen Tong




BAB I : REFORMASI & TEOLOGI REFORMED

SEJARAH TEOLOGI REFORMED

Apakah Reformed itu dan mengapa harus Reformed?

Reformed Theology atau Teologi Reformed adalah salah satu teologi yang seringkali disalah-mengerti dan tidak diterima dengan baik atau diterima dengan pengertian yang sesungguhnya. Sehingga meng-akibatkan banyaknya serangan yang sebenarnya tidak perlu terjadi di dalam sejarah.

Bagian 1 :

Teologi Reformasi dan Teologi Reformed

Kita pertama-tama perlu membedakan Theology of Reformation (Teologi Reformasi) dan Reformed Theology (Teologi Reformed), di samping Theology of Reformed Tradition (Teologi dari Tradisi Reformed). Teologi Reformasi meletus di abad ke 16 dan letusannya terjadi di beberapa tempat yang berbeda. Pertama-tama terjadi di Jerman dengan Martin Luther sebagai pelopornya. Sedangkan yang terjadi di Switzerland dan Perancis dipelopori oleh Yohanes Calvin, dan Zwingli khususnya di Switzerland. Selain itu terjadi juga di beberapa tempat yang lain seperti Inggris. Sebelum terjadinya reformasi oleh Martin Luther dan Calvin yang merupakan suatu peristiwa yang teramat penting, telah terjadi banyak ketidakpuasan terhadap gereja-gereja yang telah menyeleweng atau tidak lagi sesuai dengan Alkitab. Ketidakpuasan ini terjadi di Bohemia, Inggris dan tempat-tempat yang lain, hingga terjadinya Reformasi yang dimulai oleh Martin Luther di Wittenberg, Jerman, barulah gerakan ini menjadi suatui gerakan yang bersifat global dan bersifat memisahkan sejarah menjadi dua era.

Bagian 2 :

Martin Luther

Martin Luther adalah seorang yang berasal dari rakyat biasa dan bukan seorang anak aristokrat. Bahkan dapat dikatakan berasal dari kelas pekerja. Meskipun demikian ia mewarisi pole kehidupan keluarga yangs angat berani, bersungguh-sungguh dan sangat tuntas. Semangat yang demikian membentuknya menjadi seorang yang berusaha melihat segala sesuatu dengan akurat, setia dan jujur/tulus. Suatu semangat yang agung. Di samping itu, berbagai peristiwa yang dialaminya seperti kematian orang-orang yang dekat dengannya dan musibah-musibah yang menimpa kehidupannjya, membuatnya menjadi seorang yang amat serius terhadap iman kepercayaan. Salah satu pertanyaan yang serius bagi hidupnya adalah: apa yang terjadi setelah kematian? Juga pertanyaan mengenai dosa menjadi sangat relevan. Bagaimana supaya kita dapat benar-benar beroleh anugerah Allah? Selain itu, Martin Luther juga dipengaruhi oleh teologi dari Williem of Ockham (1280-1`349), salah seorang teolog besar Medieval (Abad Pertengahan).

Bagian 3 :

Teologi Abad Pertengahan (Medieval Theology)

Apakah Medieval Theology (Teologi Abad Pertengahan)? Masa pertengahan dilatar-belakangi dengan pemikiran Agustinus (354-430) yang berpengaruh besar pada abad 4 dan 5. Kemudian dilanjutkan dengan pemikiran Anselm (1033-1109) yang mempengaruhi sampai abad 11. Setelah itu mulailah periode medieval sampai dengan abad 16. Periode medieval ditandai dengan Medieval Theology dan sekaligus Medieval Philosophy (Filsafat Abad Pertengahan) oleh karena waktu itu keduanya disatukan. Bagi mereka yang belajar secara akademis pada masa itu harus mempelajari keduanya.

Periode medieval juga ditandai dengan kebangunan filosafat Aristoteles pada abad 13. Sebelumnya filsafat Plato-lah yang mempengaruhi arus utama pemikiran filsafat. Kebangunan filsafat Aristoteles tampak dalam pemikiran Teologi Alamiah (Natural Theolopgy). Pemikiran sedemikian mencapai puncaknya dalam pemikiran Thomas Aquinas (1225-1274), yaitu lima jalan untuk membuktikan keberadaan Allah. Pandangan ini didasarkan pada pemikiran Aristoteles yang sekalipun bukan seorang Kristen dianggap memiliki sejenis iman kepercayaan yang dapat membuktikan keberadaan Allah yang dapat dikatakan sangat ortodoks. Hal ini hampir menimbulkan kepercayaan – apakah harus melalui Kitab Suci orang baru dapat percaya bahwa Allah itu adalah Allah yang Esa. Menurut pikiran ini: Tidak. Manusia tidak lagi memerlukan berkat khusus dan karunia dari Roh Kudus untuk meyakini dan memikirkan bahwa keberadaan Allah itu sesuatu yang logis. Filsafat Aristoteles bukan hanya mempengharuhi Kekristenan tetapi juga mempengaruhi Yudaisme dan Islam. Metode dan logika Aristoteles sangat dijunjung tinggi pada masa itu, bahkan dianggap sebagai satu-satunya filsuf dalam dunia akademis.

Pandangan filsafat dan teologi Abad Pertengahan dapat kita sarikan dalam beberapa arus pemikiran, yaitu arus yang mementingkan rasio menjurus ke bidang akademis dan arus yang tidak mementingkan rasio menjurus ke arah mistiksisme. Selain itu terdapat dua arus yang penting, yaitu realisme dan nominalisme.

Bagian 4 :

Awal Reformasi

William of Ockham, salah seorang teolog abad pertengahan mempengaruhi Martin Luther yang merangsang pemikiran teologinya. Sekaligus mendorongnya untuk memiliki kepercayaan yang sejati dan pengalaman pribadi yang benar dengan Tuhan Allah. Sebaliknya Martin Luther menyaksikan kemerosotan gereja pada waktu itu baik dalam hal kesucian hidup maupun iman.

Pada suatu kali ketika Luther sedang berjalan di bawah siraman hujan, maka tiba-tiba halilintar menyambar di depan dia. Ia begitu takut dan merasa seolah-olah murka Allah telah ditumpahkan kepadanya. Dan saat itu, ia memperoleh gerakan yang besar di dalam hatinya, untuk hidup dalam kesucian agar tidak ditimpa murka Allah dan memutuskan untuk masuk biara. Selama di dalam biara, Martin Luther tidak terpengaruh ajaran Aristoteles melainkan ajaran Agustinus, salah seorang bapa gereja yang memiliki kecenderungan tradisi Plato.

Sebagai seorang yang menganut ajaran Agustinus, Martin Luther memperoleh kesempatan diutus pergi ke Roma. Suatu kota tempat ziarah untuk menyucikan diri. Roma dianggap tempat yang suci oleh karena di sana terdapat kuburan Petrus yang merupakan Paus pertama serbagai utusan Kristus. Selama beberapa kali kunjungannya ke Roma, Martin Luther akhirnya makin menyadari suatu kesedihan di dalam jiwanya yang tidak dapat ditahannya lagi. Oleh karena ia menyaksikan kerusakan moral dan korupsi, serta sikap hidup munafik dan bertentangan dengan Kitab Suci dan orang-orang yang menjadi pemimpin-pemimpin gereja.

Bagian 5 :

Latar Balakang Pemikiran Luther

Pergolakan dalam jiwa Martin Luther tidak dapat dipisahkan dari keadaan yang terjadi pada waktu itu. Pada abad 15, Renaissance mencapai puncaknya sebagaimana yang pernah diuraikan dalam Seminar Pembinaan Iman Kristen mengenai “Iman Kristen dan Liberalisme.” Renaissance merupakan suatu pengembalian yang didorong oleh semangat manusia akibat keunggulan-keunggulan yang pernah dicapai manusia dalam Yunani kuno. Mereka berusaha menggali kembali potensi-potensi yang ada dan kemungkinan-kemungkinan yang pernah dicapai oleh manusia di dalam dirinya sendiri sebagai makhluk yang bebas. Manusia memang mempunyai hak asasi dan manusia mempunyai kehormatan alamiah. Periode renaissance mencapai puncaknya dalam high-renaissance dan hasil karya seni didominasi oleh Michelangelo, Leonardo da Vinci dan Raphael.

Pada masa itu, para pemimpin gereja juga sedang nmembangun suatu gedung gereja yang terbesar di dunia, yaitu Basilea Santo Petrus di Vatikan. Gedung itu dilengkapi dengan suatu kubah yang terbesar dan agung di dunia. Kubah itu dirancang oleh Michelangelo yang adalah seorang tokoh high-renaisance di Italia. Ketika gedung gereja tersebut sedang dibangun ternyata pihak gereja mengalami kekurangan dana. Dan untuk menutupi kekurangan dana inilah, maka pihak gereja mulai menjual surat pengampunan dosa sebagai jalan pengampunan atas dosa. Untuk itu pihak gereja juga berusaha menyadarkan umatnya akan banyaknya dosa mereka sehingga mereka lebih banyak membeli surat pengampunan dosa.

Keadaan ini membuat Martin Luther tidak dapat menunggu lagi untuk melawan kerusakan gereja yang telah melawan Kitab Suci. Hal ini membangkitkan suatu pertanyaan dalam diri kita. Dari mana timbulnya kerusakan gereja? Jika kita merasa gereja telah mengalami kerusakan, maka di mana letaknya kerusakan itu? Apakah orangnya yang rusak atau kelakuannya? Apakah sistemnya atau ajarannya? Jika yang rusak adalah sistemnya maka perbaiki sistemnya. Jika yang rusak adalah orangnya, maka perbaiki orangnya. Jikalau organisasinya rusak, maka perbaiki organisasinya. Tetapi kerusakan gereja telah mencapai puncaknya dan mencemari segala aspek kehidupannya.

Martin Luther memiliki penglihatan yang s angat berbeda. Ia tidak hanya melihat gejalanya saja, tetapi akar masalahnya, yaitu aspek doktrin. Aspek doktrin menjadi dasar bagi kehidupan gereja oleh karena dari situ mempengaruhi seluruh aspek kehidupan. Mengapa sekarang kita harus mementingkan doktrin yang benar? Oleh karena sejak zaman para rasul dan Reformasi abad 16, mereka melihat titik pusat permasalahan terdapat pada doktrin. Seperti halnya roda hanya dapat berfungsi dengan baik jika porosnya tepat di tengah. Martin Luther telah melihat apa yang menjadi dasar kerusakan itu, yaitu doktrin yang tidak sesuai dengan Alkitab. Doktrin atau ajaran yang tidak sesuai dengan Alkitab tidak mempunyai otoritas yang sejati. Tanpa otoritas yang sejati maka manusia kehilangan kriteria yang mutlak. Tanpa kriteria yang mutlak, manusia kehilangan jalur yang tepat untuk taat. Dan tanpa jalur untuk taat, manusia akan memiliki kebebasan yang palsu.

Selain Martin Luther, pada wakjtu itu banyak orang memiliki ketidakpuasan terhadap gereja. Hal ini telah menjadi suatu yang diketahui umum dan tidak dapat disembunyikan lagi. Rakyat menyaksikan kerusakan gereja bahkan kadang kala kerusakan itu melebihi kerusakan yang terjadi dalam kalangan orang biasa. Meskipun demikian para pimpinan selalu mengatakan, “Beginilah firman Tuhan....” Oleh karena mereka beranggapan bahwa para pemimpin adalah wakil Tuhan dan rakyat harus menaati mereka. Hal ini semakin menambah kejenuhan dan kebencian rakyat mendengarkan mereka.

Keadaan ini memperlihatkan kepada kita ketidak-adilan, para pemimpin berhak mengeritik rakyat dengan dukungan ayat-ayat Alkitab, sedangkan rakyat tidak berhak mengeritik pada pimpinan. Keadaan ini membuat orang-orang mulai meninggalkan gereja, namun mereka tetap terikat oleh gereja sebab keselamatan hanya terdapat di dalam gereja.

Pandangan ini berasal dari tradisi yang dimulai oleh Eusebius. Keselamatan hanya di dalam gereja berarti keselamatan berada di dalam Kristius, dan gereja adalah tubuh Kristus; maka melalui tubuh Kristus diberitakan Injil Yesus Kristus yang membuat manusia beroleh keselamatan. Sehingga jelaslah bahwa di luar agama Kristen dan gereja Kristus tidak ada keselamatan yang dapat diberitakan kepada manusia berdosa. Pernyataan ini benar. Namun pernyataan keselamatan hanya di dalam gereja kemudian dimengerti sebagai di dalam gereja saya baru mendapat keselamatan dan di luar gereja saya pasti binasa. Dan gereja yang dimaksud adalah gereja Roma.

Dalam keadaan sedemikian, apa yang harus dilakukan oleh Martin Luther? Martin Luther melihat bahwa poros tidak lagi berada pada posisinya yang benar sehingga mengakibatkan begitu banyak terjadinya kerusakan. Orang kebanyakan tidak melihat hal ini. Mereka tidak melihat akar permasalahannya, dan tidak memperdulikan doktrin, sama seperti orang Kristen masa kini yang mengabaikan doktrin. Tetapi sebaliknya Martin Luther melihat kepentingan doktrin dalam permasalahan yang dihadapinya.

Jikalau orang kebanyakan melihat luarnya, Martin Luther melihat dalamnya. Mereka kebanykan adalah orang-orang humanis yang membela hak kehormatan, kebebasan dan potensi manusia. Mereka tidak sembarangan mau menaklukkan hak dan kehormatan manusia di bawah otoritas-otoritas yang mengikat dan menghina kehormatan manusia. Dan mereka berusaha menentang dan menghina gereja secara terpisah, sendiri-sendiri dan tidak terorganisir. Namun oleh karena gereja memiliki kekuatan yang kokoh, maka mereka hanya memaki-maki, mengejek dan setelah itu selesai.

Di antara orang-orang humanis ini terdapat pula orang-orang terpelajar yang luar biasa. Mereka menentang gereja namun tidak berarti mereka menghina dan mengabaikan Alkitab. Mereka melihat kitab begitu suci dan melihar gereja begitu najis. Alkitab begitu tinggi dan gereja begitu rendah. Para humanis ini dapat kita bagi dalam dua bagian, yaitu humanis yang memiliki iman Kristen dan humanis yang ateis. Para humanis Kristen ini selain mementingkan kehormatan manusia, mereka juga menaklukkan diri di bawah kuasa Kristus; sedangkan humanis ateis sama sekali tidak mempedulikan iman atau agama, sebaliknya mereka menekankan otonomi manusia tanpa ikatan agama.

Selain martin Luther yang adalah seoranmg biarawan yang mempelajari skolastiksisme menurut tradisi Agustinus, maka kebanyakan reformator lainnya mempunyai latar belakang humanis seperti John Calvin, Ulrich Zwingli dan Guillaume Farel. Luther sendiri memiliki seorang kawan baik yang bernama Philip Melanchthon. Melanchthon adalah seorang jenius yang menjadi profesor pada usia 17 tahun.

Martin Luther menyadari kerusakan gereja hanya dapat diperbaiki jikalau doktrin dikembalikan kepada Alkitab; sebalinya Desiderius Erasmus, seorang humanis, berpendapat bahwa perbaikan hanya perlu dalam hal moral tanpa mengganggu gugat doktrin. Untuk itu ia menulis sebuah buku, “Memuji Orang Bodoh”, yang membongkar semua dosa-dosa para biarawan dan biarawati, dan para pimpinan gereja, namun ia tidak berusaha memperbaiki doktrin oleh karena menurutnya manusia masih memiliki kebebasan netral. Kemudian ia menulis sebuah buku, “Diatribe on Free Will” (Kehendak Bebas – 1524). Martin Lurther menyadari bahwa Erasmus belum melihat akar permasalahannya. Itulah sebabnya ia menulis sebuah buku, “The Bondage of The Will” (Perbudakan Atas Kehendak – 1525). Martin Luther tidak menyangkal kalau manusia memiliki kehendak tetapi kehendaknya sudah tidak netral lagi, oleh karena kehendak manusia telah dibelenggu oleh dosa.

Bagian 6 :

Gerakan Reformasi

Maka tibalah kita pada pertanyaan: Apakah gerakan Reformasi itu? Apakah gerakan reformasi adalah suatu gerakan untuk mengubah sistem masyarakat, kebudayaan, politik atau ekonomi? Jawabannya adalah tidak! Apakah gerakan reformasi mempunyai akibat terhadap kebudayaan, politik, ekonomi? Jawabannya: Ya!

Gerakan Reformasi, pertama-tama, bukan bertujuan merombak sistem politik, kebudayaan, atau masyarakat sekalipun berdampak ke dalam seluruh aspek kehidupan manusia.

Kedua. Apakah reformasi adalah suatu gerakan yang hanya menyerang dan berusaha untuk membereskan dosa-dosa yang diperbuat oleh para ulama dan hirarki gereja Roma saja? Jawabannya: Tidak! Apakah gerakan reformasi adalah suatu gerakan yang akhirnya berdampak menghantam dosa-dosa yang diperbuat oleh para ulama dan pemimpin gereja Roma waktu itu? Jawabannya: Ya! Reformasi pertama-tama tidak bertujuan membereskan dosa kemudian selesai dan berhenti.

Ketiga. Apalkah reformasi adalah suatu gerakan yang bertujuan mendobrak segala wibawa yang diturunkan dalam tradisi dan otoritas pemimpin sehingga manusia boleh mencapai kebebasan dan kehormatan sebesar mungkin? Jawabannya; Tidak. Tetapi apakah gerakan reformasi mengakibatkan banyak tradisi dan banyak oitoritas yang harus dibongkar dan kebebasan manusia dipulihkan kembali? Jawabanya: Ya. Bukan tujuan reformasi untuk membongkar semua tradisi, semua otoritas dan semua kewibawaan-kewibawaan yang ada dalam hirarki agama. Tetapi akibatnya tidak dapat dibendung lagi bahwa banyak tradisi dan otoritas yang tidak sesuai Alkitab harus diturunkan, sehingga manusia memperoleh kebebasan-kebebasan kembali. Semua ini merupakan akibat sampingan (side-effect).

Keempat. Apakah gerekan reformasi bertujuan untuk menghentikan segala macam uoacara dan adat-adat gereja yang tidak sesuai dengan Alkitab? Jawabannya tetap tidak! Tetapi, apalkah gerakan reformasi mengakibatkan terjadinya pengoreksian terhadap segala macam upacara, adat dan warisan-warisan tradisi gereja? Jawabannya: Ya! Kita perlu memiliki kejelasan apakah sebenarnya gerakan reformasi itu. Setelah itu kita baru dapat menyelami teologinya.

PENGERTIAN GERAKAN REFORMASI

Apakah Gerakan Reformasi ini?

Reformasi adalah satu gerakan yang hendak mengembalikan Kekristenan kepada otoritas Alkitab, dengan iman kepercayaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Wahyu Allah. Dan mempertahankan kebenaran serta pelaksanaan kebenaran. Ini merupakan suatu gerakan yang begitu murni dan memiliki tempat yang begitu penting dalam sejarah gereja. Begitu bermakna, begitu penting, begitu unik oleh karena motivasinya begitu jujur dan murni, yaitu ingin mengembalikan Kekristenan kepada Kitab Suci saja.

Peristiwa dan gerakan reformasi tidak boleh kita abaikan, oleh karena Luther melihat bahwa hanya dengan doktrin atau ajaran yang berotoritaskan Alkitab baru kita dapat mengatur segala sesuatu, ini adalah porosnya. Pada waktu itu begitu banyak otoritas yang berusaha mengontrol manusia dan manusia bersandar padanya sehingga manusia kehilangan porosnya. Jikalau para pemimpin gereja Roma menyatakan pengampunan dosa, maka umat merasa memperoleh penghiburan, tetapi lebih besar lagi jikalau memiliki surat pengampunan dosa yang berasal dari Paus, apalagi memiliki benda peninggalan para rasul atau Yesus, semua itu dianggap suci dan menjadi tempat sandaran yang kuat dan meneguhkan iman.

Martin Luther menyadari bahwa otoritas hanya terdapat pada Alkitab. Oleh karena dari Alkitab kita beroleh pengharapan iman. Iman pengharapan berdasarkan Alkiutab, otoritas tertinggi oleh karena diwahyukan oleh Allah. Jikalau bukan Allah yang mewahyukan Alkitab maka tidak ada Firman Tuhan di dalam dunia. Jikalau tidak ada Firman Tuhan maka kita akan kehilangan otoritas yang sejati. Itulah sebabnya kita harus kembali kepada otoritas Alkitab.

Pada saat kita kembali kepada Alkitab, barulah kita menyadari di mana letaknya penyelewengan itu terjadi, baik di dalam organisasi, upacara, tradisi, individu, administrasi, kuasa politik, sosial, ekonomi, kebudayaan, maupun dalam bidang-bidang yang lain. Hanya dengan tolok ukur pengajaran Alkitrab, kita dapat menilai segala sesuatu. Jelaslah bahwa doktrin itu adalah suatu hal yang penting dan tidak dapat diabaikan. Surat Efesus memberikan contoh yang jelas mengenai hal ini. Dalam susunan ke-enam pasalnya, surat Efesus dimulai dengan pasal pertama yang menjelaskan mengenai predestinasi, yaitu sebelum dunia dijadikan Allah telah memilih kita di dalam Kristus untuk memperoleh warisan yang mulia sesuai dengan janji-Nya. Dilanjutkan dengan pasal ke-dua yang menguraikan bagaimana kita yang telah mati dalam dosa dapat beroleh keselamatan di dalam Kristus. Kemudian pasal ke-tiga menjelaskan mengenai rahasia yangmelampau sejarah di sepanjang zaman, dan yang sekarang kita beroleh karunia untuk mengertinya, dan dipersatukan menjadi satu tubuh dalam Kristus.

Kita beroleh warisan bersama dengan Kristus dan dengan iman, kita menerima kasih Kristus yang begitu tinggi, dalam, lebar dan panjang. Setelah itu dalam pasal ke-empat dijelaskan mengenai kesatuan tubuh Kristus yang dibentuk dalam satu Roh, satu baptisan, satu tubuh, satu pengharapan, dan satu iman. Semuanya ini menjadi dasar kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan keluarga sebagaimana diuraikan dalam pasal ke-lima, dan kehidupan dalam hubungan antara tuan dan hamba dalam pasal ke-enam. Paulus memberikan kerangka yang begitu jelas bahwa doktrin yang benar menjadi dasar kehidupan yang benar, baik dalam kehidupan gereja dan masyarakat. Dari vertikal ke arah horisontal. Kita tidak dapat mengabaikan aspek vertikal hanya oleh karena ingin segera terlihat sukses dan berkembang.

Reformasi melihat permasalahan dengan tepat berdasarkan doktrin yang diajarkan Alkitab. Seorang rohani adalah seorang yang melihat segala sesuatu dengan jelas dan menerobos. Sebaliknya orang yang tidak rohani tidak dapat melihat dengan jelas akar permasalahannya, dan hanya melihat carang-carangnya. Seorang dokter yang pandai akan segera melihat sumber penyakit, bukan hanya melihat gejalanya saja.

Bagian 7 :

95 Tesis Reformasi

Martin Luther dengan penuh keberanian memakukan 95 pernyataan mengenai iman kepercayaan Kristen pada pintu gereja di Wittenberg, Jerman. Martin Luther memberanikan diri melawan yang salah dan menyatakan yang benar. Namun sayang sekali, kota Wittenberg sekarang ini tidak lagi menampakkan pengarih dari gerakan reformasi.

Berikut ini kita akan mempelajari beberapa tesis dari 95 pernyataan Martin Luther untuk mengerti apa yang diperjuangkannya.

Tesis yang pertama, Tuhan Yesus Kristus dan Guru kita mengatakan, “Bertobatlah kamu”, ini berarti seluruh hidup kaum beriman adalah hidup pertobatan.

Tesis kedua, penyesalan dan pengakuan dosa, tidak dapat dimengerti sebagai suatu upacara pertobatan dan tidak berarti, mengaku dosa supaya diampuni di hadapan pastor.

Tesis ke-lima, Paus tidak ada hak untuk meniadakan hukuman apa pun.

Tesis ke-enam, Paus tidak berhak meniadakan dosa, paling tidak dia hanya bisa meniadakan kasus-kasus yang dia pelihara.

Tesis ke-duapuluh satu, semua karcis penebusan dosa dan pemberitaan pengampunan seperti ini adalah salah.

Tesis ke-tigapuluh, jikalau manusia tidak ada pegangan untuk pertobatan diri yang sejati, maka lebih lagi tidak mungkin berpegangan pada janji Paus yang memberikan pengampunan dosa secara total.

Tesis ke-tigapuluh dua, jikalau ada orang percaya setelah memiliki dokumen pengampunan dosa, maka keselamatannya sudah ada pegangan. Sudah dipastikan, dia harus dijatuhi hukuman beserta orang yang mengajar demikian.

Tesis ke-tigapuluh enam, setiap orang Kristen meskipun tidak memiliki dokumen pengampunan dosa, tetapi dengan sungguh-sungguh bertobat, maka ia berhak mendapat pengampunan atas seluruh dosa dan kesengsaraannya.

Tesis ke-empatpuluh tiga, orang Kristen harus mengetahui menolong orang miskin, dan menjalankan sedekah adalah jauh lebih penting daripada membeli karcis pengampunan dosa.

Tesis ke-lima-puluh, orang Kristen harus mengetahui, jikalau Paus menyadari adanya pemaksaan (Kalau tidak beli, nanti saya marah) dan jikalau Paus menyadari paksaan-paksaan dan korupsi-korupsi yang dijalankan oleh bawahannya, dia lebih baik menghancurkan gereja Petrus menjadi abu dan jangan membangunnya dengan mengorbankan kehormatan darah Anak Domba Allah.

Tesis ke-enampuluh dua, pusaka gereja yang sejati adalah Injil yang memiliki kemuliaan dan anugerah Allah.

Tesis ke-tujuhpuluh sembilan, jikalau dikatakan: “Salib yang digantung di atas tubuh Paus mempunyai kuasa sama dengan salib Krisrtus”, maka ini merupakan penghujatan.

Tesis ke-delapanpuluh tujuh, jikalau manusia bertobat dengan sempurna berarti dia sudah mendapatkan hak pengampunan yang sempurna, dia tidak perlu lagi pengampunan dari Paus.

Demikian beberapa pernyataan dari 95 pernyataan Martin Luther.

Menyusul penempelan 95 tesis tersebut yang menimbulkan kemarahan besar, Martin Luther akhirnya harus disembunyikan oleh orang yang bersimpati kepadanya. Martin Luther telah memberikan sumbangsih yang besar bagi pemulihan gereja. Ia menyerukan agar setiap orang Kristen kembali kepada Alkitab. Untuk itu ia menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Jerman yang sampai sekarang terjemahan tersebut masih dianggap salah satu versi yang paling baik. Tidak saja demikian, terjemahan bahasa Jerman yang dikerjakan oleh Luther menjadi satu dasar bahasa Jerman modern. Ia adalah seorang intelektual yang mempersembahkan dirinya untuk pekerjaan Tuhan.

Bagian 8 :

Perlawanan dengan Gereja Roma Katolik

Bagi seorang biasa yang berada di bawah kuasa gereja Roma Katolik waktu itu, jika ingin diselamatkan, menerima anugerah, dan mau beriman, maka dia harus dikasihani oleh pastornya. Pastor memiliki kuasa yang lebih tinggi daripada dia, dan paling tinggi adalah Paus. Darimana Paus mempunyai kuasa seperti itu? Oleh karena Paus adalah utusan Allah, yang diangkat oleh Paus sebelumnya dan Paus yang pertama adalah Petrus, dan Petrus diangkat oleh Kristus. Kekuasaan itu merupakan tradisi yang diturunkan terus-menerus ke generasi selanjutnya. Kristus memberikan kunci itu kepada Petrus, lalu Petrus menurunkannya ke generasi yang lain dengan penumpangan tangan.

Setiap pastor diyakini memiliki tanda Petrus. Jadi kalau sekarang saya mengampuni dosamu maka dosamu diampuni, kalau tidak maka tidak terhapuskan. Sedangkan para pendeta Protestan tidak memiliki tanda itu, sehingga jika sekarang mengikuti gereja tersebut, padahal gereja yang sah adalah gereja Roma Katolik, maka mereka tidak akan memperoleh pengampunan. Sekarang bagaimana? Pada waktu itu, orang-orang Kristen yang telah memutuskan hubungan dengan gereja Roma dan menerima ajaran reformator dikucilkan. Namun mereka tetap setia oleh karena mereka percaya bahwa otoritas tertinggi adalah Alkitab, bukan hirarki atau tradisi.

Dalam keadaan seperti itu, ajaran Predestinasi sangat memberikan kekuatan kepada mereka. Mereka menyadari bahwa mereka menjadi orang Kristen bukan kareena ditumpangi tangan oleh pemimpin gereja, atau karena diakui oleh Paus, melainkan karena dipilih oleh Allah sebelum dunia dijadikan. Mereka memperoleh identitas yang kokoh lebih daripada segala sesuatu yang ada di sekitar mereka. Mereka memiliki kepastian sebagai milik Tuhan sekalipun dunia ini hancur.

Ajaran Alkitab mengenai Predestinasi yang diajarkan oleh reformator memberikan kekuatan yang luar biasa. Jikalau bukan rencana Allah dalam kekekalan, tidak mungkin terdapat sesuatu yang baik dalam kesementaraan ini. Dari kekekalan, ketetapan Allah yang kekal (eternal decree of God) diterapkan dalam proses dinamis sejarah (dynamic process of history) sehingga terjadi sesuatu yang nyata dalam sejarah. Itulah sebabnya pengucilan, hukuman mati ataupun pengadilan agama tidak dapat membelenggu orang yang sudah menaruh iman kepercayaan di dalam otoritas Kitab Suci.

BAB II : REFORMASI & TEOLOGI REFORMED

TEOLOGI REFORMASI

Bagian 1 :

Hal-Hal Penting dari Gerakan Reformasi

Selanjutnya kita akan melihat lagi beberapa hal yang penting dalam Gerakan Reformasi.

Pertama. Reformasi mwenyadari pentingnya anugerah Allah. Teologi Anugerah (Thelogy of Grace) ditegakkan kembali oleh para reformator. Anugerah yang tidak bersandarkan jasa manusia, tidak bersandarkan kepada kelakuan manusia, tidak bersandarkan segala kebajikan atau usaha dari pada manusia, dan tidak bersandarkan pergumulan manusia. Anugerah merupakah suatu pemberian dari pada Allah secara cuma-cuma. Itulah anugerah. Dan bagi Martin Luther, anugerah hanya boleh didefinisikan dan menjadi jelas dalam satu kalimat, yaitu pengampunan dosa. Anugerah sama dengan pengampunan dosa. Maka jelaslah, jikalau anugerah adalah pengampunan dosa, maka tidak seharusnya dibeli dengan uang untuk memperoleh karcis pengampunan dosa. Martin Luther berjuang melepaskan manusia dari hal-hal yang di buat oleh manusia yang sama sekali tidak Alkitabiah. Ini adalah satu perjuangan yang penting.

Pandangan ini sama dengan pandangan Calvin dan Zwingli, yaitu: Allah dengan cuma-cuma memberikan pengampunan dosa, memberikan peranakan pula (kelahiran kembali) , dan memberikan pembenaran kepada manusia yang berdosa. Semua reformator menerima konsep anugerah ini. Tanpa penegakan kembali konsep anugerah sesuai dengan Alkitab, kita tidak mungkin mempunyai hidup yang benar-benar memberikan syukur dan kemuliaan dengan sesungguhnya pada Allah.

Dalam kaitan dengan pokok ini, kita perlu memperhatikan satu hal. Philip Melanchthon (1497-1560) seorang kawan baik Martin Luther yang membuat pengakuan iman Augsburd (1530) memasukkan unsur manusiawi dalam menerima anugerah, yaitu manusia beriman, di mana seolah-olah terdapat kerja sama antara Allah dan manusia. Pandangan ini ditolak oleh Martin Luther. Maka jelaslah pada reformator memiliki kesamaan dalam mengerti konsep anugerah sesuai dengan Alkitab. Sedangkan perubahan terjadi setelah para reformator itu.

Kedua. Para reformator menekankan mengenai iman kepercayaan. Iman kepercayaan bukan semacam pengakuan intelektual saja terhadap doktrin yang dipaksakan. Juga bukan semacam pengertian ajaran yang hanya bersifat rasionil saja. Tetapi iman kepercayaan bagi Luther adalah sesuatu penerimaan atas penerimaan (The acceptance of the acceptance). Artinya, anugerah diberikan kepada kita, yaitu Allah menerima orang berdosa. Konsep ini begitu jelas tetapi tidak logis. Bagaimana Allah yang suci, adil dan bajik dapat menerima dosa dan kenajisan? Padahal orang berdosa diterima dalam anugerah bukan oleh jasa ataupun perbuatan manusia itu. Sekalipun sulit dimengerti oleh rasio kita, namun kita tetap boleh menerima bahwa Allah berkenan menerima kita, itulah iman. Jadi penerimaan atas penerimaan.

Kita menerima sesuatu fakta bahwa Allah telah menerima kita yang tidak patut diterima. Kita sekarang terima fakta ini. Inilah fakta kepercayaan. Iman adalah sesuatu penyerahan total di hadapan anugerah Allah yang menghentikan segala pergumulan atau penyandaran kepada diri yang tidak layak, sebaliknya melihat Dia yang melayakkan kita. Konsep ini sangat jelas dipertahankan oleh para reformator baik Calvin, Melanchthon maupun Farel. Mereka menyadari kepentingan iman oleh karena iman bukan suatu usaha kita sehingga kita menjadi layak.

Iman justru menerima apa yang Kristus kerjakan dan genapi untuk melayakkan kita. Hal ini menjadi dasar pemikiran reformasi (Theology of Reformation). Iman bukan usaha kita untuk beroleh kelayakan di hadapan Tuhan, melainkan justru menghentikan segala pergumulan, dan menerima apa yang telah digenapi oleh Kristus untuk melayakkan kita. Pengertian semacam ini dapat menimbulkan kesalah-mengertian bahwa teologi reformasi dan teologi reformed menganggap kelakuan tidak penting. Oleh karena bukankah semua telah dilayakkan? Tidak! Ajaran ini tidak mengabaikan kewajiban kita untuk berbuat baik dan hidup suci.

Sejarah mencatat kira-kira 120-150 tahun sesudah reformasi terjadi lagi kerusakan dalam gereja Lutheran. Oleh karena kesalahan pengertian dan penyelewengan ajaran ini (misunderstanding all of theology of grace). Jikalau kita salah mengerti akan konsep anugerah maka kita tidak akan hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Iman yang sejati akan menghasilkan kelakuan yang benar, melalui anugerah yang diterima oleh iman. Dalam iman kita menerima bahwa Tuhan telah menerima kita. Dan dalam penerimaan itu, kebenaran (rightousness) Allah yang diberikan kepada kita akan menghasilkan kehidupan yang sesuai dengan kehendak Allah.

Dari reformasi kita menemukan bahwa tidak ada teologi yang memperbolehkan kita melarikan diri atau melalaikan diri dari kewajiban untuk berbuat baik, sebaliknya segala perbuatan baik kita merupakan akibat dari iman kita dalam Kristus yang memberikan hidup yang berbuah.

Ketiga. Pandangan yang penting dari para reformator baik Martin Luther, Calvin, maupun Zwingli, yang menjadi prinsip dasar teologi reformasi adalah pandangan mereka terhadap Alkitab dan kedudukannya. Bagi Luther, Alkitab identik dengan Firman Allah (The Word of God). Jadi Alkitab adalah Firman Allah. Oleh karena Alkitab diberikan melalui para rasul dan para nabi yang digerakkan dan diilhami langsung oleh Roh Kudus. Jadi Roh Kuduslah yang menjadi penulis dan penanggungjawabnya, sehingga perkataan-perkataan Alkitab adalah identik dengan Firman Allah. Sedangkan Calvin menerapkannya lebih mendalam bahwa dengan pikiran ini kita dapat menerima Firman dari Roh yang telah mewahyukan dengan memberikan kepada kita iluminasi sehingga dapat menafsirkannya dengan benar. Jadi selain Alkitab diwahyukan oleh Roh Kudus, maka Alkitab juga harus dimengerti melalui iluminasi Roh Kudus agar kita dapat menafsirkannya dengan benar.

Dengan demikian maka para Reformator harus berhadapan dengan berbagai penafsiran Alkitab yang tidak dapat dipertanggung jawabkan yang merajalela di dalam gereja. Dan ini menghasilkan suatu revolusi yang besar. Cara penafsiran Alkitab yang tidak benar harus diperangi. Ini menjadi permulaan gerakan untuk menyelidiki dan mempelajari hermeneutika (bagaimana menafsirkan Alkitab). Banyak hal yang sebelumnya dianggap wajar dan diterima secara umum, sekarang mulai ditolak, misalnya khotbah-klhotbah alegoris. Para reformator sangat menekankan arti sesungguhnya dari setiap bagian Alkitab untuk mengetahui maksud Tuhan yang sebenarnya bagi kita melalui bahasa yang terdapat dalam Alkitab. Mereka menolak penafsiran yang sembrono. Oleh karena setiap ayat diinspiorasikan oleh Roh Kudus, maka kita perlu memperhatikan pemakaian bahasa untuk mengerti artinya setepat mungkin. Tuntutan yang ketat ini mengakibatkan semangat menyelidiki bahasa asli Alkitab supaya dapat mengerti dengan akurat.

Para reformator juga tidak mengabaikan kaitan antara perkataan dan maksud Roh Kudus yang melampaui perkataan. Oleh karena jikalau kita hanya terpaku kepada perkataan dan tidak melihat hal yang melampaui perkataan, kita dapat menjadi statis dan diikat oleh bahasa yang sangat terbatas. Tetapi bagaimana kita tetap menjaga keakuratan dalam mengerti makna yang melampaui perkataan tersebut. Untuk itu kita perlu menjaga keseimbangan pengertian Alkitab yang bersifat menyeluruh. Keseimbangan Alkitab yang bersifat menyeluruh ini merupakan satu prinsip yang penting sekali. Inilah sebabnya para reformator, khususnya Calvin, berusaha memberikan pengajaran yang meliputi keseluruhan Alkitab yang diuraikannya dalam buku tafsiran Alkitab yang dikerjakannya dengan teliti dan bukan asal mengambil ayat untuk dikhotbahkan.

Calvin memberikan tafsiran Alkitab yang sistematis sehingga gereja memperoleh pengajaran yang utuh, seimbang dan meliputi keseluruhan Alkitab. Sekalipun Calvin adalah seorang yang menderita penyakit sesak napas yang sangat mengganggu di dalam dia menyampaikan Firman Allah, ia tetap bersandar kepada kedaulatan Allah atas seluruh kehidupannya. Banyak orang dari berbagai negara datang untuk mendengarkan khotbahnya seperti dari negara-negara Eropa Utara sampai Skotlandia. Semua ini mendorongnya untuk menyampaikan pengajaran yang benar dan mendasar. Dan penyakit sesak napas yang dideritanya justru membawa berkat bagi para pendengarnya oleh karena mereka beroleh kesempatan untuk mencatat semua khotbah-khotbahnya dan memperbaiki tulisan mereka yang salah. Kedaulatan Tuhan nampak dalam seluruh kehidupan Calvin. Apakah Saudara selalu memuji dan bersyukur kepada Tuhan atas segala sesuatu? Bagi orang yang mengasihi Tuhan semua menjadi indah, sebaliknya bagi mereka yang tidak mengasihi Tuhan segala sesuatu menjadi buruk.

Bagi para reformator, penelaah Alkitab yang resmi dan paling berotoritas adalah Roh Kudus. Oleh karena hanya Roh Kuduslah yang berhak menjelaskan setiap perkataan yang diinspirasikan-Nya. Itulah sebabnya tidak ada hak bagi Paus untuk memonopoli Alkitab, sebaliknya setiap orang percaya beroleh kebebasan untuk taat pada pimpinan Tuhan di dalam mengerti Alkitab. Pandangan ini memberikan suatu gerakan yang besar, karena sebelumnya Alkitab hanya berada di dalam gereja, dan hanya mereka yang telah ditahbiskan oleh Paus boleh menafsirkan Alkitab. Dan rantai yang mengikat Alkitab sekarang dipatahkan.

Para reformator tidak mengatakan bahwa setiap orang boleh menafsirkan Alkitab dengan sembarangan, melainkan mengatakan bahwa Roh Kuduslah penafsir yang sah dan resmi. Dan setiap orang percaya beroleh kesempatan untuk membaca Alkitab dan Roh Kudus akan memberikan cahaya kepadanya untuk mengerti Firman Tuhan dengan benar. Pandangan ini tidak sesuai dengan sikap orang-orang tertentu yang mengadopsi kebebasan membaca Alkitab ini dimengerti sebagai kebebasan liberalisme, yaitu menafsirkan Alkitab dengan sembarangan oleh karena tidak menaati pimpinan Tuhan.

Jikalau dikatakan pimpinan Roh Kudus, maka bagaimana kita dapat mengetahuinya? Pada masa kini, orang beranggapan bahwa pekerjaan Roh Kudus dikaitkan dengan gerakan-gerakan tubuh atau gejala-gejala lahiriah. Pengertian sedemikian bukanlah pengertian Para reformator, khususnya Calvin. Oleh karena Roh Kudus dan Alkitab tidak dapat diceraikan (No separation between The Holy Spirit and The World of God). Roh Kudus dan Alkitab tidak dapat dipisahkan. Jikalau ada orang yang mengkhotbahkan Alkitab tetapi tidak taat kepada Roh Kudus dan tidak percaya bahwa Alkitab adalah wahyu Allah, jangan kita menerimanya. Wahyu pun tidak diterima, apalagi Alkitab. Sebaliknya, jikalau ada orang yang menggembar-gemborkan Roh Kudus tetapi tidak mau kembali kepada Alkitab juga jangan diterima. Sejak reformasi, pengenalan akan kebenaran bahwa Alkitab tidak dapat dipisahkan dari Roh Kudus sangat penting sekali. Firman Tuhan adalah hembusan dari Allah sendiri oleh karena Allah yang menghembuskan ke luar perkataan-Nya. Jadi jelaslah bahwa perkataan dan Roh yang dihembuskan itu tidak bisa dipisahkan.

Nama saya adalah Stephen. Saya sangat senang dengan nama ini oleh karena Stephanus adalah seorang yang berkhotbah dalam Roh Kudus dan dengan hikmat. Jadi khotbahnya adalah firman yang berhikmat dan diurapi oleh Roh Kudus. Kiranya keseimbangan ini juga menjadi milik kita masing-masing dalam kesaksian dan khotbah. (The word of wisdom and anointment of Holy Spirity). Jikalau keduanya berjalan bersama maka pendengar tidak dapat menentang, mereka hanya dapat menerima atau membenci. Terdapat dua macam pengkhotbah, yang sama-sama diurapi oleh Roh Kudus, namun akibatnya berbeda. Petrus yang dipenuhi oleh Roh Kudus ketika berkhotbah maka 3000 orang bertobat. Sedangkan Stephanus yang juga dipenuhi oleh Roh Kudus ketika berkhotbah ia dilempari dengan batu. Mereka telah menyingkirkan batu penghalang dalam hati pendengar. Mereka mengeluarkan batu kemudian suara Tuhan disampaikan. Maka dalam Yohanes 11 dikatakan setelah batu disingkirkan, dan suara Tuhan memanggil Lazarus maka Lazarus menjadi hidup kembali. Tetapi Stephanus mengalami batu yang telah disingkirkan, dilemparkan kepadanya sehingga ia mati. Bagi yang menerima Firman Tuhan maka beroleh kuasa yang menyelamatkan, dan bagi mereka yang menolak juga menjadi kuasa tetapi kuasa untuk menghakimi. Jangan hanya melihat hasil, tetapi apakah setelah berkhotbah, batu disingkirkan.

Calvin mengatakan bahwa Alkitab mempunyai sifat otentik yang terdapat pada dirinya sendiri. Perrkataan ini adalah perkataan yang penting (The self-authentication character of the Bible). Alkitab mempunyai satu sifat karakter otentik yang ada pada diri sendiri. Dengan demikian posisi Alkitab yang begitu penting tidak dapat disejajarkan apalagi digantikan dengan Paus, Maria, orang-orang suci dan hirarki. Semuanya itu tidak ada apa-apanya, dan berada di bawah Alkitab, termasuk - jangankan Paus, para rasul pun harus taat pada otoritas Alkitab. Pengertian yang jelas ini membuat para reformator tidak mau berkompromi. (The highest authority is the Word of God). Jikalau kita menaruh Alkitab pada tempatnya sebagai otoritas tertinggi yang diberikan Tuhan Allah kepada kita, maka barulah kita dapat menempatkan diri dengan benar dalam pelayanan.

Bagian 2 :

Peninjauan Kembali Doktrin-Doktrin

Sikap para reformator yang mementingkan Alkitab mengakibatkan peninjauan kembali semua doktrin-doktrin yang pernah ditumpukan di dalam sejarah Kekristenan. Beberapa doktrin yang paling penting diingatkan kembali, seperti ajaran mengenai sistem pertobatan dan pengakuan dosa yang dijalankan oleh orang Katolik atau dalam gereja Katolik. Suatu sistem mengenai pengakuan dosa yang dilakukan di hadapan pastor kemudian menerima pengampunan. Dalam Matius 16, Tuhan Yesus berkata kepada Petrus, “Apa yang kau ikat di dunia akan terikat di sorga dan apa yang kau lepaskan di dunia akan terlepas di sorga.” Jelaslah perkataan Yesus Kristus ini dalam konteks Kristologi yang benar bukan berdasar pada Petrus. Oleh karena apa yang dikatakan Petrus bukan diwahyukan oleh orang yang berdaging dan darah tetapi oleh Allah Bapa. Jadi doktrin berdasarkan wahyu Allah sesuai dengan fokusnya, yaitu Kristologi. Di situlah ada kuasa mengikat dan melepas. Dan dalam Matius 18, Tuhan Yesus memberikan itu pada ke dua belas murid-Nya, dan bukan hanya kepada Petrus. Jadi ini merupakan kuasa Injil yang melepaskan dan membelenggu. Di mana Injil dikabarkan maka di sana ada pelepasan, di mana Injil tidak dikabarkan, orang Kristen tidak memberitakan Injil, maka di sana menjadi satu belenggu. Setiap kali kita memberitakan Injil, kita mengikat Iblis dan sekaligus membebaskan orang yang berdosa.

Selain itu ajaran mengenai intermediate state (suatu keadaan antara sesudah kematian danb sebelum kebangkitan orang mati), yang mengajarkan adanya api penyucian (purgatori) ditolak dengan tegas oleh para reformator, baik Luther, Calvin maupun Zwingli oleh karena bertentangan dengan ajaran Alkitab.

Demikian pula dengan ajaran mengenai Maria juga diperbaiki. Bagi orang-orang Katolik, Maria diberi nama-nama yang hampir sama dengan Kristus, Maria dipercaya sebagai Ratu dari Sorga (Mary The Queen of Heaven), dan ibu dari pada Allah (The mother of God), suatu pengertian yang tidak begitu jelas bagi orang Katolik, Padahal istilah itu diambil dari Alkitab. Pada waktu Maria mengunjungi Elisabet, maka Elisabet mengatakan, “Ibu dari pada Tuhanku datang mengunjungi aku.” (Lukas 1:43). Ini berarti yang dikandung oleh Maria mempunyai sifat Ilahi. Hal ini berkenaan dengan Kristologi yang di dalam sejarah gereja menimbulkan perdebatan yang panjang, yaitu pada waktu Yesus masih di dalam rahim Maria, apakah sudah mempunyai dwi-sifat atau hanya satu sifat. Jikalau Maria hanya melahirkan seorang anak, maka akhirnya seperti yang dikatakan oleh Marcion (160 M) dan orang-orang Gnostisisme, yaitu Yesus baru menerima sifat ilahi-Nya pada waktu Yohanes pembaptis membaptiskan-Nya. Kristus turun atas-Nya lalu kemudian menjadi Yesus Kristus. Hal ini berarti sejak dilahirkan sampai menerima baptisan, Yesus hanyalah memiliki sifat manusia saja. Tetapi Lukas 1:43 membuktikan bahwa Yesus Kristus telah mempunyai sifat Ilahi dan sifat manusia pada waktu di dalam rahim Maria. Istilah “Ibu dari Tuhanku” adalah untuk menyatakan bahwa sudah ada sifat Ilahi ketika Yesus berada di dalam rahim. Tetapi tidak berarti Martia adalah ibu dari pada Allah oleh karena Maria hanyalah ibu dari Yesus Kristus sebagai manusia tetapi sifat Ilahi-Nya tidak pernah mempunyai ibu, dan istilah ini hanya menunjukkan bahwa Dia telah memiliki sifat Ilahi sewaktu di dalam rahim. Apakah Maria adalah penebus yang bersama dengan Kristus mempunyai jasa untuk menebus dosa manusia?

Dengan tegas kita menolak pandangan ini oleh karena tidak sesuai dengan Alkitab. Maria sendiri ketika memperoleh berita bahwa ia akan melahirkan seorang Anak, yaitu Anak Allah yang tinggi, maka Maria mengatakan: “Jiwaku memuliakan Tuhan dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku.” (Lukas 1:46). Maria menyadari bahwa ia pun memerlukan Juruselamat dan tidak sama sekali bahwa bersama Kristus menjadi Juruselamat. Para reformator dengan tegas menolak pandangan yang menempatkan Maria sejajar dengan Kristus, dan sistem penyembahan kepada Maria sudah lama disingkirkan dalam teologi Reformasi.

Selanjutnya kita akan mambahas mengenai posisi para rasul. Apakah mereka memiliki kedudukan tertentu dan menimbun kelebihan jasa-jasa mereka? Pokok ini dalam teologi disebut “The treasury of the saints”, yaitu suatu gudang harta untuk menyimpan dan menimbun jasa-jasa para orang suci. Maksudnya adalah orang-orang suci yang melakukan kebajikan melebihi yang seharusnya maka kelebihannya itu akan disimpan atau ditimbun menjadi suatu gudang harta yang dapat membantu orang lain. Pandangan ini dengan tegas ditolak olerh para reformator. Mereka memperbaiki pandangan yang tidak sesuai dengan ajaran Alkitab. Khususnya Calvin dengan tegas tanpa kompromi mengoreksi semua doktrin yang tidak berdasarkan Alkitab.

Peninjauan Kedudukan Paus

Demikian pula ajaran mengenai kedudukan Paus sebagai wakil Kristus di dunia ini dikoreksi oleh para reformator. Doktrin Tritunggal dan Kristologi dipulihkan kembali dengan begitu ketat, sehingga menjadi dasar-dasar yang penting bagi gerakan Reformasi. Untuk hal ini, mereka menetapkan beberapa pengakuan iman (kredo) yang dengan mutlak harus diterima, seperti pengakuan iman Rasuli, pengakuan iman Nicea dan pengakuan iman Athanasius. Pengakuan iman yang penting mengenai Kristologi adalah pengakuan iman Chalcedon (451) yang menegaskan keilahian dan kemanusiaan Yesus Kristus.


BACA JUGA: DOKTRIN REFORMED



Prinsip Penting Teologi Reformasi

Pengembalian doktrin yang dilakukan oleh para reformator dapat disarikan dalam beberapa prinsip yang penting, yaitu:

1. Sola Gratia, hanya berdasarkan anugerah saja. Prinsip ini menolak segala jasa manusia. Menolak pandangan mengenai adanya kerja sama antara manusia dan Allah untuk menyelamatkan manusia, atau manusia dengan kelakuan yang baik dapat menggantikan sesuatu berkat dari Tuhan. Ini semua ditolak karena Sola Gratia.

2. Sola Fide, dalam bahasa Latin artinya iman (faith). Sola Fide artinya hanya berdasarkan iman kepercayaan saja manusia diterima oleh Tiuhan, dan dapat datang kepada Tuhan.

3. Sola Scriptura, hanya percaya kepada apa yang dikatakan oleh Alkitab yang adalah Firman Tuhan. Penegasan akan Sola Scriptura mengakibatkan para reformator menyingkirkan semua kitab di luar ke-enam puluh enam kitab dalam Alkitab, yaitu 39 kitab Perjanjian Lama dan 27 kitab Perjanjian Baru. Kitab yang disingkirkan adalah Apokripa. Apokriopa adalah kitab-kitab yang diterima oleh gereja Roma Katolik sebagai bagian dari kanon, yaitu sebanyak 14 kitab. Para reformator hanya menerima 66 kitab sebagaimana terjemahan aslinya.

Dalam hal ini, Martin Luther sedikit ragu mengenai surat Yakobus. Bagi Luther, kriteria menentukan suatu kitab adalah Firman Tuhan hanyalah satu, yaitu Injil. Itulah sebabnya ia ragu-ragu terhadap surat Yakobus oleh karena tidak terlalu jelas membicarakan mengenai Injil sebaliknya membicarakan mengenai kelakuan baik. Luther menyatakan: “Jikalau saya tidak berani menolak surat ini sebagai Firman Tuhan, maka surat ini termasuk yang tidak penting.” Bagi Luther, satu-satunya kitab yang bersifat jerami adalah surat Yakobus. Bagi Calvin tidak demikian. Perbedaan itu akan kita bicarakan dalam bagian selanjutnya.

4. Sola Christos, berarti hanyalah bagi Kristus dan Kristus menjadi pusat seluruh Alkitab. Maka tidak ada seorang pun di dalam dunia ini yang boleh dibandingkan atau disetarakan dengan kedudukan Kristus. Paus, orang suci, Maria atau siapa pun tidak dapat disetarakan dengan Kristus. Semua ini mengarah kepada Soli Deo Gloria. Seluruhnya bagi kemuliaan Allah.

Jelaslah gerakan Reformasi dapat disimpoulkan dalam lima kalimat yang pendek ini, yaitu: Sola Gratia, Sola Fide, Sola Scriptura, Sola Christos, dan Soli Deo Gloria.

Semua yang ditegakkan oleh Reformasi berdasarkan kepada Alkitab. Oleh karena Alkitab bersaksi bagi Kristus, Alkitab mendatangkan iman, dan iman berdasarkan Alkitab. Dalam Alkitab kita mengenal anugerah Tuhan, dan kehendak Allah agar kita memuliakan Dia. Maka peranan Alkitab yang adalah Firman Allah sangat penting. Sola Gratia yang menyadarkan kita bahwa segala sesuatu yang kita terima adalah anugerah Tuhan semata-mata akan mendorong kita untuk sungguh-sungguh memuliakan nama-Nya. Segala kemuliaan kita kembalikan bagi Tuhan Allah kita. Semua ini merupakan kerangka yang luar biasa dalam teologi dan pikiran Reformasi.

Saya sendiri menilai bahwa setelah Reformasi, banyak gerakan penginjilan tetapi tidak ada suatu kerangka yang lebih agung, tepat, lengkap dan indah dari pada Reformasi.

Bagian 3 :

Literatur Penting Reformasi

Kini kita akan membahas mengenai kronologi beberapa tulisan yang penting dalam Reformasi.

Pertama-tama adalah 95 tesis yang ditulis oleh Martin Luther pada tanggal 31 Oktober 1517. Tulisan sekaligus merupakan cetusan langsung pemikiran Reformasi yang pertama. Sampai dengan tahun 1520, Luther telah menulis banyak makalah, artikel yang mencetuskan pikiran selanjutnya tentang Reformasi. Pada tahun 1521 Melanchthon menulis satu buku yang penting, yang dapat dikatakan sebagai kerangka teologi Lutheran, yaitu “Loci Communes”. Kemudian pada tahun 1525 Zwingli menulis satu buku yang luar biasa, yaitu “The true and false religion”. Agama yang sejati dan yang palsu. Sesudah itu tahun 1530 ditulis suatu pengakuan iman yang disebut “Augsburg Confession” (1530). Augsburg Confession adalah suatu kerangka dasar seluruh teologi Lutheran. Setelah 10 tahun, maka diadakan sedikit perubahan, yanmg mengakibatkan suatu pemikiran yang berbeda dengan pemikiran asli Martin Luther. Augsburg Confession ini ditulis oleh seorang kawan baik Luther, yaitu Melanchthon. Mereka bersama-sama selama kurang lebih 28 tahun melayani, saling mengasihi dan saling menghormati. Melanchthon adalah seorang yang jenius dan menjadi penyusun kerangka pemikiran Lutheran.

Apakah kepentingan tulisan dan pengakuan iman Reformasi tersebut? Tulisan dan pengakuan iman itu menjadi representatif teologi Lutheran (Lutheran Theology) atau gereja Lutheran; khususnya tulisan Melanchthon, yaitu Augsburg Confession. Pengakuan iman ini terdiri dari 28 pasal, dan 21 pasal di antaranya memberitakan mengenai ajaran yang benar, dan tujuh pasal terakhir mencela atau mengkritik ajaran-ajaran yang palsu. Jadi sekarang kita memperoleh hanya 21 pasal saja, oleh karena biasanya yang menentang ajaran palsu itu tidak dimasukkan. Penjelasan mengenai ajaran yang palsu merupakan tanggapan terhadap desas-desus terhadap gerakan Reformasi. Desas-desus tersebut terjadi kira-kira setelah 13 tahun gerakan Reformasi dimulai. Mereka mulai menghakimi Reformasi. Melanchthon kemudian mengadakan pembelaan doktrinal dengan menulis Augsburg Confession. Pembelaan tersebut termasuk penjelasan terhadap tuduhan bahwa ajaran Reformasi yang menekankan kedaulatan Tuhan akan menjadikan Tuhan Allah sebagai Pencipta Setan. Melanchthon mernjawab dalam Augsburg Confession dengan mengutip perkataan Tuhan Yesus dalam Yohanes 8:44, “Iblis yang menjadi Bapamu...ia adalah pendusta dan bapa dari segala dusta.” Kutipan ini membuktikan bahwa Reformasi tidak mengajarkan bahwa dosa berasal dari rencana Allah melainkan dari dirinya sendiri yang adalah bapa segala dusta.

Augsburd Confession menimbulkan kemarahan dan perbantahan dari gereja Roma Katolik. Bahkan mereka mengancam akan mengadakan hukuman dengan keras jikalau pengakuan iman tersebut tidak ditarik. Batas penarikan itu begitu singkat sehingga orang-orang Lutheran tidak berkesempatan untuk memikirkan dan menjawab ancaman tersebut. Keadaan sedemikian membuat tidak bisa tidak orang-orang Lutheran harus melepaskan diri dari gereja Roma Katolik. Martin Luther sendiri tidak pernah bermaksud untuk memecahkan gereja, apalagi mendirikan gereja Lutheran, oleh karena gereja adalah milik Yesus Kristus. Tetapi akhirnya orang-orang yang bersama-sama dengannya memberikan nama gereja Lutheran untuk membedakan gereja yang di bawah pimpinan Luther. Melanchthon sendiri membuat Augsburg Confession untuk mewakili pemikiran Teologi Lutheran. Akhirnya tibalah batas waktu yang diberikan, yaitu tanggal 15 April 1531 di mana gereja Roma Katolik bermaksud membasmi gerakan Reformasi. Tetapi hal itu tidak pernah terjadi karena Tuhan tidak mengizinkannya.

Segera setelah Augsburg Confession ditulis, pihak gereja Roma Katolik mengedarkan jawaban yang panjangnya tujuh kali dari Augsburg Confession untuk membela diri dan untuk menyerang Teologi Lutheran. Peristiwa ini terjadi sebelum tahun 1540, yaitu sepuluh tahun setelah Augsburg Confession ditulis, di mana Melanchthon menambahkan dengan bagian mengenai kerja sama antara Allah dan manusia di dalam menyelamatkan manusia berdosa, yaitu Allah memberikan anugerah dan manusia beriman. Pemikiran ini jelas bertentangan dengan pemikiran Martin Luther. Sikap Melanchthon ini merupakan langkah kompromi oleh karena tekanan yang diterimanya. Akhirnya pikiran Melanchthon ini ditolak oleh Teologi Reformed (Reformed Theology). Teologi Reformed menolak sama sekali pemikiran sedemikian, oleh karena seluruhnya adalah anugerah Tuhan (Sola Gratia). Maka jelaslah pikiran Melanchthon berbeda dengan Reformed tradition.

Kemudian pada tahunj 1536, muncullah satu karya yang paling agung di dalam Reformasi, yaitu The Institutes of the Christian Religion, dikarang oleh John Calvin. Tulisan itu merupakan buku sistematik teologi yang pertama, yaitu kerangka teologis yang paling berbobot, paling berpengaruh dan menyeluruh di dalam sejarah. Tulisan ditulis ketika Calvin berusia 27 tahun dan telah memberikan kontribusi bagi seluruh gerakan Protestan suatu kerangka teori yang berabad-abad menjadi tulang punggung gerakan teologi ini. Buku ini terus menerus mengalami penambahan. Pada tahun 1539 ditambah dengan penekanan akan ajaran predestinasi, kemudian tahun 1541 diperbaiki lagi, sampai tahun 1559 buku tersebut telah lima kali lebih tebal daripada cetakan yang perrtama, dan telah dicetak ulang sebanyak 74 kali. Dan pada tahun 1560 buku ini telah diterjemahkan ke dalam enam bahasa.

Dalam buku “The Institutes of Christian Religion” terdapat 6000 kutipan Alkitab, dan sekaligus kesetiaannya pada Firman Tuhan. Menurut Will Durant, seorang sejarawan abad 20 dalam bukunya “The Story of Philosophy” mengatakan bahwa buku “The Institutes of Christian Religion” adalah satu dari antara sepuluh buku yang paling berpengaruh di dunia (“One of the Ten books that shock the world”).

Berikut ini merupakan beberapa bagian dari “The Institutes of Christian Religion”. Dalam buku ini terdapat enam bagian besar, yaitu : Pertama, mengenai Taurat, sepuluh hukum dan artinya. Kedua, mengenai kredo dan penafsirannya. Ketiga, mengenai doa dan penafsiran Doa Bapa Kami. Keempat, menngenai Sakramen. Sampai pada masa Reformasi, sakramen telah berkembang menjadi tujuh macam. Para reformator menolak hal itu oleh karena Alkkitab hanya menjelaskan dua Sakramen, yaitu Baptisan dan Perjamuan Kudus. Kelima, mengenai kritikan terhadap bidat. Keenam, mengenai kebebasan Kekristenan, kuasa politik dan hak rakyat.

Bagian 4 :

Prinsip-Prinsip Gerakan Reformasi

Dari gerakan Reformasi kita dapat menyaksikan beberapa prinsip yang penting, yaitu:

Pertama. Gerakan Reformasi melaksanakan dua aspek yang penting, yaitu merobohkan yang salah dan membangun kembali yang benar. Dalam merobohkan semua yang salah ini, Tuhan memakai Martin Luther, sedangkan untuk membangun kembali ajaran yang ketat dan sistematis, tokoh penting yang dipakai Tuhan adalah John Calvin. Tanpa merobohkan maka tidak mungkin memberikan pengharapan yang baru, oleh karena tidak mungkin menambal kain yang baru pada kain yang usang. Dan sistem gereja Roma Katolik yang telah berakar selama 1500 tahun perlu dirobohkan untuk memperoleh akar yang benar kembali. Untuk merobohkan memerlukan orang yang tangguh dan berani seperti Martin Luther. Namun pekerjaan Reformasi bukan hanya merobohkan tetapi harus membangun kembali. Untuk itu Tuhan membangkitkan John Calvin yang membangun kembali ajaran yang benar. John Calvin adalah generasi kedua Reformasi. Ketika Martin Luther memakukan tesisnya di Wittenberg, Calvin baru berusia sepuluh tahun. Ia sedikit banyak mengerti peristiwa itu dan memberikan rasa kagum terhadap Luther. Di kemudian hari, ia menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Tuhan untuk tugas yang Tuhan berikan kepadanya.

Kedua. Gerakan Reformasi tidak pernah berusaha mendirikan suatu doktrin yang baru, dan tidak pernah berusaha mementingkan doktrin yang satu dan melalaikan doktrin yang lain.

Ketiga. Gerakan Reformasi tidak pernah mau tunduk pada filsafat atau pikiran manusia tetapi berdasarkan Alkitab saja.

Keempat. Segala usaha Calvin, khususnya menjelaskan kepada orang-orang yang tidak lagi diakui oleh gereja Roma Katolik yaitu orang-orang Protestan bahwa apa yang dipercaya oleh orang-orang Reformasi tidak melawan Alkitab melainkan justru kembali kepada ajaran Alkitab sesuai dengan kredo Apolostik yaitu pengakuan iman rasuli. Maka pengakuan iman rasuli menjadi satu garis besar, kerangka dengannya dia menjelaskan seluruh doktrin Alkitab, dan hal ini merupakan keistimewaan dari Reformasi.

Bagian 5 :

Agustinus sebagai Sumber Pemikiran Reformasi

Baik Luther maupun Calvin sebenarnya berada dalam satu garis yang bermula dari Kristus, rasul Paulus kemudian Agustinus. Meskipun kita harus membedakan Kristus dan Paulus dengan Agustinus dalam hal pewahyuan dan pengiluminasian, namun hal ini menjelaskan suatu garis tradisi atau garis Reformasi.

Semua ajaran Reformasi maupun Reformed yang mendasar dapat ditelusuri dan ditemukan bibitnya dalam pikiran Agustinus. Agustinus adalah adalah seorang bapa gereja dan sekaligus satu-satunya pemikir yang lengkap, utuh dan sistematis di antara bapa-bapa gereja pada waktu itu. Sejak abad pertama sesudah Alkitab lengkap diwahyukan sampai masa Agustinus tidak ada bandingnya. Demikian pula setelah Agustinus sampai Martin Luther juga tidak ada bandingnya. Agustinus seumpama bangau yang berdiri di antara kawanan ayam. Ia tidak hanya mengerti Alkitab tetapi juga pemikiran-pemikiran filsafat pada waktu itu. Hal ini membuatnya dapat berintegrasi dan memiliki keteguhjan dalam menyatakan kebenaran Firman Tuhan. Pada masa kini seringkali terjadi ketidak-seimbangan. Sebagian orang hanya mengerti Alkitab tanpa mengerti ajaran-ajaran yang menentang Alkitab, sebagian lain hanya mengerti segala pengetahuan umum tetapi tidak mengerti Alkitab. Kita harus mengerti Alkitab sekaligus mengerti tantangan yang ada sehingga kita dapat teguh berdiri memuliakan nama Tuhan.

Sebelum Agustinus kembali kepada Alkitab, ia telah berkecimpung dalam agama dan filsafat selama kurang lebih sepuluh tahun lamanya. Ketika ia kembali kepada Alkitab, ia baru menyadari bahwa Alkitab jauh lebih tinggi daripada semua agama dan filsafat. Kemudian seumur hidup ia berjuang bagi kebenaran dan menentang segala ajaran palsu. Bagi Agustinus, dalam Kekristenan terdapat beberapa hal yang penting, yaitu otoritas Allah, bijaksana Alkitab dan konsep anugerah dan iman. Hal-hal inilah yang akan mempengaruhi Reformasi. Agustinus diterima baik oleh gereja Protestan maupun gereja Roma Katolik. Dan ia dapat dikatakan merupakan orang pertama dalam sejarah Kekristenan yang mengaitkan iman (credo, I believe) dan rasio (cognito, I think) dengan indah. Ia menyatakan bahwa apa yang kita percaya dapat dipertanggung-jawabkan secara rasionil. Agustinus adalah seorang pemikir Kristen pertama dalam sejarah gereja dengan iman yang besar dan kesanggupan filsafat yang kuat. Dan tugas ini harus kita kerjakan pada masa kini.

Pengaruh Agustinus terhadap gerakan Reformasi khususnya bagi Martin Luther adalah anugerah bagi orang beriman. Hal ini menjadi satu dorongan yang kuat dan menggugah hatinya sehingga mencetuskan doktrin dibenarkan melalui iman. Dibenarkan oleh iman tahu terjemahan aslinya adalah dibenarkan melalui iman (Justification by faith), melalui iman kita dibenarkan. Sedangkan pemgaruh Agustinus terhadap Calvin adalah kedaulatan Allah dan anugerah-Nya. Keduanya menjadi arus yang kuat dalam Reformasi yang berkaitan dengan bapa gereja Agustinus. Meskipun Agustinus memberikan sumbangsih yang besar bagi gerakan rteformasi, tidak berarti semua pandangannya diterima oleh para Reformator. Misalnya pandangan Agustinus mengenai seksualitas ditolak oleh para Reformator oleh karena tidak sesuai dengan Alkitab. Agustinus beranggapan bahwa seksualitas adalah suatu yang najis oleh karena melalui hubungan seks mengakibatkan dosa warisan. Pandangan ini menghasilkan sikap selibat dari gereja Roma Katolik yang dengan tegas ditolak oleh para Reformator sekalipun mereka tetap mengakui dosa warisan. Calvin percaya bahwa dosa warisan berada dalam diri manusia bukan melalui hubungan seks orang tua tetapi Adam sebagai representatif dari pada umat manusia. Jadi representatif dan posisi inilah yang tidak dapat kita hindari.

Sekalipun tidak semua pandangan Agustinus diterima oleh para Reformator namun ia memberikan prinsip yang jelas bagi gerakan reformasi sebagaimana tercantum dalam bukunya, yaitu: “Jikalau Anda menemukan dalam bukuku terdapat sesuatu yang tidak sesuai Alkitab, jangan mengikuti aku, tetapi kembalilah kepada Alkitab.” Prinsip ini harus tetap kita pegang di sepanjang hidup persembahan kita di hadapan Tuhan. Ajaran Agustinus menjadi dasar bagi Reformasi sebenarnya bersumber pada ajaran Kristus dan rasul-Nya, Paulus. Khususnya ajaran mengenai predestinasi, konsep anugerah dengan hanya melalui iman saja, Kristus sebagai pusat, Kedaulatan Allah dan sebagainya.

Bagian 6 :

Perbedaan Pandangan Luther dan Calvin

Meskipun Luther dan Calvin memiliki dasar pijak yang sama, namun dalam perkembangannya di antara keduanya terdapat beberapa perbedaan, yaitu:

Pertama, berkenaan dengan doktrin Allah. Berkenaan dengan doktrin Allah, Martin Luther memaparkan dua aspek yang sangat unik mengenai Allah, yaitu aspek pertama disebut sebagai Allah yang dinyatakan kepada kita (The Revealed God). Aspek yang kedua disebut Allah yang tersembunyi (The Hidden God). Allah yang disembunyikan (The hiddenness of God) seperti bukan yang kita saksikan sejak masih kecil sampai meninggalkan dunia ini. Kita hanya melihat bagian depan dari bulan sedangkan bagian belakangnya tidak pernah kita lihat. Demikian menurut Martin Luther, Allah itu begitu ajaib dan besar sehingga ada bagian yang tersembunyi yang belum pernah diwahyukan kepada kita. Maka kita beroleh kemungkinan untuk membesarkan Allah tanpa batas. Tetapi juga terdapat kemungkinan membiarkan masuk dalam perangkap Agnostisisme mengenai Allah. Agnostik berarti Allah tidak mungkin diketahui. Dan dengan demikian kirta dapat terperangkap dalam pemikiran noumena dari Immanuel Kant (1724-1804) atau Allah sebagai The Wholly Other yang tidak dapat dimengerti dari Karl Barth (1886-1968). Jikalau Luther mengerti perkataan Alkitab, “Berbahagialah mereka yang menyembunyikan diri di bawah naungan Allah di dalam kerahasiaan-Nya...” sebagai menjelaskan aspek ketersembunyian Allah maka Calvin mengertinya sebagai suatu keterlihatan total Allah bersekutu dengan manusia. Bagi Calvin, Allah adalah Allah yang dinamis, yang berintervensi dalam sejarah manusia. Hal ini membuat Tradisi Calvinistik atau Reformed sangat memperhatikan masalah-masalah kehidupan sehari-hari. Calvinisme sejak awalnya memiliki keinginan melaksanakan keadilan Allah atau intervensi sifat Ilahi di dalam masyarakat, mendinamiskan pengaruh Kekristenan dalam masyarakat dan menjunjung tinggi harkat manusia sebagai gambar Allah. Calvinisme sekaligus menjelaskan demokrasi berdasarkan takut kepada Allah dan kehormatan manusia sebagai gambar Allah.

Kedua, berkenaan dengan Kristologi. Dalam ajaran mengenai Kristus, Lutheran sangat menekankan keseluruhan Oknum Kristus (The total person of Christ as a person), sedangkan Calvin dan Zwingli lebih mementingkan perbedaan sifat Ilahi dan manusia Kristus.

Ketiga, berkenaan dengan doktrin dosa. Bagi Zwingli, dosa memerlukan Injil yang merupakan hukum Taurat yang baru (Gospel ia a new law), sedangkan Lutheran mengutubkan dosa dan Injil. Dosa dimengerti berdasarkan Taurat, oleh karena hukum dalam Perjanjian Lama membuktikan adanya dosa dan sekaligus menyadarkan manusia akan keberdosaannya. Dan bagi Calvinisme atau Teologi Reformed, Taurat diberikan bukan hanya secara negatif, memberikan kesadaran tentang dosa, tetapi justru Taurat diberikan untuk menjadi cermin suatu kehidupan yang suci. Taurat adalah kebajikan Allah yang menuntut kita untuk melakukannya. Pandangan ini mempunyai kemiripan dengan pandangan Zwingli. Maka dalam Lutheran titik berat kewajiban untuk melakukan kebajikan tidak seberat Calvinbisme. Calvinisnme lebih menuntut kita melakukan kebajikan oleh karena merupakan suatu taurat baru dalam Injil. Tuntutan Injil tidak berarti meniadakan tuntutan Taurat, sebaliknya merupakan semangat kerelaan untuk menjalankan tuntutan Taurat berdasarkan kuasa Injil.

Pandangan Luther sedikit banyak mempengaruhi terjadinya kerusakan moral dalam gereja-gereja Lutheran di Jerman setelah seratus sampai seratus dua puluh tahun reformasi. Dosa kembali merajalela dalam kehidupan gereja. Dan muncul reaksi yang merindukan suatu kebangunan kembali. Reaksi ini dipelopori oleh Pietisme. Dalam gerakan pembaruan ini terdapat tiga tokoh yang memainkan peranan yang penting, yairtu Phillip Jakob Spener (1635-1705), August Hermann Francke (1663-1727) dan Zinzendorf (1700-1776). Mereka sangat mementingkan kehidupan yang suci, persekutuan pribadi dengan Tuhan dan beribadat, berdoa dan memberitakan Injil sebagai tanda orang yang sungguh-sungguh mengasihi Tuhan. Gerakan Pietisme ini akhirnya dituduh mendirikan gereja di dalam gereja. Sebenarnya motivasi mereka baik sekali namun oleh karena mereka tidak memperhatikan doktrin secara utuh maka menimbulkan akibat-akibat sampingan.

Orang-orang dalam gereja Presbiterian tidak berarti lebih suci dari gereja Lutheran. Ada orang yang mengatakan bahwa orang-orang Presbiterian tidak menerima ajaran mengenai murtad, tetapi mempraktekkannya (The Presbyteriabn does not believe in backsliding but they only practice it). Kepercayaan sekali diselamatkan tetap diselamatkan disalah mengerti, sehingga mengakibatkan kehidupan yang sembarangan. Jadi tidak ada satu sistem yang menjamin kita pasti hidup suci, oleh karena justru pada waktu mencapai puncak hidup yang suci pencobaan datang menyerang.

Keempat, berkenaan dengan doktrin mengenai Gereja. Apakah gereja? Menurut Augsburd Confession, gereja adalah suatu jemaat yang terdiri dari orang-orang suci (The Church is a congregation of the saints). Orang-orang yang dipanggil ke luar dari dunia, dikuduskan menjadi suatu kemunitas, komunitas yang suci. Jadi Gereja bukan satu hirarki, bukan satu organisasi yang kuat, bukan suatu warisan yang diturunkan oleh Petrus dengan tumpangan tangan dan pelantikan yang disahkan oleh Katolik. Dan Gereja merupakan satu kumpulan orang yang dikudusklan. Jadi konsep mengenai orang suci direvisi kembali. Orang suci (santo) dalam gereja Roma katolik memerlukan kanonisasi, yaitu seseorang yang dianggap benar-benar memiliki kehidupan rohani, iman yang benar, setia kepada gereja dan kehidupan moralnya menjadi teladan. Orang suci harus dapat menjadi teladan di sepanjang zaman. Dan setelah dipertimbangkan dalam konsili-konsili, maka kemudian diresmikan sebagai orang suci.

Maka bagi gereja Roma Katolik, tidak semua orang Kristen adalah orang suci. Sedangkan bagi gereja Protestan, setiap orang Kristen yang ditebus oileh Tuhan Yesus adalah orang suci, sebagaimana perkataan Paulus kepada jemaat di Korintus. Ia menyebut jemaat di Korintus sebagai orang-orang suci. Apakah semua orang Kristen di Korintus memiliki kehidupan yang suci? Ternyata tidak! Di antara mereka terdapat orang yang berzinah dengan ibu tirinya, terdapat kesombongan yang memecah-belah, dan terdapat perselisihan dalam perjamuan kasih. Namun Paulus tetap menyebut mereka sebagai orang-orang suci. Kesucian yang dimaksud adalah kesucian secara status, kedudukan sebagai orang-orang suci di dalam Kristus. Konsep ini menjadi jelas dalam Augsburg Confession, gereja adalah kumpulan atau komunitas orang-orang suci tersebut.

Menurut para Reformator, gereja adalah gereja yang melaksanakan dua syarat penting, yaitu: pertama, memberitakan dan mengajarkan Injil, dan kedua, melaksanakan Sakramen yang benar. Kedua syarat ini membuat orang dapat mendengarkan Firman yang sejati dan menikmati persekutuan dan kesatuan dengan Kristis dalam sejarah. Orang mendengarkan Firman yang benar dan menikmati persekutuan melalui Perjamuan suci dan Baptisan yang sejati. Maka jikalau kedua hal ini dilaksanakan dengan baik, menunjukkan gereja yang sungguh. Orang-orang Reformator menekankan hal ini berkenaan dengan pandangan gereja pada waktu itu di mana mereka menyaksikan gereja tidak mengabarkan Injil dengan benar, dan iman sebagai syarat diselamatkan telah menggantikan anugerah. Iman menjadi suatu kelakuan baik manusia sebelum diterima oleh Tuhan.

Bagi para Reformator, iman justru adalah berhenti bersandar diri oleh karena menyadari hal itu tidak ada gunanya, sebaliknya bersandar sepenuhnya pada Kristus yang telah mengerjakan segala sesuatu bagi keselamatan kita. Jadi Injil diberitakan dengan benar dan Sakramen ditata-laksanakan dengan benar. Untuk itu, para Reformator menolak pandangan gereja Katoilik yang menerima tujuh macam Sakramen. Mereka menegaskan kembali bahwa Alkitab hanya mengajarkan dua macam Sakramen, yaitu Baptisan Kudus dan Perjamuan Kudus.

Jikalau Lutheran menekankan gereja sebagai kumpulan atau komunitas orang-orang suci, maka Calvin menekankan gereja adalah kumpulan atau komunitas orang-orang yang dipilih. Konsep mengenai kaum pilihan menegaskan mengenai rencana kekal Allah (Internal God’s decree) yang dinyatakan dalam proses sejarah, sedangkan konsep orang-orang suci menegaskan suatu pengalaman yang dapat dinikmati. Dalam teologi Reformed, kaum pilihan Allah adalah orang-orang yang dipilih oleh Allah dan tidak ada orang yang dipilih oleh Allah, akhirnya tidak diselamatkan. Pilihan dan Keselamatan merupakan dua hal yang menyatu (election and salvation, election and redemption can not be separated in Calvinistic view). Orang-orang Lutheran pun percaya, bahwa menjadi orang suci sekaligus adalah kaum pilihan dan keduanya terpadu. Kemudian baik Luther maupun Calvin menegaskan bahwa gereja adalah gereja yang kelihatan dan tidak kelihatan (Visible Church and Invisible Church).

BAB III : REFORMASI & TEOLOGI REFORMED

GEREJA REFORMASI

Gereja yang tidak kelihatan (Invisible Church) mencakup semua orang pilihan di sepanjang zaman, sdan di segala tempat. Gereja yang tidak kelihatan ini tidak mungkin dalam waktu yang sama, tempat yang sama, tampak dengan serentak. Jadi gereja yang tidak kelihatan adalah gereja yang meliputi segala abad dan tempat. Sedangkan gereja yang kelihatan adalah gereja yang berada dalam ruang lingkup waktu dan tempat, seperti HKBP, GKI, GPIB, GSRI, GRII, dsbnya. Namun gereja yang kelihatan tidak boleh disamakan dengan gedung gereja. Gedung gereja bukan gereja. Gereja adalah orangnya. Orang-orang yang bersekutu di suatu tempat dan waktu. Demikianlah gereja yang kelihatan sebenarnya adalah bagian dari gereja yang tidak kelihatan. Dan semua anggota gereja yang tidak kelihatan itu mempunyai tubuh yang kelihatan. Kita termasuk dalam gereja yang tidak kelihatan, namun karena kita mempunyai tubuh yang kelihatan yang saling bersekutu maka menjadi gereja yang kelihatan. Inilah sebabnya kita tidak dapat memisahkan keduanya. Kita tidak dapat melalaikan gereja yang kelihatan.

Berkenaan dengan hal ini, kita menemukan perbedaan antara Lutheran dan Calvinisme. Calvin percaya gereja yang sejati adalah ‘company of the justified sinners’ (persekutuan orang-orang berdosa yang dibenarkan) sekaligus ‘the congregation of elects’ (Jemaat kaum pilihan). Pernyataan ini sesuai dengan Augsburg Confession (Pengakuan Iman Augsburg). Namun demikian Calvin menegaskan bahwa orang-orang yang telah mengikuti Reformasi, baik di Wittenberg maupun di Geneva, tidak semuanya adalah anggota-anggota gereja yang sejati. Jadi, di dalam gereja masih terdapat Kristen-Kristen yang palsu. Suatu hal yang tidak dapat dihindarkan. Maka gereja dalam memberitakan Injil tidak hanya melalui Sakramen, tetapi juga sebagaimana ditegaskan oleh Calvin, melalui pelaksanaan disiplin.

Bagian 1 :

Disiplin Gereja

Disiplin merupakan salah satu tugas gereja yang tidak dapat diabaikan. Jikalau diketahui dalam gereja terdapat orang yang berzinah atau orang yang melawan Injil dengan sengaja dan hidup tidak sesuai dengan Alkitab, maka gereja harus berani melaksanakan disiplin dengan maksud menyesuaikan gereja yang kelihatan dan gereja yang tidak kelihatan. Tanpa pendisiplinan, gereja yang kelihatan tidak dapat bersaksi bagi Tuhan. Itulah sebabnya gereja Reformed yang ketat adalah gereja yang sangat ketat menjalankan disiplin. Sikap ini justru semakin ditinggalkan. Gereja yang menjalankan disiplin bisa kehilangan anggotanya oleh karena gereja yang lain bersedia menerimanya, bahkan menjadikannya majelis. Keadaan seperti ini menunjukkan keabnormalan dalam Kekeristenan.



Gereja masa kini harus tetap setia melaksanakan disiplin sesuai dengan ajaran Alkitab sekalipun dapat menjadi minoritas. Minoritas yang menjaga kualitas justru menjadi hati nurani bagi mayoritas yang tidak berkualitas. Hati nurani selalu mempunyai titik pusat tetapi tidak mempunyai tempat terlalu besar. “Church is a conscience of the society”. Gereja adalah hatii nuraninya masyarakat. Pada waktu seluruh masyarakat sudah bersalah, gereja harus menyatakan kebenaran, keadilan, kesucian, kebajikan dan keberanian seperti perkataan para nabi. Ini adalah tugas Gereja. Mimbar Gereja harus menjadi hakim atau jaksa dari pada seluruh masyarakat. Bahkan semua tindakan, baik berkenaan dengan pemerintah maupun rakyat jelata harus dihakimi oleh gereja yang bermimbar. Kalau tidak, Kekristenan belum dapat menjadi terang dunia.


Khotbah Elia, Yesaya, Yohanes Pembaptis, selain menyatakan pengharapan juga memberikan hukuman dan penghakiman bagi manusia. Oleh karena para nabi merupakan hati nurani masyarakat sekaligus “Spokesman of God” yaitu, wakil Allah yang berbicara. Gereja harus menyadari panggilannya yaitu melaksanakan kehendak Allah dengan mewakili Dia berbicara. Meskipun dunia tidak menerima pemberitaan ini, perkataan-perkataan yang keras ini, yang keluar dari hati nurani yang taat pada Tuhan akan langsung menusuk hati mereka yang tidak mau taat pada Tuhan. Penusukan ini dapat membawa manusia bertobat atau memusuhi bahkan membinasakan kita. Hal ini telah dikatakan Paulus, “Sebab bagi Allah kami adalah bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa. Bagi yang terakhir kami adalah bau kematian yang mematikan dan bagi yang pertama bau kehidupan yang menghidupkan.” (2 Korintus 2:15-16).


Jelaslah disiplin merupakan tugas gereja yang penting. Oleh karena gereja yang kelihatan selalu mungkin terdapat orang-orang yang tidak sejati Kekristenannya. Oleh karenanya gereja yang kelihatan harus selalu memperbaiki dan mengintrospeksi diri. Ini adalah “Continuous introspection”. Suatu hal yang t yang tidak dapat ditawar lagi. Gereja-gereja dalam tradisi Reformed harus selalu menguji diri berdasarkan firman Tuhan. Gereja harus setia pada panggilannya tanpa menjual murah Injil dan mengkompromikan prinsip-prinsip Kekristenan hanya untuk menarik orang menjadi anggota gereja. Sikap sedemikian justru menghasilkan penghinaan terhadap Kekristenan.


Bagaimana caranya orang Kristen dihina oleh dunia ini? Salah satu cara yang seringkali tidak kita sadari terjadi justru pada waktu kita memberitakan Injil. Beberapa waktu yang lalu di kota New York, seseorang mengatakan kepada saya bagaimana dia mengasihi dan melayani Tuhan, namun tidak ada seorang pun yang mau percaya kepada Tuhan. Kemudian ia bertanya, apakah hal itu disebabkan ia kurang kuasa Roh Kudus? Sebelum saya menjawab pertanyaan itu, saya bertanya kepadanya mengenai caranya memberitakan Injil. Ia menceritakan bagaimana ia memberikan kepada orang-orang tersebut Alkitab, kaset dan buku-buku yang terbaik secara cuma-cuma. Saya menegaskan kepadanya bahwa cara sedemikian justru menjadikan Injil menjadi suatu yang tidak berharga, sehingga orang-orang tersebut tidak merasa perlu percaya akan Injil. Mereka perlu diajak mengerti kepentingan dan nilai Injil supaya mereka disadarkan bahwa mereka perlu percaya akan Injil Klristus.


Dalam sejarah kita menyaksikan di mana Injil dengan mudah diberitakan dan Alkitab dengan mudah diperoleh, justru di sana orang tidak mempedulikan Injil dan jarang membaca Alkitab. Sebaliknya, di mana Injil dan Alkitab dilarang dan dianiaya justru di sana orang-orang haus akan Injil. Jikalau kita menyebabkan orang lain menghina Injil, kita harus berrtobat. Kita harus memberitakan Injil dengan benar dan kesungguhan hati. Sekalipun mereka tidak suka secara lahiriah, namun mereka tidak dapat menyangkalnya secara hati nurani. “From Conscience to talk to conscience, from reson to talk to reason”. Jikalau saya berkhotbah hanya dengan rasio, maka hanya rasio saudara yang tergerak. Tetapi jikalau saya berkhotbah dengan pergumulan hati nurani, tidak mungkin saudara tidak bergumul secara rohani.


Bagaimana dunia dapat menghargai kekristenan? Tradisi Reformed menjawabvnya dengan sikap yang tegas mengenai penyucian terus menerus dalam kehidupan gereja. Selain itu, tradisi Reformed sangat memperhatikan pengujian terus-menerus mengenai doktrin yang dipercaya. Jadi reformasi tidak berhenti pada zaman reformasi. “Reformation did not stop at the day of reformation. No, Reformation means continously reform our self to bring our self back to the principal of the Bible.” Suatu reformasi yang konsisten dan berkesinambungan. Reformasi tidak terjadi satu kali untuk selama-lamanya, sebaliknya bersedia mengubah dan mengoreksi diri tanpa henti untuk senantiasa kembali kepada Alkitab. Koreksi ini meliputi dua hal penting, yaitu berkenaan dengan pengertian yang lebih lanjut; dan suatu peng-iluminasian yang difokuskan kembali pada doktrin yang benar. Misalnya doktrin ‘dibenarkan oleh iman’, yang telah diabaikan 1000 tahun lamanya, oleh pekerjaan Roh Kudus dicerahkan kembali melalui Luther. Kemudian Luther memberitakannya dan membawa kebangunan bagi gereja. Peristiwa ini berkenaan dengan iluminasi khusus Roh Kudus. Atau pada saat kita menemukan kesulitan dan tantangan yang membawa kita kembali kepada Alkitab. Alkitab adalah Firman Tuhan yang bagaikan gudang yang limpah dengan kebenaran dari Allah. Kita harus terus menggali dan beroleh pengertian berdasarkan iluminasi Roph Kudus.


Sikap positif yang bersedia mengoreksi diri terus-meneruys meng-akibatkan dampak sampingannya dalam sejarah gereja-gereja Reformed, yaitu gereja dapat terus-menerus berubah sehingga cukup banyak gereja Reformed menjadi liberal atau terseret dalam arus teologi modern. Di Amerika, gereja Prsbiterian yang telah menjadi liberal, dalam kurun waktu 15 tahun terakhir ini telah kehilangan 1 juta anggota. Mengapa dapat terjadi demikian? Hal ini disebabkan dalam liberalisme tidak ada lagi Injil yang murni, dan iman kepercayaan yang akurat dan murni yang dapat dipelihara. Keadaan ini bertambah menyedihkan oleh karena dewasa ini di Barat, gereja setiap bulannya kehilangan sekitar setengah juta anggotanya. Ini merupakan beban yang mendorong saya untuk menggarap pelayanan ini.


Saya tidak hanya melihat keadaan di kota Jakarta tetapi juga dalam keseluruhan Kerajaan Allah. Perhatikan, setengah juta orang Kristen tidak lagi pergi ke gereja. Jadi di seluruh dunia gereja kehilangan kira-kira enam juta anggotanya setiap tahun. Ke mana mereka? Sebagian hilang, dan sebagian mencari Kekristenan bentuk yang lain. Mereka mencari hal-hal yang emosional, khayalan dan membangkitkan kesenangan dengan membius diri tanpa memperhatikan ajaran yang akurat berdasarkan Alkitab. Kemudian orang-orang mengatakan bahwa itu adalah pertumbuhan gereja. Di mana pertumbuhan itu? Kita harus memikirkan dan bertindak hanya bagi kemuliaan Tuhan dan jangan menipu diri sendiri.


Tahun 1900 Kekristenan mel;iuputi 34% daripada seluruh penduduk dunia. Tahun 1950 tinggal kira-kira 30% dari penduduk dunia. Tahun 1930-an tinggal 28% dan tahun 1980-an tinggal kira-kira 32% dari penduduk dunia. Maka tahun 2000-an akan turun lagi menjadi kira-kira 25%. Saudara perhatikan, seolah-olah naik turunnya tidak banyak, namun di antara Protestan, Pantekosta dan Katolik maka jumlah Katolik kira-kira 60% daripada seluruhnya. Kekristenan waktu itu kira-kira 25-30% Gereja-gereja Pantekosta yang dimulai tahun 1900 sekarang mencapai jumlah kira-kira 328 juta. Apakah pertumbuhan gereja itu? Tidak lain hanyalah perpindahjan arah. Perpindahan arah ke mana? Apakah mereka berpindah ke arah yang membawa mereka kepada pengertian Alkitab yang lebih limpah, mendalam dan akurat, atau sebaliknya? Apakah ini dapat disebut sebagai pertumbuhan gereja? Kita harus melakukan sesuatu untuk mengembalikannya ke arah yang benar.


Sekarang ini Kharismatik melanda baik Katolik, Protestan maupun Pantekosta. Di samping itu pada akhir abad ini, liberalisme dan teologi modern menjadi satu arus yang besar sekali. Di antara gerakan-gerakan Kharismatik terdapat yang baik sekali tetapi kebanyakan tidak mempunyai mutu yang terlalu baik. Liberalisme tidak mungkin lagi menjadi pengharapan bagi dunia oleh karena mereka justru meng-gerogoti diri sendiri. Sedangkan dalam gerakan Kharismatik, doktrin dianggap tidak penting, ajaran Kristen tidak lagi dipentingkan, namun mereka masih mementingkan satu hal, yaitu penebusan Yesus Kristus. Hal ini harus diimbangi dengan ajaran yang benar dan menyeluruh, teologi yang ketat dan akurat serta api penginjilan yang terus berkobar. Inilah beban saya yang saya sebut sebagai Reformed Injili. Jikalau hanya Reformed tetapi tidak Injili berbahaya sebab kebanyakan Reformed tradisionil tidak melaksanakan teorinya dan mengabarkan Injil. Sedangkan orang-orang Injili harus mnempunyai dasar ajaran Firman Tuhan yang mendalam dan ketat. Jikalau keduanya dipadukan akan memberikan pengharapan baru bagi dunia abad 21. Kita harus menggarapnya mulai sekarang.


Bagian 2 :


Sakramen


Berkenaan dengan Sakramen, gereja Roma Katolik menganggap Perjamuan Suci adalah Sakramen mempersembahkan kembali tubuh Yesus di atas kayu salib. Maka setiap kali diadakan misa menyatakan tubuh dan darah Yesus yang dikorban lagi. Dengan demikian seorang pastur yang melaksanakan misa untuk melayani jemaat, seolah-olah mempersembahkan sekali lagi tubuh Kristrus, yaitu daging dan darah-Nya di hadapan Allah. Pandangan sedemikian disebut transubstansiasi. Transubstansiasi berarti berubahnya substansi roti dan anggur setelah diberkati, dan dipersembahkan menjadi tubuh dan darah Yesus Krisrtus. Martin Luther menolak pandangan Roma Katolik ini, namun pandangannya tetap berbeda dengan pandangan Zwingli dan Calvin. Masalah ini memang merupakan salah satu hal yang paling rumit.


Kepercayaan Roma Katolik akan transubstansiasi ini sebenarnya berakar pada pengaruh filsafat Aristoteles yang kembali menguasai pemikiran pada abad 13. Dalam filsafat Aristorteles terdapat dua hal tang menjadi satu, yaitu “Form and Matter”. Bentuk dan Materi, yaitu suatu materi dengan bentuknya tidak bisa dipisahkan. Sebaliknya dalam filsafat Plato, suatu benda atau materi berada di bumi sedangkan bentuk atau ide berada di atas. Jadi, Ide (Aidos dalam bahasa Gerika) dalam Platonic Philosophy tidak mungkin dapat kita temukan oleh karena di dalam dunia ini kita hanya melihat bayang-bayangnya saja. Misalnya, ketika seorang ingin menikah. Menikah itu suatu ide namun ketika mencari teman hidup kita seringkali tidak merasa sesuai dengan ide kita ini. Sampai akhirnya kita mendapatkan seseorang yang mendekati ide kita itu. Jadi ide lebih tinggi daripada kenyataan. Ide selalu lebih tinggi daripada benda, sehingga bentuk dan benda itu berpisah, demikian pemikiran Plato. Platonic idea is a perfection. Platonic ideais up there and visual is a something only a copy. Selanjutnya Aristoteles, murid Plato., menolak pandangan gurunya itu. Ide bukan berada di atas. Ide berada bersama dengan bentuk dan bentuk bersama dengan bendanya. Form and Matter can not be separated. Kemudian pengaruh Aristoteles meresap ke dalam pandangan mengenai Sakramen. Antara bentuk dan benda tidak dapat dipisahkan sehingga tubuh Kristus dan roti juga tidak dapat dipisahkan. Jadi gereja Roma Katolik menerima pandangan yang disebut transubtansiasi.


Pandangan sedemikian ditolak oleh Martin Luther. Martin Luther menjelaskan Perjamuan Kudus dengan istilah consubtansiasi. Artinya pada saat kita mengadakan Perjamuan Kudus maka Kristus sungguh-sungguh menyertai roti dan anggur. Darah dan tubuh Kristus tidak menjadi satu dengan roti dan anggur, melainkan Kristus yang pernah mati dan bangkit bagi kita hadir dan menyertai roti dan anggur. Sedangkan bagi orang-orang Reformed, Kristus tidak perlu hadir di dalam roti dan anggur tetapi memberkati kita melalui Perjamuan Kudus yang kita lakukan. Jadi Perjamuan Kudus adalah ‘means of grace’ (alat-alat anugerah).


Melalui Perjamuan Kudus kita mengingat kembali akan Kristus Yesus, Tuhan kita yang telah mati bagi kita. Dan kita bersatu dengan di dalam iman dengan Kristuis melalui persekutuan dalam Perjamuan Kudus itu. Zwingli menegaskan bahwa roti dan anggur hanyalah lambang. Maka jelaslah perbedaan antara gereja Roma Katolik dengan para Reformator. Pandangan tranmsubtansiasi nyatalah mengandung suatu ketakhayulan. Dan pandangan mengenai Sakramen ini tidak terlepas dari Kristologi, yaitu berkenaan dengan kedua sifat yang berada dalam diri Kristus.




BAB IV : REFORMASI & TEOLOGI REFORMED

PENENTANG REFORMASI DAN TRADISI REFORMED

Bagian 1 :

Gerakan Kontra Reformasi

(Counter Reformation)

Kini kita akan membahas mengenai gerakan-gerakan yang muncul sezaman dengan gerakan Reformasi. Gerakan yang pertama adalah “Counter Reformation” dan kedua adalah gerakan “Radical Reformation”.

Gerakan Kontra Reformasi yang berasal dari gereja Roma Katolik ini merupakan reaksi terhadap gerakan Reformasi, sedangkan gerakan Reformasi Radikal berasal dari orang-orang yang menentang gereja Roma Katolik tetapi yang juga tidak setuju dengan Reformasi. Gerakan Reformasi menghadapi dua arus, yaitu dari pihak gereja Roma Katolik dan juga dari orang-orang yang tidak setuju dengan gereja Roma Katolik dan merasa bahwa gerakan Reformasi kurang berani dan tuntas dalam melawan gereja Roma Katoilik. Gerakan terakhir ini disebut Radical Reformation (Reformasi Radikal) atau oleh Paul Tillich (1886-1965) disebut sebagai Sekterianisme.

Gerakan Kontra Reformasi muncul oleh karena gerakan Reformasi dianggap merupakan gerakan yang memisahkan diri dari kekuasaan Paus yang diterima sebagai wakil Kristus. Namun sebenarnya gereja Roma Katilik bukanlah satu-satunya gereja. Oleh karena pada saat kita mengaku percaya akan gereja yang kudus dan am atau katolik, tidak berarti yang dimaksud adalah Gereja Roma Katolik. Katolik atau am berarti gereja yang universal yang meliputi segala orang percaya di sepanjang zaman dan tempat, yaitu gereja yang tidak kelihatan. Sedangkan gereja Roma Katolik adalah gereja dalam versi Roma sehingga tidak mewakili seluruh gereja. Gereja yang terdiri dari orang-orang yang sungguh diperanakkan pula ini tidak semuanya berada dalam gereja Roma Katolik. Jadi istilah ‘katolik’ tidak sama dengan gereja Roma Katolik yang berpusat di Roma dan Vatikan.

Jauh sebelum Reformasi, yaitu pada abad 11 telah terjadi skisma atau perpecahan yang besar, yaitu perpecahan gereja Ortodoks Timur (Eastern Orthodox Church) atau disebut juga gereja Ortodoks Yunani dari gereja Roma Katolik. Gereja Ortodoks Yunani berpusat di Konstantinopel dengan bahasa pengantarnya adalah bahasa Yunani. Maka gereja ini disebut juga The Greek Orthodox Church. Sedangkan gereja Roma Katolik menggunakan bahasa pengantarnya bahasa Latin.

Apakah penyebab skisma antara gereja Ortodoks Yunani dengan gereja Roma Katolik? Penyebabnya adalah perdebatan mengenai pengertian ‘filique’. Perdebatan mengenai filique muncul berdasarklan perdebatan mengenai apakah Roh Kudus datang dari Bapa atau datang dari Anak. Maka gereja Ortodoks Timur mempertahankan pendapat bahwa Roh Kudus datang dari Bapa dan bukan dari Anak. Sedangkan gereja di Roma menegaskan bahwa Roh Kudus datang dari Bapa dan Anak. Istilah ‘filique’ ini sebenarnya berasal dari tesisnya Agustinus mengenai Tritunggal yang menegaskan bahwa Roh Kudus datang dari Bapa dan Anak. Dan oleh karena gereja Ortodoks Timur tidak menerima pandangan ini, maka terjadilah skisma yang besar dalam sejarah gereja.

Jikalau pada abad 11 telah terjadi skisma oleh karena berkenaan dengan salah satu ajaran, maka pada abad 16 Reformasi bukanlah suatu skisma melainklan suatu perombakan total yang berkenaan dengan keseluruhan ajaran yang kembali kepada Alkitab. Sejak abad 11 gereja Roma Katolik lebih memperhatikan penginjilan daripada gereja Ortodoks Timur. Sehingga sampai pada abad 16, gereja Roma Katolik lebih dominan daripada gereja Ortodoks Timur. Dan pada abad 16, gerakan Reformasi merupakan gerakan yang berhadapan gereja Roma Katolik. Gerakan Reformasi merupakan gerakan yangmeliputi negara-negara Eropa seperti Jerman, Perancis, Jenewa, Bohemia, Inggris dan Skandinavia Utara. Reformasi merupakan api yang menjalar ke seluruh Eropa bahkan ke seluruh dunia.

Ketika gereja mengalami Reformasi maka gereja dapat segera berusaha memadamkannya atau segera memperbaiki diri. Dan segera gereja Roma Katolik mengadakan Kontra Reformasi, baik untuk memadamkan Reformasi maupun memperbaiki diri sendiri. Gerakan Reformasi diperlukan agar gereja Roma Katoilik boleh dibangunkan dan diperbarui lagi. Dan sejarah menyatakan itu.

Ketika terjadi Reformasi maka 2/3 tetap tinggal di dalam dan 1/3 keluar. Sampai sekarang statistik menunjukkan kira-kira 2/3 berada dalam gereja Roma Katolik dan 1/3 orang Protestan. Dan angka ini sama dengan angka bintang yang jatuh adalah 1/3 sedangkan yang bertahan 2/3 nya. Agustinus pernah berusaha menjelaskan mengenai jumlah kaum pilihan. Maka ia mengatakan bahwa angkanya sama dengan jumnlah malaikat yang jkatuh. Alkitab memang tidak mengatakan dengan jelas mengenai hal itu tetapi pemikiran ini didasarkan pada suatu pemikiran teologis yang dalam. Jumlah kaum pilihan sama dengan jumlah malaikat yang jatuh menyatakn bahwa tugas malaikat yang jatuh sebagai saksi Tuhan digantikan oleh kaum pilihan.

Selanjutnya gerakan Reformasi segera mengalami masa penganiayaan yang muncul dari kesetiaan yang membabi buta. Kesetiaan kepada pusat yang didasarkan kepada anggapan bahwa keselamatan hanya terdapat dalam gereja Roma Katiolik. Maka segala gerakan yang melawan gereja Roma Katolik harus dimusnahkan. Pada waktu kesetiaan yang membuta terjadi, maka orang-orang tidak lagi memakai akal sehatnya sehingga mengakibatkan penganiayaan yang ganas dan tidak berperi-kemanusiaan. Keadaan ini membuat orang-orang Reformasi berkumpul secara kelompok agar dapat melangsungkan hidup tanpa dihantui dengan penganiayaan dan inquisisi, yaitu tindakan resmi gereja atau semacam mahkamah agama resmi untuk mengadili f

dan menghukum mereka yang dianggap bidat. Namun tindakan inquisisi ini tidak dapat dijalankan dengan sepenuhnya oleh karena orang-orang yang menangani inquisisi jauh lebih sedikit daripada orang-orang yang akan diadili oleh karena gerakan Reformasi telah tersebar di seluruh Eropa dan juga orang-orang Reformasi akhirnya berkumpul pada beberapa daerah yang menjadi daerah Reformasi di mana gereja Roma Katolik tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Namun di beberapa daerah yang masih dikuasai oleh gereja Roma Katolik saja yang dikuasai oleh aristiokrat Timur yang setia kepada Vatikan seperti Spanyol, Perancis Utara, sebagian Inggris, orang-orang Reformasi mengalami penganiayaan yangberat.

Kontra Reformasi yang dilakukan oleh gereja Roma Katolik berusaha menghentikan bahkan memusnahkan gereja Reformasi melalui tindakan penganiayaan dan pembunuhan. Pada waktu itu agama menyatakan kekejamannya yang kadangkala melebihi kekejaman orang yang belum beragama.

Di pihak lain, Kontra Reformasi juga berusaha memperbaiki diri, tetapi perbaikan itu tidak dalam hal-hal yang prinsip atau doktrinal, melainkan kebanyakan hanya dalam hal moral. Maksudnya, orang-orang Katolik merasa bahwa mereka memang kurang baik dan harus memperbaiki kehidupan moral namun sampai sekarang selama 472 tahun sejak Martin Luther mengadakan Reformasi, kita hampir tidak menemukan adanya doktrin-doktrin pokok Roma Katolik yang mengalami perubahan. Bolah dikatakan perubahan yang palihg besar hanya dalam satu hal, yaitu mereka mulai menganggap orang-orang Protestan pun adalah saudara mereka. Sehingga boleh diterima baik seperti halnya anak terhilang boleh kembali kepada persaudaraan. Ketika hal itu dinyatakan pada tahun 1953, orang-orang Protestan memberikan dua reaksi, yaitu: yang pertama tidak dapat menerima dianggap anak terhilang, dan yang kedua bersyukur kepada Tuhan oleh karena masih dianggap saudara. Dan Reformed Traditional tidak dapat menerima hal itu oleh karena tidak terjadinya perubahan doktrin kembali kepada Alkitab.

Kontra Reformasi didirikan pada tahun 1534 oleh Ignatius Loyola. Enam tahun kemudian diresmikan dan diakui oleh Paus Paul III. Ignatius Loyola ketika berusia 20 tahun pernah menjadi tentara dan dalam peperangan mengalami luka-luka yang mengakibatkan kakinya timpang. Pada usia 30 tahun, Loyola menyerahkan dirinya untuk menjadi imam dan kemudian dididik dalam biara. Sebenarnya ia memiliki kerinduan untuk pergi ke Turki melayani orang Islam supaya menjadi orang Kristen. Tetapi terjadinya Reformasi telah merubah arah hidupnya. Ia akhirnya menjadi orang yang melawan gerakan Reformasi. Perubahan ini terjadi oleh karena ia merasa seluruh gereja Roma Katolik menghadapi ancaman yang hebat dan menakutkan dari gerakan Reformasi. Maka Loyola menyerahkan hidupnya untuk melawan Reformasi dengan mendirikan Jesuit. Loyola memiliki semangat yang perlu kita hargai tetapi secara moral kita sangat ngeri menyaksikan cara-cara dan sepak terjang orang-orang Jesuit dalam sejarah ketika melawan gerakan Reformasi.

Orang-orang Jesuit adalah orang-orang yang luar biasa pengabdiannya. Kita harus mengakui ini. Mereka menyerahkan diri untuk berjuang tanpa menghiraukan untung rugi mereka sendiri. Mereka bersedia menderita bagi Yesus untuk memberitakan Injil di samping bersedia dilatih dan didisiplin dengan ketat. Sistem latihannya dimulai pada umur 14 tahun tetapi juga mereka menerima dari berbagai jenjang pendidikan dan usia. Meskipun mereka yang masuk tidak lulus SMA namun setelah dilatih dapat menyamai kepintaran seorang profesor. Seorang yang masih muda dilatih untuk kerja berat dan menanggung segala kesulitan sampai usia 16 tahun. Kemudian mereka masuk ke tingkat menengah. Sesudah umur 16 tahun, mereka mulai dilatih “liberal arts” yaitu pengetahuan umum yang meliputi berbagai disiplin ilmu. Sekarang ini malah kita mendapati banyak orang Protestan yang tidak belajar dengan serius dan mendalam lalu segera berkhotbah bahkan ditahbiskan menjadi pendeta. Mereka hanya mengetahui Alkitab dan tidak perlu belajar yang lain dan bahayanya justru pengetahuan mereka akan Alkitab juga salah. Jesuit melatih orang-orang dengan sangat ketat dan baru pada umur 21 tahun mereka dinaikkan ke tingkat yang lebih tinggi. Kemudian mereka belajar teologi dan filsafat.

Jikalau kita mengadakan perbandingan sederhana antara Katolik, Protestan dan Pantekosta, maka kita dapat melihat bahwa pastor gereja Roma Katolik mengetahui banyak hal namun anggota jemaatnya tidak terlalu banyak tahu. Pendeta gereja Protestan mengetahui sedikit demikian pulqa jemaatnya meskipun kadangkala jemaatnya lebih tahu banyak. Sedangkan gereja Pantekosta, pendetanya mengetahui sedikit, dan jemaat mula-mula juga mengetahui sedikit namun semakin lama mereka semakin mengetahui. Pada awalnya mereka hanya tahu jika datang kepada Tuhan Yesus maka segala masalah dapat diselesaikan, sakit tidak perlu ke dokter; namun kemudian banyak anggota jemaat gereja Pantekosta yang berpendidikan tinggi dan memberikan perubahan dan perkembangan.

Sistem pendidikan Jesuit dilakukan dengan ketat. Setelah dididik pengetahuan umum barulah dididik dalam teologi selama kira-kira 6 tahun. Kemudian mereka baru diterima menjadi anggota dari Jesuit. Seorang anggota Jesuit diwajibkan mementingkan beberapa hal: Pertama, berjanji untuk menjaga hidup yang jujur baik dalam hal keuangan, maupun moral. Kedua, memelihara keteguhan imannya tanpa kompromi, dan berani mati. Ketiga, setia dan kesediaan untuk taat sampai mati. Apabila seseorang bersedia mementingkan hal-hal ini barulah ditahbiskan menjadi anggota Jesuit. Di samping semuanya ini, Jesuit memiliki keunggulan dalam sistem pendidikan yang sangat ketat melebihi sistem pendidikan manapun. Pendidikan yang luas dan lengkap sehingga mereka sanggup menghadapi segala pikiran yang melawan Kekristenan. Selain itu didukung dan ditunjang oleh Paus yang dianggap sebagai wakil Kristus. Dengan demikian mereka sama dengan ditunjang oleh Kristus sendiri.

Langkah yang menjadikan mereka sukses pada permulaannya adalah menghalalkan segala cara. Suatu langkah yang tidak dapat kita setujui. Mereka menghalalkan cara untuk mencapai tujuan. “The Ends justified means”. Tujuan dari Jesuit adalah bagaimanapun juga hancurkan Reformasi. Semangat ini sangat dijiwai oleh Ignatius Loyola dalam membela Roma Katolik. Pernah terlontar perkataannya, “Bawalah anakmu yang berumur di bawah tujuh tahun, maka saya akan melatihnya menjadi seorang yang setia kepada Roma Katolik seumur hidupnya.” Loyola adalah seorang pelatih agama yang luar biasa.

Keunggulan lain yang dimiliki oleh Jesuit adalah semangat agresif menjangkau ke luar, sedangkan Reformasi lebih bersifat memelihara ke dalam. Dalam strategi peperangan Tiongkok kuno dikatakan bahwa sikap yang agresif selalu lebih unggul daripada sifat defensif. Orang yang defensif bagaimanapun hebatnya, akhirnya hanya mempertahankan supaya tidak kehilangan. Tetapi orang agresif, bagaimanapun kalah tetap bisa menjaga apa yang dimiliki sejak mulanya. Kita boleh katakan bahwa orang-orang Jesuit lebih ‘Injili’ daripada orang-orang Reformasi. Itulah sebabnya masa kini, kita memerlukan Reformed Injili. Mengapa orang-orang Reformasi kurang memperhatikan penginjilan? Kemungkinan besar disebabkan usaha mempertahankan ajaran yang berdasarkan Alkitrab. Usaha tertsebut menarik semua perhatian dan tenaga. Kita dapat mengerti tantangan yang dihadapi oleh Reformasi pada waktu itu, namun strategi seperti itu tidak boleh dibiarkan terlalu lama. Oleh karena Allah adalah Allah yang dinamis yang terus-menerus bekerja dalam sejarah sesuai dengan apa yang dikatakan Alkitab.

Hal itu juga ditegaskan oleh Calvin. Panggilan untuk mengabarkan Injil ke seluruh dunia merupakan bagian yang menyatu dengan keseluruhan panggilan orang percaya. Pada saat orang-orang Reformasi mempertahankan iman dan ajaran yang benar di Eropa, maka Roma Katolik terus mengutus orang untuk memberitakan Injil ke seluruh dunia. Mereka seakan berkata, sekalipun Eropa melawan, namun seluruh dunia takluk kepada Roma Katolik. Dengan demikian membuktikan bahwa Roma Katolik tetap adalah gereja yang am. Orang-orang yang diutus kebanyakan adalah orang-orang Jesuit yang bersedia menderita bahkan dibunuh dalam memberitakan Injil. Jesuit berkembang dengan pesat sekali. Pada waktu Loytola wafat (1556), 22 tahun sejak Jesuit didirikannya, maka Jesuit telah memiliki lebih dari 1000 tempat latihan di 1000 kota di seluruh dunia. Dan pada tahun 1715, jumlah orang yang dengan serius menyerahkan diri dan bersumpah seumur hidup tidak akan menikah mencapai 20.000 orang. Bayangkan 20.000 orang laki-laki berjanji seumur hidup tidak akan menikah, bersumpah untuk rela mati, dan tetap memberitakan Injil ke seluruh dunia meskipun menghadapi kesulitan.

Namun meskipun Jesuit memiliki kekuatan yang luar biasa, lambat laun mengalami kemunduran bahkan kerusakan oleh karena sikap menghalalkan segala cara. Banyak muncul kasus pembunuhan, dan kebohongan dengan dalih demi Paus dan Roma Katolik. Semua itu mengakibatkan kerusakan dan pencemaran nama Jesuit. Alkitab dengan tegas mengatakan bahwa hanya kebenaranlah yang akan bertahan sampai kekal. Akhirnya Paus menutup sekolah tersebut.

Konsili Trent

Kontra Refor,masi tampak pula dalam Konsili Trent (1545-1563) yang diadakan sebagai tanggapan Roma Katolik atas Reformasi. Konsili Trent diadakan selama 18 tahun untuk menentukan masa depan Roma Katolik setelah Reformasi. Gerakan Reformasai telah mengguncangkan Roma Katolik yang telah memiliki organisasi, administrasi dan tradisi yang kuat, bahkan kepemimpinan tunggal yang diakui di seluruh dunia. Maka Konsili Trent merupakan salah satu konsili yang penting oleh karena di dalamnya diputuskan beberapa hal yang penting di antaranya adalah:

1. Dalam konsili ini mereka menetapkan untuk melawan dan menentang gerakan Reformasi dengan menyusun strategi dan perencanaan yang matang.

2. Mereka menerapkan kembali doktrin-doktrin yang sesuai dengan kepercayaan mereka semula.

3. Mereka menegaskan kembali penerimaan segala tradisi yang telah diterima oleh gereja Roma Katoilik dan menerima terjemahan Vulgate sebagai Kitab Suci.

Kontra Reformasi pada umumnya maupun Konsili Trent pada khususnya meneguhkan posisi dari pada Paus. Dan setahun setelah Konsili Trent berakhir, Paus merestui suatu kepanitiaan yang terdiri dari para kardinal untuk menetapkan suatu penegasan iman gereja Roma Katolik. Beberapa tokoh penting dalam Kontra Reformasi adalah Paus Paul III, Ignatius Loyola (1401-1556), Teresa of Avila (1515-1582), dan John of the Cross (1542-1591).

Bagian 2 :

Gerakan Radikal Reformasi

Selain Kontra Reformasi maka terdapat gerakan yang kurang puas terhadap Reformasi, yaitu Radikal Reformasi. Gerakan Radikal Reformasi ini terdiri dari beberapa gerakan kecil. Mereka menyatakan diri sebagai orang-orang yang mengasihi dan setia melakukan kehendak Tuhan. Mereka kagum terhadap Reformasi tetapi juga kurang puas oleh karena mereka menganggap para Reformator masih kurang setia kepada Alkitab. Mereka menunjukkan bahwa Martin Luther tidak pernah berusaha melepaskan diri dari gereja Roma Katolik, sampai akhirnya dikucilkan dari gereja Roma Katolik. Padahal menurut mereka tidak ada yang perlu dikasihani dan disayangi untuk melepaskan semuanya itu. Mereka dengan tegas menganggap gereja Roma Katolik sebagai perempuan sundal sebagaimana dinyatakan dalam kitab Wahyu. Demikian pula dengan banyak tulisan pada masa Reformasi menyimbolkan Katolik dan pusatnya di Vatikan itu sebagai perempuan sundal di atas tujuh bukit yang tercatat dalam Wahyu. Oleh karena kota Roma berada di atas tujuh bukit, maka mereka menyatakan bahwa perempuan sundal yang dilukiskan dalam kitab Wahyu, berzinah dan menyenangkan diri dengan meminum darah kaum suci di atas bukit itu. Mereka menganggap orang-orang seperti Paus adalah orang-orang yang menganiaya orang-orang Reformasi dan meminum darah kaum suci.

Jadi Radikal Reformasi tidak setuju dengan gerakan Reformasi oleh karena:

1. Mereka menganggap orang-orang Reformasi kurang tuntas melawan Katolik. Mereka tidak setuju dengan sikap Martin Luther maupun Calvin yang kurang tegas dan tuntas dalam melawan gereja Roma Katolik.

2. Mereka sangat menekankan persekutuan dengan Kristus secara alegoris dan mistik. Untuk bersekutu dengan Kristus dan mengerti Alkitab diperlukan suatu pengertian yang lebih mendalam yaitu secara alegorikal dan mistikisme. Jelaslah bahwa mereka memiliki hermeneutika (cara menafsirkan Alkitab) yang berbeda dengan para Reformator.

3. Di antara gerakan Radikal Reformator ini ada yang sangat mementingkan apokaliptik, yaitu hal-hal yang berkenaan dengan kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kalki. Mereka sangat memegang ajaran mengenai Kerajaan Seribu Tahun (millenium) yang disebut Pre-millenialisme. Sedangkan para Reformator baik Martin Luther, Calvin, Zwingli menolak pandangan Pre-millenialisme.

4. Mereka tidak mementingkan organisasi dan administrasi. Mereka sangat mementingkan pengalaman rohani khususnya berkenaan dengan suatu pengalaman mistik atau pimpinan Tuhan yang langsung. Mereka menolak segala bentuk hirarki gereja Roma Katolik, sebaliknya mereka sangat menekankan wahyu Tuhan secara pribadi, yaitu Tuhan berbicara kepada orang perorangan secara khusus. Para Reformator menolak pandangan seperti ini, karena para Reformatyor menegaskan peranan Alkitab yang adalah Firman Tuhan dan tidak bersandarkan kepada pengalaman pribadi.

5. Mereka menolak Baptisan Anak-anak, yang disetujui oleh para Reformator sebagai ajaran yang tidak Alkitabiah. Mereka menganggap Baptisan terhadap anak-anak tidak sesuai dengan Alkitab oleh karena anak-anak belum dapat menyatakan iman mereka padahal iman mendahului baptisan. Sebaliknya, baik Martin Luther maupun Calvin menegaskan bahwa anugerah Allah yang diberikan kepada manusia mendahului respon manusia terhadap Allah. Oleh karena itu apabila seorang yang telah dewasa menyatakan imannya, maka hal itupun merupakan anugerah Allah. Baik iman maupun respon manusia kepada Tuhan merupakan anugerah Tuhan dan bukan suatu kemampuan manusia. Maka dengan Baptisan Anak-anak, para Reformator mengakui anugerah Tuhan yang mendahului respon manusia dan juga bukankah Tuhan Yesus mengatakan bahwa mereka yang seperti anak-anak yang empunya Kerajaan Allah. Gerakan Radikal Reformasi seperti Anabaptis mengharuskan seseorang yang sekalipun telah dibaptis anak-anak dibaptis kembali setelah dewasa.

Gerakan Reformasi segera diikuti dengan gerakan Kontra Reformasi baik dari gereja Roma Katolik maupun dari Radikal Reformasi. Maka setelah Martin Luther meninggal dunia, Melanchthon berusaha menyatukan antara Lutheran dan Calvinisme. Namun keduanya sulit dipertemukan oleh karena terdapat perbedaan pandangan mengenai Perjamuan Kudus dan juga setelah Augburg Confession mengalkami perubahan yaitu menerima pandangan adanya kerja sama antara Allah dan manusia dalam keselamatan, maka keduanya menjadi terpisah.

Dengan demikian antara Lutheran dan Teologi Reformed atau disebut juga sebagai Calvinisme terdapat perbedaan. Gereja Lutheran berkembang baik di Jerman, Denmark, negara-negara Skandinavia seperti Norwegia, Swedia. Sedangkan gereja-gereja di Bohemia, Perancis, Skotlandia, Inggris dan banyak tempat lain di Eropa memegang Teologi Reformed. Kira-kira seratus tahun kemudian gereja-gereja Reformed mulai gencar mengabarkan Injil ke seluruh dunia dan teologi Reformed (Calvinisme) mulai menyebar di seluruh dunia.

Bagian 3 :

Tradisi Reformed

Tradisi Reformed (Reformed Tradition) atau disebut juga Calvinmisme, merupakan sumber dari gereja-gereja Presbyterian. Gereja-gereja di Belanda yang berasal dari tradisi Reformed di sebut sebagai Gereformeerd dan Hervormd. Dan gereja-gereja di Indonesia kebanyakan berasal dari misi pekabaran Injil gereja-gereja Gereformeerd dan Hervormd di Belanda, seperti Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB), GPM. Gereja Masehi Injili di Minahasa (IKMIM), GMIST, GKI, Gereja Jawi, Gereja Pasunfdan, GKE, GMIT, dsbnya. Sedangkan gereja-gereja seperti HKBP, HKI, BNKP, GKPS, GKPI adalah gereja-gereja yang mempunyai latar belakang Lutheran, namun yang telah dipengaruhi oleh tradisi Reformed yang terjadi di Jerman. Dan keduanya, baik dari Belanda maupun Jerman, mengaitkan namanya dengan Injili seperti halnya gereja-gereja Lutheran di Jerman disebut Evangelist Church. Maka seharusnyalah baik gereja Lutheran maupun Reformed adalah gereja-gereja yang Injili.

Namun memasuki abad 19, menyusul munculnya teologi liberal maupun teologi modern, maka gereja-gereja Lutheran dan Reformed mulai kehilangan ciri aslinya. Untuk itu diperlukan suatu semangat Reformasi dalam teologi Reformed, yaitu kembali kepada Alkitab dengan setia. Kebanyakan hamba Tuhan yang berada dalam Tradisi Reformed masih memiliki hati nurani yang setuju untuk setia kepada ajaran Alkitab yang murni, namun kadangkala mereka terombang-ambing oleh pengaruh kuat teologi liberal maupun teologi modern yang menguasai pembicaraan persidangan gereja.

Tradisi Reformed atau Calvinisme bertitik tolak dari Allah. Allah yang berdaulat, yaitu Allah Tritunggal. Berkenaan dengan pokok ini dibahas hubungan antara Allah dan alam; Allah dan manusia; dan manusia dan alam. Alam adalah Ciptaan Allah. Dengan demikian Tradisi Reformed menolak ajaran Pantheisme yang menganggap segala sesuatu adalah Allah dan Allah adalah segala sesuatu. Tradisi Reformed menegaskan akan keberadaan Allah sebagai Pencipta alam semesta, maka antara Allah dan alam terdapat perbedaan kualitatif bukan hanya kuantitatif. Transendensi Allah sangat diperhatikan dalam Tradisi Reformed. Itulah sebabnya Karl Barth yang sangat menekankan transendensi Allah menyebut dirinya sebagai Reformed, namun tidak dapat kita kategorikan sebagai Reformed yang ortodoks oleh karena metodologinya terhadap Alkitab masih merupakan warisan teologi liberal yang menerima kritik tinggi terhadap Alkitab (Higher Criticism) dan juga konsepnya mengenai perencanaan Allah yang menyebut Allah sebagai ‘The Wholly Other’ menolak pernyataan Allah berbentuk proposisi.

Tradisi Reformed juga menolak pandangan Deisme, yang menganggap bahwa alam setelah diciptakan oleh Allah dibiarkan berjalan sendiri menurut hukum alam. Seperti halnya seorang pembuat lonceng yang membiarkan lonceng tersebut berjalan sendiri secara mekanis sampai pegasnya rusak. Tradisi Reformed menolak pandangan sedemikian oleh karena Allah adalah Allah yang menciptakan dan menyempurnakan. Allah bukan hanya menciptakan alam semesta tetapi juga menyempurnakan menuju kepada penggenapannya, yaitu consummation, bukan berarti konsumsi sampai habis tetapi menggenapinya.

Tradisi Reformed menegaskan kehormatan manusia sebagai ciptaan Allah yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Penegasan ini memberi sumbangsih besar bagi pembentukan sistem masyarakat dan penghargaan atas hak azasi manusia. Tradisi Reformed memberikan pengaruh atas kemajuan-kemajuan yang dicapai baik dalam ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan, dan hukum. Bandingkan Belanda dan Italia. Secara geografis dan jumlah penduduknya, Italia melampaui Belanda. Tetapi belanda mengungguli Italia dalam perkembangan dan kemajuan ekonomi dan kehidupan masyarakatnya. Negara-negara yang dipengaruhi oleh Tradisi Reformed tidak hanya mengalami kemajuan dalam ekonomi tetapi juga dalam kehidupan masyarakatnya termasuk dalam penerapan etikanya.

Di semua belahan dunia, manusia berusaha menuntut demokrasi seperti yang terjadi di RRC beberapa waktu yang lalu. Tetapi mereka sendiri kadangkala tidak jelas apa itu demokrasi yang mereka inginkan. Demokrasi mempunyai dua sumber, yaitu Ethinion Ention Great Democration dan Christian Influence of Democrazy. Kekristenan telah mempengaruhi jalannya demokrasi di dunia barat seperti Amerika, Inggris, dan Jerman. Mereka sangat menghargai kehormatan manusia sebagai ciptaan Allah. Demokrasi yang tidak dipisahkan dari hati nurani yang takut kepada Allah dan menghargai pemerintah sebagai intitusi yang ditetapkan Allah di atas dunia. Tradisi Reformed tidak hanya memulihkan ajaran yang salah, tetapi juga mengakibatkan suatu pengertian mandat kultural.

Manusia sebagai ciptaan harus taat kepada Penciptanya. Dan ketaatannya memberikan kekuatan kepadanya untuk menaklukkan alam. Man submit to God and govern over the creation. Manusia bertanggung jawab untuk memelihara dan membudi-dayakan alam semesta sebagai penatalayanan yang setia. Semua ini yang didasarkan atas konsep stewarship to God, memberikan motivasi yang kuat untuk bekerja dengan setia, jujur dan tanpa kompromi dengan ketidak-benaran. Tradisi Refoermed menghasilkan suatu masyarakat yang tertib dan tekun bekerja. Jelaslah doktrin Allah yang benar akan menghasilkan kehidupan yang benar dan berkelimpahan.

Agama sangat mempengaruhi kehidupan suatu bangsa. Kita dapat memperhatikan bangsa-bangsa yang pernah dipengaruhi Tradisi Reformed seperti Swiss dan Jerman.Bangsa-bangsa di Timur bukannya tidak pandai namun mereka belum mengalami Reformasi dan intervensi Allah dalam kebudayaan yang memberikan kebangunan. Jepang memiliki pengecualian. Pada abad 19, kaisar Meiji mengambil sikap terbuka terhadap dunia Barat yang memberikan dampak kemajuan bagi negara tersebut, demikian pula halnya dengan Korea Selatan. Demikian pula negara-negara Komunisme terungkap kegagalannya ketika disejajarkan dengan negara-negara yang pernah dipengaruhi Tradisi Reformed, seperti Jerman Timur dengan Jerman Barat; Korea Utara dan Korea Selatan.

Tradisi Reformed juga menegaskan mengenai penyataan atau wahyu Allah oleh karena Allah adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Allah menyatakan diri-Nya kepada manusia baik secara khusus (special revelation) maupun secara umum (general revelation). Teologi Reformed menegaskan akan wahyu umum yang memungkinkan orang yang belum percaya kepada Kristus memiliki pengetahuan yang rumit melalui penyelidikan atas alam semesta. Namun Teologi Reformed juga menegaskan bahwa manusia tidak mungkin mengerti wahyu umum dengan sesungguhnya tanpa wahyu khusus. Jadi dalam Teologi Reformed, wahyu khusus menjadi kunci untuk mengerti akan wahyu umum. Dalam wahyu umum, manusia dimungkinkan menemukan ilmu pengetahuan, namun ilmu pengetahuan tersebut tidak akan mencapai titik sasaran terakhir kecuali dimengerti berdasarkan wahyu khusus. Itulah sebabnya Teologi Refoirmed menegaskan bahwa ilmu pengetahuan harus ditaklukkan kembali kepada Allah di dalam Kristus.

Suatu kali saya berada dalam mobil bersama-sama dengan seorang Rektor Sekolah Teologi Injili dan seorang profesor sejarah dari Universitas Taiwan. Kami sedang berbincang-bincang mengenai strategi Kristen. Kemudian saya mengatakan kepada profesor sejarah itu, “Saudara pasti pernah mengalami jalan buntu ketika sedang menjelaskan sejarah dan filsafat sejarah.” Kalimat ini mungkin terlalu berani oleh karena sudah tentu dia lebih mengetahui sejarah daripada saya; tetapi saya mendasarkan ini kepada Allah yang melampaui sejarah. Maka profesor itu menyetujui pernyataan saya itu. Namun rektor Sekolah Teologi yang duduk di sebelah saya malah menyatakan bahwa ia ingin sekali belajar sejarah dan tidak hanya belajar Alkitab. Kedua reaksi ini sangat kontras. Rektor tersebut merasa diri kurang mengerti sejarah sedangkan saya ingin menegaskan bahwa belajar sejarah tanpa mengerti teologi secara benar akan berbahaya sekali oleh karena tidak dapat menjadi terang dunia. Maka ketika saya ingin menjelaskan maksud saya kepada rektor tersebut, profesor itu menjelaskan bahwa jika mereka para sejarawan kurang mengerti teologi tidak dapat menjelaskan sejarah secara tuntas. Lalu profesor itu bermaksud mengundang saya berbicara di hadapan para sejarawan Kristen memberikan pengarahan teologi.

Jelas bahwa Tradisi Reformed tidak hanya mengabarkan Injil tetapi menegaskan bahwa segala bidang kehidupan manusia harus ditaklukkan kepada kedaulatan Allah. Orang-orang yang memegang Teologi Reformed ketika berbicara soal filsafat atau kebudayaan tidak bermaksud mengabaikan Alkitrb, tetapi justru bermaksud menyatakan bahwa Alkitab lebih tinggi dari pada segala pemikiran manusia.

Tradisi Reformed beredasarkan kepada Allah yang telah menyatakan diri-Nya baik secara khusus maupun umum menegaskan dua mandat yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, yaitu mandat Injil dan mandat budaya. Gereja harus memberitakan Injil dan juga mempengaruhi segala macam kebudayaan kembali kepada Allah Pencipta. Inilah sebabnya kita perlu menegaskan kembali panggilan ini.

Kita harus mengabarkan Injil tetapi juga melatih dan membina orang percaya untuk menyatakan Ketuhanan Kristus dalam segala aspek kehidupan dan profesinya. Kalau tidak mereka akan hidup dalam dualisme. Abraham Kuyper mengatakan, “Di dalam jiwaku, pikiranku dan seluruh hidupku tidak ada satu inchi di mana Kristus tidak menjadi raja untuk menguasainya.” Ini adalah semangat Reformed. Dan kita tetap harus menjaga keseimbangan antara kedua mandat ini. Itulah sebabnya klita menegaskan Reformed dan Injili.

Tradisi Reformed dalam mengabarkan Injil selalu menyadari akan kedaulatan Allah. Kedaulatan Allah dalam memilih dan menyatakan anugerah-Nya yang menyelamatkan menusia berdosa. Berkenaan dengan hal ini, Tradisi Reformed menjelaskannya dalam ordo solutis (the order of salvation – urutan keselamatan) yang membahas mengenai proses terjadinya keselamatan dan proses ini berada dalam kedaulatan Allah Pencipta.

Kita dapat menyaksikannya dalam kehidupan rasul Paulus. Paulus bertobat dalam perjalanan menuju ke Damsyik dan menyerahkan diri melayani Tuhan sebagai hamba Tuhan. Bilakah Paulus dipanggil menjadi hamba Tuhan? Paulus menyatakan bahwa ia dipanggil Tuhan sejak dalam rahim ibunya. Kita dapat menemukan adanya ordo solutis. Tradisi Reformed menyatakan bahwa Tuhanlah yang menetapkan bukan kita terlebih dulu yang menyerahkan. Paulus tidak pernah meren-canakan untuk menjadi hamba Tuhan, sebaliknya berusaha menghancurkan orang-orang percaya, tetapi Tuhan Allah menetapkan dan memanggilnya. Tradisi Reformed selalu bertitik tolak dari Allah dan bukan dari manusia. Kita harus memiliki pengertian yang utuh dan menyeluruh dari Alkkitab. Roh Kudus yang memperanakkan kembali manusia yang berdosa sehingga dapat bertobat dan kembali kepada Tuhan Allah di dalam Yesus Kristus. Sola Gratia mendahului Sola Fide.

Penegasan kepada anugerah tidak meniadakan tanggung jawab manusia di hadapan Tuhan. Sola gratia menegaskan bahwa manusia tetap harus bertanggung jawab di hadapan Tuhan tetapi manusia tidak dapat menjalankan kewajibannya dengan benar tanpa anugerah Tuhan. Orang lebih mudah menerima bahwa keselamatan merupakan hasil kerja sama antara Allah dan manusia. Allah memberikan anugerah sedangkan manusia beriman. Namun pandangan sedemikian mengabaikan kenyataan bahwa kemauan manusia telah diperbudak oleh dosa. Sehingga manusia memerlukan normalisasi kemauan yang merupakan anugerah Tuhan. Bukankah ini menghilangkan tanggung jawab manusia?

Tanggung jawab manusia adalah berani menolak yang baik. Manusia yang berdosa hanya dapat berbuat dosa dan manusia harus mempertanggung-jawabkan dosanya. Manusia tidak dapat menjalankan kehendak Tuhan oleh karena keberadaannya yang berdosa. Itulah sebabnya manusia baru dapat menyadari anugerah Tuhan dan menerimanya ketika Tuhan Allah memberikan anugerah-Nya yang memungkinkan manusia menerima anugerah keselamatan.

Kita harus dapat membedakan antara: ‘mengatakan tidak dengan tidak mengatakan tidak’ ‘tidak mengatakan mau dengan mau mengatakan mau\. Sebelum Adam jatuh dalam dosa, Adam memiliki kebebasan yang netral. Namun setelah Adam jatuh dalam dosa, maka kita semua yang adalah keturunan Adam tidak lagi memiliki kebebasan yang netral. Keinginan manusia setelah jatuh dalam dosa adalah keinginan yang terbelenggu oleh dosa sehingga manusia hanya bisa berdosa sekalipun dengan berbagai dalih manusia menyatakan bahwa ia sedang mencari dan melayani Tuhan Allah. Orang yang berdosa baru dapat mengatakan “ya” kepada Tuhan ketika anugerah Tuhan diberikan kepadanya. Kita dapat menyimpulkan bahwa mereka yang terus-menerus berbuat dosa harus mempertanggung-jawabkan dosanya, dan mereka yang menerima anugerah Tuhan harus mengembalikan kemuliaan bagi nama-Nya.

Pernyataan yang ditegaskan kembali oleh para Reformator tersebut sebenarnya telah diuraikan oleh bapa gereja, Agustinus. Agustinus menguraikan dalam empoat tahap, yaitu: posse peccare, non posse non peccare, posse non peccare, dan non posse peccare (dapat berdoa, tidak dapat tidak berdosa, dapat tidak berdosa, dan tidak dapat berdosa). Ada perbedaan antara Adam sebelum jatuh dalam dosa dengan Adam setelah jatuh dalam dosa. Sebelum Adam jatuh dalam dosa masih memiliki kebebasan yang netral, yaitu dapat berbuat baik sesuai dengan kehendak Allah atau melanggar kehendak Allah; tetapi setelah jatuh dalam dosa, maka Adam hanya bisa berbuat dosa. Selanjutnya setelah menerima keselamatan oleh Yesus Kristus, kebebasan itu dipulihkan kembali (Yohanes 8:36). Dan tahap terakhir, yaitu consummation (penyempurnaan) terjadi pada saat pemuliaan (glorification), yaitu ketika kita telah berada di dalam sorga di mana kita tidak akan jatuh dalam dosa lagi.

Jadi jelaslah dalam Teologi Reformed, kita perlu memperhatikan empat keadaan tersebut di atas, yaitu sebelum jatuh dalam dosa, sesudah jatuh dalam dosa, setelah dilahirkan kembali, dan setelah berada dalam sorga.

BAB V : REFORMASI & TEOLOGI REFORMED

CALVINISME DAN ARMENIANISME

Selanjutnya akan dibahas mengenai suatu usaha menentang Tradisi Reformed, khususnya berkenaan dengan ajaran keselamatan, yakni Armenianisme.

Setelah generasi pertama dan kedua Reformasi, seperti Martin Luther, Melanchthon, John Calvin, Farcil dan Zwingli meninggal dunia, maka gereja-gereja meneruskan api Reformasi. Gereja-gereja di Belanda dan Skotlandia menganut Calvionisme, demikian pula orang-orang Huguenots di Perancis. Sedangkan di Jerman, Skandinavia, dan Swiss menganut Lutheranisme. Meskipun demikian baik Lutheran maupun Calvinis mempunyai banyak kesamaan khususnya dalam bersikap kepada Katolikisme.

Pada tahun 1603 di Belanda muncullah seorang profesor di Leiden bernama Jacobus Arminius (1560-1609) yang menganggap pandangan Calvinis khususnya mengenai doktrin pilihan ini sangat sempit dan salah. Lalu ia berusaha menentang bersama-sama dengan pendeta-pendeta dalam gereja Reformed yang setuju dengannya. Mereka nmengadakan aksi protes menentang Calvinisme, khususnya dalam doktrin predestinasi. Tindaklan ini mengakibatkan suatu gerakan teologi dalam sejarah yang disebut Remonstrants, suatu gerakan reaksi di dalam Tradisi Reformed. Gerakan Remonstrants ini mengakibatkan diadakannya sidang sinode untuk membahas apa yang diajukan oleh orang-orang Armenius dan penganutnya yang melawan Calvinisme mengenai keselamatan dan predestinasi itu. Puncaknya adalah diadakannya pertemuan sinode di Dort (1618-1619) yang menegaskan bahwa ajaran Armenius tidak sesuai dengan seluruh prinsip Kitab Suci. Sinode Dort menegaskan ulang doktrin keselamatan dan doktrin Allah dalam suatu pernyataan lima prinsip dasar. Kelima dasar tersebut dinyatakan sebagai T U L I P, yaitu:

1. Total Depravity (Kerusakan total manusia yang berdosa)

2. Unconditional Election ( Pilihan Allah tanpa syarat)

3. Limited Atonement (Penebusan Kristus atas orang-orang percaya)

4. Irresistible Grace (Anugerah Roh Kudus yang tidak dapat ditolak)

5. Perseverance of the saints (Ketekunan orang kudus sampai pada akhirnya)

Ke-lima prinsip ini dimulai dengan orang yang berdosa dan diakhiri dengan orang yang dikuduskan. Prinsip ini menyatakan suatu perubahan status dari orang berdosa menjadi orang kudus oleh karena penebusan Kristus. Inilah keselamatan dalam Kristus, yaitu orang berdosa mengalami pekerjaan Tuhan yang menjadikannya orang kudus. Semuanya itu berdasarkan inisiatif dari pekerjaan Allah Tritunggal. Bagaimana seoreang yang berdosa dapat menjadi orang kudus? Allah Bapa memilih kita. Anak menebus kita dan Roh Kudus mengaruniakan keselamatran bagi kita. Jelaslah bahwa keselamatan tidak dapat dipisahkan dari Allah Tritunggal.

Saya menemukan ayat yang dengan jelas menyatakan siapakah orang Kristen itu, yaitu 1 Petrus 1:2 :

“yaitu orang-orang yang dipilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita, dan dikuduskan oleh Roh, supaya taat kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya.”

Dalam ayat ini diuraikan pekerjaan Allah Tritunggal. Pertama disebutklan Allah Bapa, kemudian Roh Kudus, dan Anak. Urutan ini menegaskan kembali akan Ordo Solutis (Order of Salvation), yaitu dimulai berdasarkan pilihan Allah, kemudian Roh Kudus yang menjadikan kita datang kepada Yesus Kristus untuk menerima penebusan.

Prinsip yang dinyatakan dalam TULIP ini seringkali menjadi sulit dimengerti berkenaan dengan istilah yang digunakan.

1. Total depravity. Tidak berarti bahwa manusia yang berdosa telah sama sekali kehilangan gambar dan rupa Allah, sehingga tidak berarti pula manusia yang berdosa tidak dapat melakukan kebajikan meskipun minimal dan tidak memiliki nilai apa-apa lagi di hadapan Allah. Kerusakan total yang terjadi atas manusia yang berdosa, berarti dosa telah mencemari seluruh aspek kehidupan manusia dan pada saat yang sama, manusia telah kehilangan kebenaran, kekudusan dan pengetahuan yang benar (band. Efesus 4:25; Kolose 3:10)/

2. Uncdondistional Election. Armenian mengatakan bahwa Allah memang memilih kita namun Ia memilih oleh karena telah mengetahui terlebih dahulu bahwa kita memiliki kemauan untuk percaya. Hal ini berarti Allah memilih berdasarkan kemauan percaya kita kepada-Nya. Namun pernyataan ini sebenarnya berarti bukannya Allah yang memilih kita tetapi kita yang terlebih dahulu memilih Allah, barulah Allah memilih kita. Pandangan sedemikian ini jelas ditolak oleh Alkitab, oleh karena bukan kita yang memilih Allah melainkan Allah yang memilih kita terlebih dahulu tanpa syarat, oleh karena kita tidak akan dapat memenuhi persyaratan Allah. Allah mengasihi kita terlebih dahulu barulah kita dapat mengasihi Allah.

3. Limites atonement. Tidak berarti bahwa kuasa Kristus dibatasi atau kuasa Kristus tidak sanggup menyelamatkan semua manusia yang berdosa atau lkuasa Kristus kurang sempurna. Sebaliknya istilah ini berarti bahwa Kristus datang untuk menebus kaum pilihan Allah. Acap kali orang yang tidak setuju dengan ajaran mengenai predestinasi mengutip 2 Petrus 3:9

“....Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat.”

Namun pengertian ayat ini perlu diimbangi dengan pengertian Alkitab secara menyeluruh. Dalam Yohanes 12:32 :

“dan Aku, apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku.”

Perkataan Yesus ini, menunjuk kepada peristiwa penyaliban-Nya. Apakah ketika Yesus disalibkan, seluruh dunia menjadi orang Kristen yaitu orang yang percaya Yesus Kristus? Maka istilah “semua” tidak menyatakan semua orang melainkan semua orang yang dipilih Allah akan beroleh keselamatan. Pengertian seperti ini berdasarkan pada perkataan Yesus Kristus dalam Yohanes 6:37

“Semua yang diberikan Bapa kepada-Ku akan datang kepada-Ku, dan barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan Kubuang.”

Jadi pengertian Limited atonement artinya bahwa Ia datang untuk menyelamatkan kaum pilihan Allah (Matius 1:21). Alkitab menolak pandangan universalisme yang menyatakan Allah menyelamatkan semua oranmg yang berdosa, baik percaya maupun tidak percaya kepada Yesus Kristus.

4. Irresistible Grace, artinya anugerah dan gerakan Roh Kudus itu tidak dapat ditolak. Apakah Saudara pernah mendiamkan gerakan Roh Kudus? Dalam pengalaman kita seolah-olah kita dapat menolak pekerjaan Roh Kudus. Tetapi mengapa dikatakan tidak bisa menolak? Hal ini menyatakan bahwa sampai tiba waktu yang ditetapkan Allah maka rencana Allah pun pasti terjadi. Sebelum itu Allah memperbolehkan kita menolak terus namun akhirnya kita sebagai kaum pilihan tidak bisa tidak menerima pekerjaan-Nya dalam hidup kita. Sebagaimana halnya dengan Paulus yang tidak pernah memiliki rencana menjadi orang Kriosten akhirnya menyerahkan dirinya kepada Tuhan Yesus.

[ 5. Perseverance of the Saints (Ketekunan Orang-orang Kudus).
Beberapa theolog menjelaskan arti lain dari konsep ini, yaitu ketekunan Allah bagi orang-orang kudus. Orang-orang kudus di sini berarti umat pilihan-Nya (yang percaya kepada Kristus dengan sungguh-sungguh). Dr. Palmer menjelaskan arti sederhana konsep ini sebagai “sekali diselamatkan selamanya diselamatkan.” Artinya, semua umat pilihan yang telah diselamatkan, otomatis tidak akan pernah mungkin bisa hilang keselamatannya. Konsep ini baru bisa dimengerti setelah kita mengerti ketekunan dan kesetiaan Allah.

Di dalam Alkitab, kita mempelajari banyak konsep tentang Allah yang Setia. Bahkan Paulus di Roma 3:3-4 berani menantang jemaat Roma, “Jadi bagaimana, jika di antara mereka ada yang tidak setia, dapatkah ketidaksetiaan itu membatalkan kesetiaan Allah? Sekali-kali tidak! Sebaliknya: Allah adalah benar, dan semua manusia pembohong, seperti ada tertulis: "Supaya Engkau ternyata benar dalam segala firman-Mu, dan menang, jika Engkau dihakimi.” Mereka di sini menunjuk kepada orang Yahudi. Meskipun orang Yahudi banyak yang tidak setia, Allah tetap setia pada janji-Nya menyelamatkan umat pilihan-Nya (termasuk beberapa orang Yahudi).6 Kepada jemaat di Korintus, Paulus mengajarkan, “Ia juga akan meneguhkan kamu sampai kepada kesudahannya, sehingga kamu tak bercacat pada hari Tuhan kita Yesus Kristus. Allah, yang memanggil kamu kepada persekutuan dengan Anak-Nya Yesus Kristus, Tuhan kita, adalah setia.” (1Kor. 1:8-9) Jika di Roma 3:3, Paulus menggunakan kata Yunani pistis, maka di 1Kor. 1:9, Paulus menggunakan kata pistos, yang keduanya memiliki akar kata Yunani peithō yang bisa diterjemahkan keyakinan, persetujuan, jaminan, dll. Dengan kata lain, Allah yang setia adalah Allah yang bisa dipercayai dan dijamin (trustworthy). Allah yang bisa diandalkan ini adalah Allah yang juga bisa diandalkan di dalam hal keselamatan. Ia yang telah memulai keselamatan, Ia pulalah yang akan menggenapinya. Oleh sebab itu, mari kita akan menelusuri apa yang Alkitab ajarkan tentang hal ini sehingga kita makin lama makin mengerti apa yang Alkitab ajarkan tentang kesetiaan Allah.

Tuhan Yesus di dalam Injil Yohanes 6:39 berfirman dengan jelas, “Dan Inilah kehendak Dia yang telah mengutus Aku, yaitu supaya dari semua yang telah diberikan-Nya kepada-Ku jangan ada yang hilang, tetapi supaya Kubangkitkan pada akhir zaman.” Kata “hilang” dapat diterjemahkan binasa. Dengan kata lain, semua umat pilihan yang telah dibawa oleh Allah Bapa kepada Kristus tidak mungkin binasa, melainkan mereka akan dibangkitkan oleh Kristus pada akhir zaman (bdk. Yoh. 3:16b). Inilah jaminan keselamatan kekal Allah bagi umat-Nya.

Selanjutnya, Tuhan Yesus pula di dalam Yohanes 10:27-29 berfirman, “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku, dan Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan seorangpun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku. Bapa-Ku, yang memberikan mereka kepada-Ku, lebih besar dari pada siapapun, dan seorangpun tidak dapat merebut mereka dari tangan Bapa.” Ketiga ayat ini berada di dalam konteks pembahasan Tuhan Yesus tentang Gembala dan domba. Domba mendengarkan suara gembalanya, demikian juga umat pilihan-Nya mendengar suara Kristus sebagai Gembala mereka. Antara Gembala dan domba, saling mengenal, sehingga mereka tidak mungkin tertipu. Sebagai wujud kasih Gembala kepada domba, Ia mau menyerahkan hidup-Nya bagi domba-domba itu (baca ayat 11) dan kemudian, Ia memberikan hidup kekal kepada domba-dombanya itu. Apakah hidup kekal itu? Hidup yang tidak bisa binasa (Yoh. 3:16b). Wujudnya adalah domba-domba-Nya tidak akan bisa direbut dari tangan Kristus dan Bapa. Lebih tegas lagi dikatakan oleh Tuhan Yesus sendiri di ayat 29 bahwa tidak ada seorang pun yang lebih berkuasa dari Bapa yang telah memberikan umat pilihan-Nya kepada Kristus. Dengan kata lain, hanya Allah Trinitas yang berkuasa mutlak atas keselamatan umat-Nya, dan iblis pun tidak bisa merebut umat pilihan-Nya itu. Itulah jaminan keselamatan kekal umat pilihan-Nya. Jika Arminian yang mengajarkan bahwa keselamatan umat pilihan-Nya bisa hilang itu benar, maka patutkah Kristus di ayat 29 mengatakan bahwa Bapa-Nya lebih besar dari siapapun?

Sebagai jaminan bahwa keselamatan kita tidak akan pernah hilang, maka Roh Kudus diutus untuk menjadi saksi. Rasul Paulus mengajarkan hal ini di dalam Efesus 1:13-14, “Di dalam Dia kamu juga--karena kamu telah mendengar firman kebenaran, yaitu Injil keselamatanmu--di dalam Dia kamu juga, ketika kamu percaya, dimeteraikan dengan Roh Kudus, yang dijanjikan-Nya itu. Dan Roh Kudus itu adalah jaminan bagian kita sampai kita memperoleh seluruhnya, yaitu penebusan yang menjadikan kita milik Allah, untuk memuji kemuliaan-Nya.” Roh Kudus adalah jaminan (bisa diterjemahan stempel sah) bagi umat-Nya bahwa mereka tidak akan binasa. Mengapa? Karena Roh Kudus itu yang menjamin kita memperoleh seluruhnya, yaitu penyempurnaan penebusan yang menjadikan kita milik Allah (baca ayat 14). Sungguh sangat jelas, Roh Kudus menjadi saksi dan jaminan bagi kita bahwa kita benar-benar anak-anak Allah dan tidak akan pernah ditinggalkan sendirian (Rm. 8:16, 28).

Para theolog Arminian menyanggah pandangan ini dengan dua argumentasi, yaitu: pertama, doktrin ini tidak “cocok” dengan fakta bahwa ada banyak orang Kristen yang akhirnya murtad, lalu kedua, doktrin ini mengakibatkan orang Kristen hidup seenaknya sendiri. Bagaimana tanggapan Reformed?

Pertama, kalau ada orang Kristen yang murtad, kita perlu klarifikasikan makna Kristen itu sendiri pada diri orang itu. Apa arti Kristen? Kristen berarti pengikut Kristus (atau bisa diterjemahkan “Kristus-kristus kecil” yang menjadi saksi Kristus di tengah dunia. Untuk menjadi saksi Kristus, hidup orang Kristen sejati harus berpusat kepada Kristus dan firman Allah (Alkitab). Hidup yang berpusat kepada Kristus dan Alkitab adalah hidup yang menTuhankan Kristus dan memuliakan-Nya SAJA. Benarkah orang Kristen sejati tiba-tiba bisa murtad? Dari definisi yang sudah saya paparkan secara jelas ini, kita dapat menjawab dengan pasti, bahwa orang Kristen SEJATI tidak pernah akan mungkin bisa murtad, mengapa? Karena keselamatannya adalah anugerah Allah dan Roh Kudus sendiri yang menjamin kepastian keselamatannya.

Kedua, yang bisa murtad lagi tentu BUKAN orang Kristen sejati, tetapi orang yang memakai aksesoris dan mengklaim diri “Kristen”. Bedakan antara aksesoris Kristen dengan iman Kristen. Aksesoris Kristen adalah tempelan-tempelan “Kristen” yang dipakai oleh orang yang sebenarnya tidak pernah beriman Kristen. Contoh, setiap Minggu, rajin ke gereja, ikut Persekutuan Doa, Pendalaman Alkitab, berpuasa, dll, mereka hanya mengenakan aksesoris “Kristen”, tetapi benarkah hatinya berpusat dan tunduk mutlak kepada Kristus? TIDAK! Kalau disuruh belajar Alkitab, ia pasti mau, tetapi kalau disuruh mengubah karakter dan motivasinya, ia belum tentu mau. Saya agak takut dengan banyak orang yang mengaku diri Reformed, studi theologi Reformed di luar negeri, tetapi hidup rohaninya kering, yang dipentingkan debat sini sana (bukan berarti tidak perlu debat), tetapi tidak pernah mengalami anugerah Allah di dalam hidupnya. Otaknya penuh dengan berbagai teori yang dipelajari, tetapi hatinya kering, tidak ada semangat lagi melayani, bahkan ke gereja pun menjadi rutinitas. Tidak heran juga, bahkan seorang pemimpin gereja dari gereja yang mengaku bertheologi “Calvinis” tiba-tiba bisa menulis satu artikel yang membuktikan Kristus tidak bangkit, meskipun kemudian setelah ditegur oleh gerejanya, ia “bertobat” secara akademis.

Kedua, benarkah orang Kristen sejati yang telah diselamatkan hidupnya bisa seenaknya sendiri? Tidak mungkin. Mungkin untuk beberapa saat, iya, tetapi kalau untuk selama-lamanya, tidak. Mengapa? Sekali lagi, karena Roh Kudus yang menjamin kepastian keselamatan umat pilihan-Nya dengan cara memimpin, menegur, dan mengarahkan langkah hidup mereka supaya mereka makin memuliakan Allah (progressive sanctification/pengudusan terus-menerus). Orang Kristen yang hidup seenaknya sendiri jelas bukan orang Kristen sejati, tetapi, seperti yang sudah saya kemukakan di atas, adalah orang yang memakai aksesoris “Kristen” tanpa mengerti arti Kristen sesungguhnya. Terlalu banyak model orang “Kristen” palsu seperti ini di dalam gereja. Marilah kita masing-masing mengintrospeksi diri.

Apa signifikansi doktrin ketekunan orang kudus ini?

Pertama, kedaulatan Allah melebihi semua keterbatasan manusia. Dengan melihat apa yang Alkitab paparkan dengan sangat jelas tentang keselamatan umat pilihan yang tidak mungkin binasa, kita semakin mengerti bahwa Allah adalah Allah yang Berdaulat yang melebihi semua keterbatasan manusia, sehingga ketika umat-Nya di satu saat mengalami penurunan spiritualitas atau hidup tidak beres di saat tertentu, Roh Kudus aktif mengingatkan mereka melalui Firman Tuhan (Alkitab) atau khotbah yang disampaikan oleh pendeta yang bertangggungjawab atau melalui buku-buku rohani yang bermutu. Roh Kudus memakai banyak cara untuk membuat hati kita dimurnikan kembali untuk memuliakan dan menikmati Allah selama-lamanya. (bdk. Katekismus Singkat Westminster Pasal 1).

Kedua, realita pembeda. Doktrin ini mengantarkan kita untuk lebih teliti dan tajam lagi membedakan mana orang Kristen sejati dengan orang yang katanya “Kristen” (saya menyebutnya: pseudo-Christian/Kristen palsu). Bedanya adalah orang Kristen sejati dari titik awal sampai penghabisannya tidak akan pernah murtad lagi. Meskipun di kala tertentu sempat murtad, Allah yang berdaulat akan “memukul” dia untuk kembali kepada Kristus. Salah satu contoh artis Indonesia yang menggambarkan realita ini adalah Nafa Urbach. Menurut berita, Nafa Urbach dari kecil adalah Kristen, kemudian ikut neneknya (kalau tidak salah), maka ia menjadi Islam, lalu kira-kira 1-2 tahun lalu, ia “dipukul” Tuhan sehingga ia menjadi Kristen lagi. Sedangkan, orang yang mengaku diri “Kristen” dijamin akan murtad selama-lamanya. Saya belum bisa memastikan contoh praktis di Indonesia, karena mereka yang murtad juga belum meninggal. Yang saya tahu, mereka yang mengaku diri “Kristen” kemudian murtad kebanyakan dari Gereja Katolik, meskipun ada juga dari gereja-gereja Protestan arus utama, sebut saja: Dian Sastrowardoyo (dari Gereja Katolik menjadi Islam), Dewi Lestari dan Marcell Siahaan (suami istri yang dulunya Protestan akhirnya menjadi Buddhis), dll. Mereka yang murtad justru membuktikan iman seperti apa yang mereka miliki. Benarkah mereka beriman sungguh-sungguh kepada Kristus? Atau sebaliknya, mereka sebenarnya “beriman” kepada diri meskipun mengaku di depan umum sebagai “Kristen”? Oleh karena itu, jangan sembarangan mempergunakan nama Kristen (apalagi anak Tuhan) kepada diri atau pun orang Kristen lain, jika kita sendiri (atau orang-orang Kristen lain) belum (layak) mencerminkan hakekat anak Tuhan sejati. Tidak semua orang yang mengaku diri “Kristen” adalah anak Tuhan. Oleh karena itu, marilah kita mengintrospeksi diri, sudahkah kita benar-benar menunjukkan bahwa kita adalah anak Tuhan sejati dengan beriman hanya kepada Kristus? ]

EXKURSUS : REFORMASI & TEOLOGI REFORMED

TEOLOGI REFORMASI DAN RELEVANSINYA

BAGI GEREJA MASA KINI

PENDAHULUAN

Teologia Reformed merupakan sesuatu gerakan pengertian firman Tuhan yang berdasarkan hati nurani yang murni dan perasaan tanggung jawab yang sungguh-sungguh kepada Tuhan. Baik dari Martin Luther, Zwingli maupun Calvin mereka sebenarnya tidak ada maksud untuk memecah gereja, mengajarkan doktrin-doktrin yang baru atau memisahkan sebagian orang untuk memihak mereka, melainkan mereka benar-benar terdorong oleh suatu keadaan yang menyedihkan yaitu penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dalam gereja terhadap Alkitab dan doktrin-doktrin yang diajarkan dari jaman ke jaman.

Para Reformator adalah orang-orang jujur yang mau kembali setia kepada Allah dan mereka juga mau mempengaruhi gereja agar kembali setia kepada Allah. Mereka tidak menegakkan doktrin yang baru, melainkan menjelaskan doktrin yang dari kekal sampai kekal tidak berubah berdasarkan firman Tuhan yang diwahyukan dalam Kitab Suci. Khususnya Calvin, dalam "Institutes of the Christian Religion", mempunyai motivasi supaya manusia mengenal bahwa ajaran-ajaran Reformed adalah sesuai dengan ajaran-ajaran Kitab Suci. Boleh dikatakan ini adalah semacam kebangunan doktrinal yang bersangkut-paut dengan pengertian kepada interpretasi yang sah terhadap iman rasuli. Selain daripada pengaruh dalam hal doktrin yang benar, kekristenan juga membawa kita sebagai anak-anak Tuhan yang setia menjalankan tugas kehidupan di dalam dunia ini untuk mempunyai perasaan tanggung-jawab kultural dan sosial. Baik di dalam aliran Lutheran maupun Calvinis keduanya memiliki gagasan bagaimana orang Kristen hidup sebagai warga negara yang harus menjadi terang dunia dan dapat mempengaruhi kebudayaan serta membawa Kekristenan kepada Kristus yang sebenarnya adalah Raja di atas segala bidang dan aspek kebudayaan. Dengan demikian di mana teologi Reformed berada, daerah itu menerima pengaruh daripada kebenaran di dalam semua aspek kebudayaan.

Selain kembali kepada ajaran Kitab Suci dan hidup bertanggung jawab dan memberi pengaruh kebudayaan, Calvin juga mementingkan:

1). Kedaulatan Allah di dalam seluruh dunia, khususnya di dalam Tubuh Kristus,

2). Hanya berdasarkan iman saja manusia dibenarkan.

Di dalam kedua hal di atas, boleh dikatakan bahwa kedua Reformator mendapat pengaruh dari Agustinus. Doktrin anugerah, doktrin keselamatan, doktrin Allah dan Injil yang murni ditegakkan kembali di dalam ajaran teologia Reformed sehingga kita tidak asing dengan istilah-istilah: sola scriptura, solagratia, sola fide, soli Deo gloria dan lain-lain. Kesemuanya adalah cetusan istilah yang begitu singkat namun tepat untuk melukiskan tekanan-tekanan dari gerakan Reformasi pada jaman itu yang berpengaruh ke segala jaman.

Itulah sebabnya sejak Reformasi, 470 tahun lebih y.l., kita melihat pengaruh Teologi Reformed sangat menonjol, seperti:

1). Di mana pengajaran Reformed disebarkan di sana penghargaan terhadap kehormatan atau martabat manusia tidak terlepas dari gerakannya. Dan akibat dari penghargaan terhadap hak manusia ini maka di mana Calvinisme berada di sana boleh dikatakan menjadi tempat-tempat suburnya demokrasi di dalam pembentukan masyarakat dan politik mereka.

2). Selain daripada itu aliran Lutheran dan Calvinis juga berpengaruh di bidang sastra, bahasa maupun musik. Ini merupakan suatu kontribusi yang penting. Sesudah beberapa ratus tahun kemudian, mandat kultural menjadi sesuatu aspek yang dipentingkan dan ditekankan oleh kaum Calvinis. Maka kita melihat semua negara Protestan mencapai kemajuan di dalam bidang industri, ilmiah lebih pesat daripada negara-negara yang tidak dipengaruhi oleh teologia Protestan. Sampai hari ini produksi-produksi yang paling akurat dan dapat diandalkan, misalnya, adalah berasal dari Jerman, Swedia dan sebagainya. Ini adalah pengaruh tidak langsung dari Reformasi. Hal yang sama juga terjadi di bidang musik. Jadi boleh dikatakan bahwa pengaruh ini telah meluas dan mencapai segala bidang, seperti yang dikatakan oleh Abraham Kuyper bahwa tidak ada satu inci pun di dalam bidang hidup manusia yang Kristus tidak ada takhtanya.

TEOLOGIA REFORMASI DI TENGAH-TENGAH KONTEKS BERGEREJA DI INDONESIA

Indonesia pernah dijajah oleh Belanda sehingga gereja Protestan merupakan gereja yang sangat luas dan berakar di Indonesia semasa penjajahan. Kami pikir gereja pada waktu itu merupakan gereja dari lapisan kelompok masyarakat yang agak tinggi sehingga Keristenan sebenarnya masih belum terlalu mendarat dan berakar dalam masyarakat umum. Menunggu sampai Gereja Pentakosta timbul di Indonesia, barulah Injil dikabarkan kepada khalayak yang lebih banyak. Khususnya melalui karunia-karunia seperti kesembuhan dan sebagainya. Hal ini menarik banyak orang miskin datang kepada Kekristenan sehingga Kekristenan menurun kepada lapisan yang lebih rendah.

Sedikit berbeda dengan penginjilan di daratan Tiongkok yang pada waktu itu lapisan masyarakat atasnya adalah penganut Konfusianisme, mereka bersikap antipati kepada Keristenan. Karena itu Kekristenan melalui OMF (dahulu CIM) hanya mencapai kebanyakan orang dari lapisan bawah atau rendah. Sedangkan di Indonesia karena gereja adalah milik lapisan yang agak atas atau tinggi, kecuali di beberapa tempat yang dahulunya merupakan daerah animisme dan kemudian ada sebagian yang menjadi daerah Kristen, maka kami tidak berpandangan bahwa orang-orang Kristen itu sudah menerima dengan jelas atau mempunyai posisi teologia Reformed dengan pengertian dan kepercayaan yang kuat di dalam kondisi sedemikian. Setelah gereja-gereja harus menghadapi kultur yang lebih bersifat pluralistik, kita melihat banyak gereja Protestan mempunyai gejala yang sangat tidak normal. Misalnya sebagian dari mereka tidak puas dengan pelayanan gereja masing-masing sehingga banyak yang terpengaruh dan menuju kepada gereja-gereja yang lebih bercorak emosional maupun gerakan pengalaman ke gerakan Karismatik atau Pentakostal dan sebagainya. Sementara banyak orang yang dulunya anggota Protestan masih menyimpan jimat-jimat dan berhala-berhala sebagai pengaruh kebudayaan lama yang tidak mereka lepaskan sesudah menamakan dirinya Kristen. Di sini terlihat bahwa gerakan Protestan sendiri masih berusaha di dalam suatu ketidak-stabilan teologia maupun iman kepercayaan dan pengalaman agama yang sesuai dengan teologia itu. Karenanya teologia Reformed perlu cepat-cepat ditanamkan dengan sebenar-benarnya dan sekokoh-kokohnya kepada jemaat yang ada bahkan hendaknya mulai berpengaruh dinamik kepada orang-orang yang belum mengenal teologia Reformed.

Pada dewasa ini sebagian dari pemimpin-pemimpin gereja Reformed sudah terlalu menyimpang dan jauh dari ajaran Reformed yang asli. Misalnya mereka tidak lagi memegang prinsip-prinsip dari jaman Reformasi, termasuk sola scriptura, sola gratia, sola fide dan sebagainya sehingga orang-orang gereja Protestan sudah dipengaruhi oleh teologia- teologia kontemporer yang menamakan dirinya tetap bertradisi Reformed tetapi yang sebenarnya sudah banyak menyimpang. Misalnya: aliran neo- ortodoks, baik dari Karl Barth maupun Emil Brunner semuanya menganggap diri beraliran Reformed. Mereka menganggap sendiri tetap membela teologia Reformed tetapi dari semangat dan prinsip dasarnya sudah jauh sekali dari Reformed yang asli. Kalau orang Kristen di Indonesia sudah banyak terpengaruh oleh mereka sehingga mereka menganggap diri juga termasuk orang-orang Reformed yang bersifat lebih dinamis karena merasa gereja harus menyesuaikan atau mempunyai semangat adaptasi di dalam setiap jaman dan sebagainya, maka kami kira ada bahaya yang harus cepat disadari oleh para pemimpin gereja maupun orang-orang Kristen di Indonesia pada jaman ini.

PERKEMBANGAN MANDAT KULTURAL DAN SOSIAL DALAM TRADISI REFORMASI

Teologia Reformed mempunyai satu ciri khas selain memberitakan Injil sebagai mandat utama juga ada mandat kultural yang harus kita kerjakan sehingga ini memungkinkan orang Kristen menjadi terang di dalam segala bidang kehidupan. Jikalau kita mau menyaksikan Kristus bukan hanya di dalam lingkup gereja, maka kita harus mempunyai semangat Kekristenan yang harus dibawa ke dalam bidang-bidang di mana kita diutus sebagai hakim, profesor, presiden, guru, dokter, pedagang dan sebagainya seharusnya membawa "tanda" dari iman Kristen dan semangat Kekristenan untuk mempengaruhi bidang-bidang di mana mereka berada. Di dalam hal ini terlihat bahwa negara-negara Barat menjunjung tinggi kejujuran lebih daripada negara-negara yang bukan dipengaruhi oleh Kekristenan. Sedangkan kejujuran ini menjadi suatu hal yang dianggap sangat merugikan diri di banyak kebudayaan Timur yang kuno, maka akhirnya kita melihat nilai kejujuran itu bukan saja tidak merugikan Barat karena negara-negara yang menjunjung tinggi kejujuran malah diberkati oleh Tuhan dengan kekuatan yang melebihi negara-negara agama lain maupun negara-negara komunis. Bagi Mao Ze Dong dan bagi Moscow, Watergate Affair merupakan suatu hal yang tidak perlu diperjuangkan, tetapi bagi orang-orang yang dipengaruhi oleh Protestantisme, hal itu merupakan suatu hal yang penting sekali bagi filsafat negara mereka. Ini adalah suatu contoh kasus untuk membuktikan pengaruh tidak langsung dari Kekristenan di Barat.

Selain daripada itu pengaruh pertemuan-pertemuan ilmiah menjadi makin pesat sekali bertumbuh di bawah pengaruh langsung maupun tak langsung Kekristenan di Barat sehingga negara-negara Protestan jauh lebih cepat maju dibanding dengan negara-negara Katholik maupun negara-negara beragama lainnya. Dan di bidang politik karena mereka meninggikan hak azasi manusia sebagai ciptaan Allah menurut peta dan teladan-Nya, ini mengakibatkan kesama-rataan dan penghormatan terhadap harkat manusia menjadi mungkin. Hal inilah yang menjadi dasar yang penting dari demokrasi di Barat. Meskipun banyak yang belum bisa menjalankan demokrasi ini, seperti politik Apartheid (diskriminasi) dan sebagainya, namun hal ini sebenarnya bertentangan dengan semangat Kekristenan.

Musik sebelum Johan Sebastian Bach dikatakan kebanyakan dimonopoli di Italia daerah Katholik, tetapi Jerman merupakan suatu negara yang mengalami Reformasi sehingga semacam semangat keketatan dan semangat ketelitian diwarisi di sana sampai sekarang ini. Dan Martin Luther adalah seorang petani yang mempunyai semangat keakuratan, ketelitian, kejujuran serta kesungguhan yang tak bisa dikompromikan. Hal seperti ini juga mengakibatkan timbulnya semacam pengalaman peitisme ditambah dengan semangat keakuratan yang telah berakar menyebabkan Johann Sebastian Bach dan lain-lainnya mencetuskan musik-musik yang sampai kini diakui amat tepat dengan presisi yang tinggi bahkan setelah diuji dan dianalisa dengan komputer. Baik George Frederick Handel maupun Bach adalah orang-orang Protestan. Semuanya ini merupakan permulaan kebangunan musik di daerah Jerman yang sebelumnya tidak pernah mencapai mutu setinggi ini di dalam dunia musik. Kedua orang Jerman ini telah dikagumi baik oleh Joseph Haydn, Mozart maupun Ludwig van Beethoven. Dan ketiga orang yang disebutkan belakangan ini adalan orang-orang Katholik, namun pengaruh dari Handel dan Bach sudah meresap mendalam kepada mereka.

MISI DAN PEKABARAN INJIL DALAM TRADISI REFORMASI

Sepanjang sejarah penginjilan terlihat Reformasilah yang mengembalikan Kekristenan kepada Injil yang paling murni dengan pemberitaan, kepercayaan dan dasar teologi yang tidak berkompromi. Skop Injil ini adalah bahwa hanya dengan mengenal Tuhan Yesus saja kita diselamatkan, hanya melalui iman saja kita diterima dan hanya melalui kedaulatan Tuhan kita boleh menjadi anak-anakNya serta hanya melalui Kristus saja kita ditebus. Maka Reformasi ini merupakan satu-satunya era yang begitu kompak dan murni untuk kembali kepada Injil yang asli sehingga teologi Reformed itu juga disebut teologia Injili. Dan dari permulaan gereja Lutheran disebut evangelical church sehingga nama "Injili" merupakan suatu istilah yang tak terpisahkan dari gereja-gereja Protestan. Misalnya pada waktu Injil disebarkan di Indonesia, gereja-gereja Protestan selalu tidak lupa mencantumkan istilah tersebut dalam nama lengkapnya. Contohnya: Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM), Gereja Masehi Injili Timor (GMIT), Gereja Masehi Injil Sangir-Talaud (GMIST) dan istilah-istilah ini adalah suatu indikasi yang menunjukkan bahwa Injil memang sangat penting. Dan di mana gereja Protestan berada di sana banyak orang kembali kepada Tuhan sehingga boleh dikatakan bahwa gereja Protestan mempunyai jiwa injili yang luar biasa. Namun fakta juga menunjukkan banyak gereja Reformed sesudah melalui suatu jangka waktu mereka lupa akan anugerah Tuhan atau menginterpretasikannya secara tidak benar. Kita mengambil contoh: karena segala sesuatu berdasarkan anugerah maka kalau berdosapun akan diampuni dan lain sebagainya. Ini mengakibatkan etika dan moral gereja-gereja Protestan itu tidak ditekankan. Dengan perkataan lain kesalah-pengertian ini telah mengakibatkan banyak orang Kristen hidup tak sesuai dengan ajaran kepercayaannya. Hal ini tentu sangat disesalkan dan menyedihkan.

Itulah sebabnya juga setelah 150 tahun dari gerakan Reformasi Martin Luther, gerakan Pietisme berusaha merubah kesulitan-kesulitan yang timbul. Di Indonesia banyak orang Kristen di daerah Protestan yang sangat tidak mementingkan hidup sesuai dengan panggilan sebagai saksi Kristus di dalam dunia ini. Salah satu sebab lainnya adalah karena di dalam gerakan Reformed, Protestan sangat mementingkan penanaman dan penyebaran gereja, maka banyak yang menjadi anggota gereja tanpa mempunyai pengalaman sendiri bergumul untuk bertobat, menerima Kristus secara pribadi dan lain sebagainya. Karena di dalam gereja Protestan umumnya orang mempercayai akan perjanjian keluarga sehingga seisi keluarga menjadi orang Kristen, maka amat mungkin sebagian dari anak- anak yang dibaptiskan itu belum atau tidak mengalami pertobatan pribadi. Dapat dikatakan inilah letak titik kelemahan jiwa atau semangat penginjilan dalam gereja-gereja bertradisi Reformed.

ANTARA PROTESTANTISME DAN KAPITALISME

Bagi kami, Kapitalisme adalah semacam hasil dari keserakahan manusia yang egosentris dan usaha mendapatkan uang melalui cara-cara yang tidak adil di dalam masyarakat. Maka menurut Max Webber, hal sedemikian ini makin menonjol sesudah Protestantisme timbul. Tetapi kita harus mengetahui dan memisahkan hal ini dengan jelas. Sebelum terjadi Reformasi, Kapitalisme sudah ada. Kapitalisme merupakan semacam gejala masyarakat yang konsisten semenjak permulaan sejarah sampai akhir jaman. Tetapi mengapakah kapitalisme dianggap menonjol sesudah Reformasi timbul, khususnya Calvinisme? Ini adalah karena ajaran penatalayanan (stewardship) yaitu manusia adalah juru kunci di hadapan Allah yang harus mempertanggungjawabkan segala sesuatu termasuk kesehatan, waktu, uang, bakat dan seluruh karunia yang diberikan-Nya. Ajaran ini menyebabkan semua orang Kristen harus baik- baik memakai waktunya untuk bekerja. Uang yang mereka dapatkan tidak boleh dihamburkan untuk berjudi, bermabuk-mabukan, berzinah dan sebagainya sehingga dengan penghematan sedemikian mereka justru menyimpan uang lebih banyak lagi. Uang yang banyak ini ditambah dengan rasa tanggungjawab terhadap Tuhan mengakibatkan mereka tidak secara sembarangan mempergunakannya. Maka mereka menanam modal dan bekerja lagi sampai mendapatkan uang (kapital) yang lebih besar lagi. Jadi kita tidak bisa tidak mengakui bahwa karena konsep bekerja keras, penghematan dan rasa tanggungjawab kepada Tuhan telah mengakibatkan dimana Protestantisme sejati berada di sana pasti ada kekayaan yang lebih besar dibandingkan masyarakat yang bukan Protestan.

Sebagai contoh kita melihat bahwa masyarakat Bali memakai uang yang banyak hasil kerja mereka untuk upacara pemakaman dan sebagainya, sehingga bagaimanapun juga mereka tidak akan menjadi terlalu kaya. Ini merupakan kenyataan bagaimana agama mempengaruhi hidup perekonomian manusia.

Tetapi karena sesudah negara-negara kapitalis menjadi kaya, lalu mereka berusaha meminjamkan uang kepada negara-negara miskin, maka secara tidak langsung ini menimbulkan penindasan antara manusia dengan manusia melalui penerimaan suku bunga dan sebagainya. Semuanya ini merupakan suatu hal yang tak bisa dihindarkan. Namun sekalipun demikian, kita harus membedakan antara Kapitalisme dengan prinsip Kekristenan. Banyak negara meskipun mayoritas penduduknya Kristen tetapi tidak menjalankan prinsip Kekristenan karena pemerintahan di sana dipegang oleh orang-orang yang tidak setia kepada Kekristenan yang sejati.

MEMPERTAHANKAN TRADISI REFORMASI DALAM KONTEKS GEREJA KONTEMPORER MASA KINI

Kita harus membagi teologia dan aplikasinya secara jelas. Teologia berarti pengertian manusia secara ilmiah akan Allah, sedangkan aplikasinya yaitu bagaimana menyatakan iman kita dan fungsi iman di dalam hidup sehari-hari. Teologia Reformed mengajarkan tentang Allah Tritunggal, Kristus adalah Mediator satu-satunya, Roh Kudus adalah diri-Nya Allah, dan Alkitab adalah firman Tuhan yang diwahyukan serta gereja adalah orang-orang Kristen yang ditebus oleh Tuhan, juga melalui pertobatan dan diperanakkan pula manusia menjadi anak-anak Allah dan lain sebagainya. Kesemuanya adalah ajaran yang bukan saja harus dipertahankan, melainkan tidak boleh berubah dari selama-lamanya sampai selama-lamanya. Dan ini dimasukkan ke dalam kategori iman kepercayaan yang bersifat mutlak dan melampaui segala jaman dan daerah. Kita harus mempertahankan, memperjuangkan dan memperdebatkan hal ini dalam keadaan bagaimanapun demi menjaga kemurnian kepercayaan maupun substansi dari Kekristenan itu sendiri.

Sedangkan di dalam masyarakat orang Kristen harus menjadi terang atau cahaya kesaksian melalui pengamalan akan sifat kasih, keadilan dan kesucian Allah dalam hidup kita. Hal ini merupakan sesuatu yang harus kita pelajari yakni bagaimana memancarkan kemuliaan Allah di dalam setiap jaman yang berbeda. Di samping itu harus diketahui bagaimana mempertahankan hidup Kekristenan dan bahkan bisa mempengaruhi orang lain melalui sifat-sifat ilahi yang bersangkut-paut dengan etika serta penerapannya di dalam masyarakat yang sangat pluralistik.


Dalam katekismus Heidelberg dikatakan bahwa gereja yang benar dan sejati harus mengajarkan kebenaran firman Tuhan dengan benar dan ketat, lalu menjalankan sakramen dengan benar serta melaksanakan disiplin gereja dengan benar pula. Selain itu gereja harus memberitakan Injil demi menjamin kelangsungan dan kesehatan pertumbuhan gereja secara konsisten.

Apa yang seharusnya gereja bina pada masa kini?

Gereja yang baik, pertama, harus membenahi doktrin-doktrin kepercayaannya sehingga berakar dengan mengetahui siapa, apa dan mengapa kita percaya. Kedua, pengajaran tentang hidup bertanggung jawab kepada Allah menurut etika yang sesuai dengan ajaran Alkitab yakni memancarkan sifat ilahi di bidang moral kepada sesama manusia. Ketiga, membenahi akan makna hidup dan pelayanan. Sebagaimana kita adalah orang-orang Kristen maka kita harus hidup dan melayani orang lain sesuai dengan prinsip-prinsip Alkitab. Keempat, kita harus berusaha membina orang Kristen untuk memuliakan Tuhan di bidang- bidang yang berbeda dalam masyarakat luas. Kelima, bagaimana gereja mendorong pelebaran pekabaran Injil di dalam melaksnakan tugas Amanat Agung.

Akhirnya, bagaimana gereja bisa mempunyai orang-orang yang mampu memimpin di dalam masyarakat?

Kecuali gereja bisa memberikan isi pemberitaan dan pengajaran yang dirasakan cukup oleh orang-orang berpotensi maka barulah kita bisa mendapatkan orang-orang yang bermutu bagi Kekristenan. Mereka yang berkualitas ini harus membimbing agar lebih berkembang, potensi mereka perlu digali serta diarahkan dengan benar. Dengan demikian, untuk mengharapkan munculnya pemimpin-pemimpin yang menjadi kunci dalam masyarakat maka seharusnya para pemimpin gereja pada masa kini memiliki hati yang lapang, visi yang jauh, pandangan yang tepat serta cinta kasih yang limpah dan bijaksana. Jikalau tidak, maka Kekristenan akan selalu tertinggal di belakang. Di lain pihak kepemimpinan itu bukanlah sekedar bisa dilatih atau dicetak oleh usaha manusia, melainkan dibangkitkan oleh Tuhan ditambah dengan penggalian dan latihan sehingga segenap potensi dapat diperkembangkan. Juga harus diciptakan kemungkinan praktek di ladang sebagai sarana output dari apa yang sudah ada padanya ditambah dengan ujian yang lama barulah seseorang bisa menjadi pemimpin yang kuat yang hebat! REFORMASI & TEOLOGI REFORMED.

Amin.

Dr Stephen Tong
Source : https://teologiareformed.blogspot.com/2018/06/reformasi-teologi-reformed.html#

No comments:

Post a Comment

Tags