Latest News

Showing posts with label Tafsiran Alkitab. Show all posts
Showing posts with label Tafsiran Alkitab. Show all posts

Wednesday, January 30, 2019

INERRANSI DAN INFABILITAS ALKITAB (Ketidakeliruan dan Ketidaksalahan Alkitab)


INERRANSI DAN INFABILITAS ALKITAB (Ketidakeliruan dan Ketidaksalahan Alkitab). Seberapa jauh Alkitab dapat dipercaya? Hal ini telah menjadi salah satu masalah besar di abad ini. Apakah Alkitab tidak dapat keliru (inerransi) dan tidak dapat salah (infabilitas)? Para kritikus selama berabad-abad khusus pada masa pencerahan dan pasca pencerahan telah menganggap Kekristenan sebagai agama yang tidak masuk akal (irasional) karena kepercayaan pada Alkitab yang dianggap banyak mengandung kesalahan dan kontradiktif. Terhadap kritik dari mereka yang menganggap bahwa Alkitab mengandung kesalahan dan kekeliruan sehingga orang Kristen dituduh mempercayai Kitab yang kontradiktif (suatu kepercayaan yang tidak masuk akal), maka orang Kristen telah melakukan pembelaan bahwa apa yang dituduhkan itu TIDAK BENAR.

PARADOKSI ATAU KONTRADIKSI ?
Kekristenan Injil Konservatif mengakui inerransi dan infabilitas Alkitab. Inerransi Alkitab berarti bahwa Alkitab tidak mengandung kekeliruan, sedangkan infabilitas berarti Alkitab bebas dari kecenderungan melakukan kesalahan. Karena Alkitab diispirasikan oleh Allah, maka Alkitab tidak dapat salah atau tidak memiliki kekeliruan. Ketidakkeliruan Alkitab berarti bahwa Alkitab hanya mengatakan yang benar.

Alkitab dalam naskah aslinya apabila ditafsirkan dengan benar akan nyata sepenuhnya benar dalam setiap pengajarannya, baik pengajaran yang berkaitan dengan doktrin, sejarah, ilmu pengetahuan, geografi, geologi, arkeologi, fililogi atau disiplin lain dan pengetahuan lainnya. Dengan demikian Alkitab itu memiliki kredibilitas. Kredibilitas berarti dapat dipercaya. Sebuah buku dianggap dapat dipercaya jika ia benar secara keseluruhan sehingga dapat dipercaya sebagai pegangan dan pedoman hidup.

Apa yang dianggap kesalahan dan kontradiksi oleh para kritikus sebenarnya adalah kesulitan, misteri dan paradoksi. Kontradiksi itu tidak dapat dijelaskan dan melanggar hukum logika, tetapi kesulitan, misteri dan paradoksi itu tidak melanggar hukum logika. Kesulitan bisa dicari solusinya. Misteri adalah hal-hal yang belum ditemukan jawabannya tetapi suatu saat pada masa yang akan datang akan disingkapkan dan ditemukan jawabannya.

Paradoksi bukanlah kontradiksi! Kontradiksi tidak dapat dijelaskan, sedangkan paradoksi dapat dijelaskan. Paradoksi sepertinya bertentangan tetapi bila dicermati maka akan ditemukan penjelasannya. Karena itu Augustinus memberikan pernyataan yang tegas mengenai situasi ini, “Jika kita bingung karena adanya hal-hal yang kelihatannya bertolak belakang di dalam Alkitab, kita tidak boleh berkata, pengarang kitab ini salah, tetapi bisa jadi
(1) manuskrip atau salinan naskah kunonya yang cacat, atau
(2) penerjemahannya keliru, atau
(3) kita memang belum mengerti”.
CONTOH PARADOKSI DI PERJANJIAN BARU
Berikut ini tiga contoh dalam Perjanjian Baru yang oleh para kritikus dianggap sebagai kesalahan dan kontradiksi Alkitab, padahal sebenarnya adalah kesulitan, misteri dan paradoksi.

1. Kematian Yudas. Injil Matius 27:5 menyebutkan bahwa kematian Yudas itu disebabkan karena ia gantung diri. Sedangkan Lukas dalam Kisah Para Rasul 1:18 menulis bahwa kematian Yudas disebabkan karena ia jatuh tertelungkup, perutnya terbelah dan semua isi perutnya tertumpah keluar. Para kritikus menuduh mana yang benar, dan menyatakan bahwa ini kontradiksi. Kekristenan menjawab bahwa ini adalah paradoksi yang bisa dijelaskan karena kedua laporan penulis Kitab itu benar adanya. Yudas memang gantung diri, kemudian oleh sesuatu hal talinya putus, ia jatuh tertelungkup, perutnya terbelah dan isi perutnya semuanya keluar. Tetapi masalah dalam kisah kematian Yudas ini belum selesai, sebab dalam Matius 27:6-7 disebutkan bahwa para imam yang membeli tanah hakal dama itu; sedangkan menurut Kisah Para Rasul 1:18 menyebutkan bahwa Yudas yang membeli tanah tersebut. Dari kedua laporan tersebut, mana yang benar ? sekali lagi Alkitab oleh para kritikus dituduh kontradiksi. Sebenarnya tidak kontradiksi tetapi sekali lagi hanya paradoksi, dan ini bisa dijelaskan. Jadi kedua laporan itu benar adanya, yaitu bahwa para imam membeli tanah tersebut atas nama Yudas (sertifikat hak milik Yudas).

2. Orang buta di Yerikho (Matius20:29-34; Markus 10:46-52; Lukas 18:35-43). Laporan tentang penyembuhan orang buta di Yeriko (salah satunya adalah Bartimeus) memuat beberapa rician yang berbeda yang oleh para kritikus dianggap sebagai masalah kekeliruan dalam Alkitab. Rincian catatan yang berbeda tersebut antara lain:
(1) Matius menulis bahwa Tuhan menyembuhkan dua orang ketika akan meninggalkan Yerikho.
(2) Laporan lainnya menyebutkan ada satu orang buta dan mencatat mujizat ini dilakukan ketika mereka memasuki Yerikho. Pertanyaannya: Bagaimana kita menyelaraskan hal ini dan menunjukkan bahwa Alkitab tidak keliru? Pertama-tama, mengenai jumlah orang buta, jika Markus dan Lukas mengatakan “hanya” satu orang buta, maka tentu saja ada kekeliruan dalam Alkitab. Namun ternyata mereka tidak menyatakan demikian. Artinya memang ada dua orang buta dan salah satunya dikenali bernama Bartimeus.

Karena Bartimeus yang dikenali maka wajar apabila Markus dan Lukas memusatkan perhatian kepadanya. Dimana ada dua, pastilah ada satu! Artinya, Markus dan Lukas memusatkan perhatian pada satu orang buta, sedang Matius pada dua orang buta. Karena itulah para kritikus harus menambahkan kata “hanya” untuk membuat laporan itu bertentangan. Selanjutnya, mengenai kapan mujizat itu terjadi, apakah ketika Yesus memasuki Yeriko atau keluar dari Yerikho? Mana yang benar?

Jawabannya sederhana seja, perlu diketahui bahwa ada dua Yerikho (Yerikho Lama dan Yerikho Baru), maka penyembuhan itu sangat mungkin terjadi sesudah rombongan Tuhan meninggalkan Yerikho Lama dan ketika hendak masuk ke Yerikho Baru. Maka menurut Matius “ketika mereka keluar” menunjuk kepada Yerikho Lama, sedangkan Markus dan Lukas menunjuk kepada Yerikho Baru. Dengan demikian tidak ada kontradiksi dalam laporan semua penulis Injil mengenai peristiwa ini

3. Penyembuhan Orang Gila (Matius 8:28-34; Markus 5:1-20; Lukas 8:36-39). Ini merupakan bagian Alkitab yang seringkali dipakai oleh para kritikus untuk menunjukkan kekeliruan Alkitab.

Terdapat dua perbedaan pokok dalam laporan tentang penyembuhan orang gila ini yang memuat rician yang berbeda sehingga dianggap sebagai masalah kekeliruan dalam Alkitab, yaitu :
(1) Matius mencatat ada dua orang gila, sementara Markus dan Lukas menyebut satu.
(2) Matius mencatat penyembuhan ini terjadi di Gadara sementara Markus dan Lukas menyebutnya di Gerasa. Pertanyaannya: Bagaimana kita menyelaraskan laporan yang berbeda ini ?

Pertama-tama, kasus ini serupa dengan kasus penyembuhan orang buta di Yerikho di atas. Laporan Matius yang menyebut dua orang tidaklah bertolak belakang dengan laporan Markus dan Lukas yang menyebut satu orang yang kerasukan setan. Karena memang ada dua orang yang kerasukan setan seperti yang dilaporkan oleh Matius, tetapi Markus dan Lukas lebih memusatkan perhatian kepada yang lebih menonjol karena satu orang tersebut dirasuk banyak roh jahat yang menamakan diri mereka “legion”. Sebagai analogi, misalnya suatu ketika telah terjadi kecelakaan tunggal sebuah mobil dengan penumpang sebanyak 5.

Seorang wartawan inisial A datang lebih awal untuk meliput dan memberikan laporan bahwa dari 5 orang yang ada di mobil, 1 orang meninggal. Sedangkan wartawan B yang datang dua jam berikutnya melaporkan bahwa dari 5 orang yang ada di mobil itu 2 orang meninggal. Mengapa laporannya berbeda untuk kasus kecelakaan mobil yang sama? Jawabannya: memang benar bahwa pada waktu wartawan A datang hanya ada satu yang meninggal, tetapi ketika wartawan A pergi satu penumpang yang dalam keadaan kristis juga meninggal sehingga dalam laporan B ada dua yang meninggal.

Dalam kasus ini wartawan A tidak keliru karena ia melaporkan apa yang sebenarnya terjadi pada saat ia meliput kecelakaan itu. Tapi masalah ini belum selesai. Bagaimana dengan masalah lokasi tempat kejadian penyembuhan orang gila ini, Matius menyebut Gadara, sementara itu Markus dan Lukas menyebut Gerasa, mana yang benar? Keduanya benar.

BACA JUGA: DOA BAPA KAMI

Nama Gadara adalah ejaan yang benar, tetapi lambat laun orang-orang mengejanya menjadi Gerasa, dan nama Gerasa itu akhirnya lebih populer dikalangan masyarakat pada saat itu. Hal ini tidak heran sebab dalam abjad Ibrani “ד (Daleth)” atau huruf D dan bentuk “ר (Resh)” atau huruf R sangat mirip oleh sebab itu jika nama tersebut disalin dalam bentuk abjab Ibrani atau Aram ke dalam huruf huruf Yunani maka Gadara mungkin dieja secara keliru sebagai Gerasa.

Namun ejaan ini sangat populuer. Sebagai contoh, di Indonesia kota Yogyakarta lebih dikenali dan populer dengan sebutan Jogja. Jadi ketika menyebut Jogja maka yang dimaksud adalah Yogyakarta sehingga orang tidak mungkin berpikir tentang kota yang lainnya. Terlepas dari perbedaan laporan tersebut, faktanya semua laporan (Matius, Markus, Lukas) sependapat bahwa semua roh jahat yang merasuki orang gila itu pindah ke dalam kawanan babi yang menyebabkan babi-babi tersebut terjun dari tepi jurang ke dalam danau dan tenggelam.

EPILOG: INERRANSI DAN INFABILITAS ALKITAB (Ketidakeliruan dan Ketidaksalahan Alkitab)

Jadi, jelas bahwa kontradiksi tidak bisa dijelaskan karena melanggar hukum logika, tetapi paradoksi bisa dijelaskan dan tidak melanggar hukum logika. Alkitab, tidak mengandung kesalahan dan kontradiksi; tetapi memang ada misteri dan paradoksi yang membutuhkan penyelidikan serta penjelasan lebih lanjut. Apa yang dijelaskan di atas hanyalah tiga dari beberapa kesulitan dalam Alkitab yang telah dianggap (dituduh) sebagai kontradiksi oleh para kritikus.

Saya perlu menegaskan sekali lagi bahwa Kekristenan adalah kepercayaan yang rasional dan dapat dipertanggung jawabkan. Hal-hal yang dianggap sebagai kesalahan (error) dan kontradiksi dalam kepercayaan Kristen sebenarnya hanyalah kesulitan (difficulty), misteri dan paradoksi yang membutuhkan penyelidikan dan penjelasan lebih lanjut. Sedangkan hal-hal yang dianggap tidak masuk akal (irasional) sebenarnya adalah melampaui akal (suprarasional). Ini tidak bertentangan dengan hukum logika tetapi ini mujizat dan supranatural.INERRANSI DAN INFABILITAS ALKITAB (Ketidakeliruan dan Ketidaksalahan Alkitab)

Pdt.Samuel T.Gunawan.

https://teologiareformed.blogspot.com/2018/10/inerransi-dan-infabilitas-alkitab.html#

APAKAH ADA KONTRADIKSI DI DALAM ALKITAB


APAKAH ADA KONTRADIKSI DI DALAM ALKITAB .Selain doktrin tentang Kristus (Kristologi), doktrin dalam Alkitab yang paling banyak diserang adalah doktrin tentang Alkitab itu sendiri (Bibliologi). Baik orang liberal maupun non-Kristen berlomba meruntuhkan keagungan firman Tuhan. Salah satu serangan yang dilancarkan terhadap otoritas Alkitab berkenaan dengan “kontradiksi” di dalamnya. Apa yang ingin dicapai dalam serangan ini sudah sangat jelas dan tepat. Jika Alkitab mengandung kontradiksi, maka itu sudah menjadi bukti yang cukup untuk menunjukkan kesalahan Akitab, karena tidak ada kontradiksi yang semuanya benar (kontradiksi hanya memberi dua pilihan: salah satu benar atau semuanya salah). Jika Alkitab mengandung kesalahan, maka Alkitab bukanlah firman Tuhan (Tuhan tidak dapat melakukan kesalahan). Pendeknya, jika ada satu kontradiksi saja di dalam Alkitab maka doktrin tentang pengilhaman Alkitab (2Tim 3:16; 2Pet 1:20-21) pasti akan

Walaupun orang liberal dan non-Kristen berusaha meruntuhkan otoritas Alkitab, mereka tidak bisa melakukan apapun terhadapnya. Firman Tuhan bagaikan palu yang menghancurkan gunng batu (Yer 23:29b); apalah artinya kesombongan intelektual manusia di hadapan firman Allah? “Kebodohan” Allah saja sudah cukup memalukan orang bijak dan “kelemahan” Allah selalu berhasil meniadakan orang yang kuat, seperti yang dikatakan dalam 1Korintus 1:25 “karena kebodohan Allah lebih berhikmat daripada hikmat manusia dan kelemahan Allah lebih kuat daripada kekuatan manusia” (ASV/KJV/NIV/NASB/RSV).
Dalam makalah ini kita tidak mungkin membahas semua teks yang dipersoalkan oleh orang liberal dan non-Kristen. Upaya ini pasti akan menuntut beberapa buku yang khusus memberikan jawaban detil. Saya hanya akan memaparkan dua hal: (1) prinsip teologis yang penting; (2) jawaban umum terhadap problem kontradiksi.

Prinsip teologi yang penting
Sebelum memberikan jawaban rasional terhadap tuduhan adanya kontradiksi dalam Alkitab, kita perlu memberikan jawaban iman. Jawaban ini tidak dimaksudkan sebagai pembelaan yang membabi-buta. Hal ini justru perlu ditegakkan sejak awal. Kita mengakui Alkitab sebagai firman Tuhan bukan karena kita sudah menyelidiki semua isinya dan tidak menemukan kontradiksi di dalamnya. Kita percaya lebih dahulu (atau lebih tepatnya, Allah membuat kita percaya) bahwa Alkitab adalah firman Tuhan, setelah itu kita baru menyelidiki seluruh isinya dan akhirnya menemukan bahwa memang tidak ada kontradiksi di dalamnya.

Pemikir Kristen jaman skolastik yang bernama Anselmus mengajarkan “aku percaya supaya aku mengerti”. Dalam tradisi Reformed juga diajarkan hal yang mirip dengan itu, yaitu “Kesaksian Roh Kudus dalam Hati Kita” (The Inner Testimony of the Holy Spirit). Kita menerima otoritas Alkitab bukan karena pencapaian intelektual, tetapi pekerjaan Roh Kudus dalam diri kita. Sebaliknya, tidak peduli sebagus apapun argumen yang kita berikan, hal itu tetap akan dipandang sebagai kebodohan oleh orang liberal dan non-Kristen (1Kor 2:14 “Tetapi manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani”).

Apa saja yang perlu kita pahami? Pertama, seluruh bagian Alkitab adalah diilhamkan oleh Allah (2Tim 3:16 “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk…). Kata pasa grafh (“segala tulisan”) merupakan istilah teknis (technicus terminus) untuk kitab-kitab PL. Hal ini sesuai dengan pemakaian kata grafh dalam PB yang memang sering dipakai untuk merujuk pada suatu kitab atau teks tertentu dalam PL. Di samping itu Paulus jelas tidak mungkin mengatakan kalau “segala tulisan” apapun yang ditulis manusia adalah diilhamkan Allah. Dia pasti sedang memikirkan tulisan-tulisan PL.

Selanjutnya, kita perlu mengetahui ketidaktepatan terjemahan dalam bagian ini. Penerjemah LAI:TB membedakan fungsi kata sifat “diilhamkan Allah” (qeopneustos) dan “bermanfaat (wfelimos) di ayat ini. Kata qeopneustos dipahami sebagai kata sifat attributif (“yang diilhamkan Allah”), sedangkan kata wfelimos dipahami sebagai kata sifat predikatif (“[adalah] bermanfaat”). Terjemahan seperti ini mengandung dua kesalahan: secara tata bahasa maupun teologis. Dari sisi tata bahasa, terjemahan ini jelas tidak konsisten. Walaupun kata qeopneustos bisa menerangkan pasa grafh, namun kata sambung kai (“dan”) yang menghubungkan qeopneustos dan wfelimos seharusnya mendorong kita memahami qeopneustos dan wfelimos sebagai dua kata yang sejajar (hampir semua versi Inggris – kecuali ASV – memilih ini). Dari sisi teologis, terjemahan LAI:TB bisa memberikan kesan yang salah. Jika pasa graph = tulisan PL, maka terjemahan LAI:TB “segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat” dapat memberi kesan bahwa ada tulisan PL tertentu yang tidak diilhamkan.
Doktrin tentang inspirasi Alkitab ini hanya dapat diterima dengan iman. Semua agama yang mengakui otoritas kitab sucinya juga mengambil sikap seperti ini. Tidak ada cara apapun untuk membuktikan proses pengilhaman. Proses ini bersifat supranatural dan tidak kasad mata. Tidak seorang pun mampu membuktikan adanya proses pengilhaman. Kita hanya bisa menunjukkan bahwa suatu kitab suci memiliki sifat-sifat tertentu yang sesuai dengan pengilhaman, misalnya ketidakbersalahan, penggenapan semua nubuat di dalamnya, kesatuan di antara semua tulisannya (tidak ada kontradiksi), dsb. Semua ini tidak membuktikan adanya inspirasi, tetapi mendukung konsep tersebut. Jadi, kita harus memahami bahwa masalah inspirasi Alkitab adalah masalah iman, sedangkan masalah “kontradiksi” dalam Alkitab adalah masalah teologis-rasional. Kita bisa menjelaskan bahwa suatu teks tidak berkontradiksi dengan teks yang lain, tetapi hal itu tidak secara otomatis membuktikan bahwa Alkitab adalah firman Allah.

Kedua, sebagai sebuah kumpulan tulisan yang diilhamkan oleh Allah, maka Alkitab pasti tidak mengandung kesalahan (inerrant and infallible) dalam bentuk apapun (kontradiksi, kebohongan) dan dalam bidang apapun (iman, etika, sejarah, sains), seperti yang dinyatakan sendiri oleh para penulis “supaya Engkau ternyata benar dalam segala firman-Mu, dan menang, jika Engkau dihakimi” (Mzm 51:6; Rom 3:4). Mazmur 33:4a memberikan kesaksian yang serupa “sebab firman TUHAN itu benar”.

Ketiga, sebagai kumpulan tulisan yang diilhamkan oleh Allah, maka Alkitab pasti memiliki kesatuan dalam taraf tertentu. Hal ini dapat dibenarkan, karena Penulis Utama Alkitab adalah satu, yaitu Allah, walaupun Ia memakai beragam orang untuk menuliskan firman-Nya. Dengan demikian, kita perlu menghidupkan kembali slogan lama “Biarlah Kitab Suci menafsirkan dirinya sendiri” (Let the Scriptures interpret themselves). Setiap kali kita melihat suatu “kontradiksi”, maka sikap pertama yang kita ambil adalah “hal itu bukan kontradiksi”. Kitalah yang belum mampu memahami hal tersebut. Setelah mengambil sikap ini, kita kemudian berusaha menyelidiki secara seksama untuk mencari solusi bagi “kontradiksi” tersebut.
Penyebab munculnya “kontradiksi”

Dalam bagian sebelumnya kita sudah membahas bahwa tidak ada kontradiksi di dalam Alkitab. Dalam kenyataannya kita kadangkala menemukan dua teks yang tampaknya mengajarkan hal yang bertentangan. Sebagai contoh: apakah pencobaan itu harus dihindari (Mat 6:13a; 26:41) atau disyukuri (Yak 1:2)? Apakah Allah bisa menyesal (Kej 6:6) atau tidak (Bil 23:19)? Kasus semacam ini masih bisa kita perpanjang lagi. Inti permasalahannya adalah “jika Alkitab tidak mungkin salah, mengapa kita menemukan hal-hal semacam ini?”

Ternyata jika kita menyelidiki semua kasus yang selama ini dianggap kontradiksi, maka kita akan menemukan beberapa penjelasan umum yang dapat dijadikan dasar untuk menjelaskan semua problem teks tersebut. Pertama, kontradiksi kadangkala hanya terjadi pada level terjemahan, bukan dalam naskah asli Alkitab. Dengan kata lain kesalahan terletak pada penerjemah, bukan pada Alkitabnya. Contoh paling baik untuk kasus seperti ini adalah isu tentang pencobaan (Mat 6:13; 26:41; Yak 1:2). Dalam LAI:TB kata peirasmos di Yakobus 1:2 secara salah telah diterjemahkan “pencobaan”, padahal kata ini sebenarnya bisa berarti “ujian”. Sesuai dengan konteks Yakobus 1:2-4, terutama ayat 3 “ujian terhadap imanmu”, peirasmos di sini seharusnya diterjemahkan “ujian”. Hampir semua versi Inggris modern (RSV/NASB/NIV) memakai kata “trials” (ujian). Jika demikian, maka kita langsung dapat melihat bahwa tidak ada kontradiksi antara Yakobus 1:2 dan Matius 6:13/26:41: kita harus mensyukuri ujian [dari Tuhan], tetapi kita perlu menghindari pencobaan [dari iblis].

Kedua, kontradiksi seringkali terjadi karena belum ditemukan data historis atau arkheologis yang cukup. Dalam beberapa kasus suatu teks yang dulu dianggap salah ternyata menurut penemuan arkheologi terbaru dapat dijelaskan dengan baik. Sebagai contoh, Alkitab mencatat raja terakhir Babel adalah Belsyazar (Dan 5:30), padahal menurut penemuan arkheologi pada jaman dulu raja terakhir adalah Nabonidus, ayah Belsyazar. Setelah ditemukan penemuan arkheologi yang lebih baru lagi maka diketahuilah bahwa sekalipun Nabonidus adalah pemegang kekuasaan secara legal (de jure) namun secara praktis (de facto) kekuasaan itu dijalankan oleh Beltsyazar, karena Nobonidus tidak berdomisili di Babilonia untuk kepentingan lain. Tentang hal ini pun Alkitan sebenarnya sudah memberi petunjuk implisit. Dalam Daniel 5:29b dijelaskan bahwa Belsyazar mengangkat Daniel menjadi orang ketiga di kerajaannya.

Contoh lain tentang hal ini adalah posisi Yesus ketika Ia menyembuhkan orang buta di Yerikho: apakah orang ini disembuhkan pada saat Yesus masuk ke kota Yerikho (Mar 10:46) atau keluar dari kota itu (Luk 18:35)? Ada banyak alternatif solusi bagi hal ini. Orang buta ini memohon kesembuhan sejak Yesus masuk ke Yerikho, tetapi Yesus sengaja menguji iman orang ini sampai Ia keluar dari Yerikho. Solusi lain yang lebih masuk akal adalah dengan memperhatikan penemuan arkheologis yang ada. Pada waktu itu memang ada Yerikho lama dan baru yang letaknya memang berdekatan dan sedikit overlapping. “Masuk” dan “keluar” dalam peristiwa ini harus dipahami sebagai rujukan pada kota lama dan baru.

Ketiga, kontradiksi kadangkala terjadi karena pembaca modern tidak mengetahui bagaimana suatu kitab kuno ditulis. Para penyerang Akitab paling senang membandingkan kitab-kitab injil untuk menunjukkan kontradiksi di dalamnya, karena kitab-kitab injil seringkali menuliskan peristiwa yang sama namun pencatatannya berbeda. Ada beberapa kasus yang sering dipermasalahkan: apakah perwira di Kapernaum datang sendiri kepada Yesus (Mat 8:5) atau dia menyuruh utusan-utusannya (Luk 7:3)? apakah Yesus menyucikan bait Allah di awal pelayanan-Nya (Yoh 2:13-22) atau beberapa waktu sebelum Dia disalibkan (Mat 21:12-13; Mar 11:15-17; Luk 19:45-46)? Kasus-kasus semacam ini dengan mudah kita perbanyak. Orang yang tidak mengetahui cara penulisan kitab kuno pasti mudah terjebak pada kesalahan seperti ini.

Jika kita diperhadapkan pada persoalan di atas, maka kita harus mengetahui bahwa penulisan kitab sejarah kuno pasti melibatkan seleksi data dan peredaksiannya sesuai dengan tujuan yang akan diraih. Penulisan sejarah modern pun masih memegang prinsip yang sama. Kita tidak mungkin menuliskan semua fakta, karena tidak semua data merupakan sesuatu yang penting. Para ahli sejarah biasanya membedakan antara fakta (“apa yang terjadi”) dan peristiwa (“fakta yang signifikan karena membawa pengaruh”). Selain itu, penulis sejarah juga akan menyeleksi peristiwa-peristiwa yang sesuai dengan tujuan mereka. Mereka memang tidak harus menuliskan semua peristiwa. Tentang hal ini salah seorang penulis sejarah kuno bahkan secara eksplisit menyatakan dalam pendahuluan bukunya.
Dalam konteks kitab-kitab injil kita perlu memahami bahwa masing-masing penulis memiliki tujuan penulisan yang khusus dan unik, sekalipun mereka semua menampilkan Yesus yang sama. Tujuan yang khusus ini tentu saja mempengaruhi cara mereka menulis. Suatu peristiwa sangat mungkin mengajarkan beragam hal yang berbeda, tetapi masing-masing penulis kitab injil hanya menyoroti salah satu aspek di dalamnya. Dalam kasus perwira di Kapernaum, Matius ingin menekankan iman perwira ini sehingga beberapa bagian yang berpotensi menghalangi pembaca menangkap inti akan sebisa mungkin dihilangkan, misalnya kedatangan para tua-tua Yahudi yang menceritakan kebaikan perwira tersebut. Di sisi lain Lukas ingin menekankan kerendahhatian dari perwira ini sehingga dia merasa perlu menceritakan perkataan para tua-tua yang menggambarkan hal tersebut. Di antara dua catatan ini, catatan Lukas tampaknya lebih mendekati peristiwa aslinya. Bagaimanapun hal ini tidak berarti bahwa Matius telah membohongi pembacanya. Siapa pun yang datang kepada Yesus – baik perwira itu secara langsung atau melalui tua-tua Yahudi – intinya tetap sama, yaitu permohonan ini datang langsung dari si perwira. Sama seperti seorang lurah yang menyampaikan keputusan gubernur: pengumuman ini dapat dipahami sebagai perintah langsung dari gubernur, sekalipun yang membacakannya adalah seorang lurah.

Untuk memperjelas keterangan di atas, saya akan memberikan sebuah ilustrasi: suatu kecelakaan terjadi di depan mata empat orang pemuda (sebut saja pemuda A, B, C, dan D). Masing-masing mereka diberi sebuah kertas untuk menuliskan apa yang mereka lihat. Apakah mereka akan menuliskan setiap detil yang ada? Tentu saja tidak! Mereka hanya akan menceritakan apa yang menurut mereka menarik. Dengan demikian apakah keterangan mereka akan sama? Pasti berbeda! Apakah hal ini berarti bahwa mereka tidak setia terhadap historisitas dari kejadian tersebut? Tentu saja tidak, sejauh apa yang mereka tuliskan tidak berkontradiksi dengan fakta yang ada. Mereka berhak menuliskan kejadian yang sama dengan cara yang berbeda. Begitu pula dengan para penulis kitab injil.

Keempat, kontradiksi biasanya hanya dilihat oleh mereka yang kurang teliti dalam membaca Alkitab. Penyelidikan yang cermat akan membawa kita pada keyakinan yang lebih kuat terhadap kebenaran Alkitab. Mereka yang kurang teliti membaca Alkitab seringkali mempersoalkan beberapa hal berikut ini: apakah Allah bisa menyesal (Kej 6:6) atau tidak (Bil 23:19)? Di manakah Yesus naik ke surga: Betania (Luk 24:50-51) atau Bukit Zaitun (Kis 1:9, 12)? Apakah hamba perwira di Kapernaum disembuhkan Yesus seketika (Mat 8:13) atau setelah suruhan perwira itu sampai ke rumah (Luk 7:10)? Apakah pohon ara yang dikutuk Yesus langsung mati (Mat 21:19-20) atau baru keesokan harinya (Mar 11:13-14, 20-21)?

BACA JUGA: BUKTI KASIH ALLAH KEPADA KITA (Roma 5:8)

Berikut ini adalah jawaban sederhana terhadap persoalan di atas. Allah tidak mungkin menyesal karena Dia mahatahu dan mahakuasa sehingga apapun yang Dia rencanakan pasti akan terjadi (Ay 42:2). Tindakan “menyesal” harus dipahami sebagai cara Allah mengekspresikan diri-Nya dalam perasaan manusia (Bil 23:19 “Allah bukanlah manusia, sehingga Ia berdusta bukan anak manusia, sehingga Ia menyesal”). Contoh yang paling jelas tentang hal ini adalah 1Samuel 15, karena dalam pasal ini dikatakan bahwa Allah menyesal (ayat 11, 35) sekaligus tidak menyesal (ayat 29). Penulis pasal ini jelas bukan orang bodoh yang tidak tahu kalau catatannya dalam satu pasal dan letak ayat yang berdekatan adalah kontradiktif. 1Samuel 15:29 merupakan kuncinya “Ia tidak tahu menyesal; sebab Ia bukan manusia yang harus menyesal”. Posisi persis ketika Yesus naik ke surga adalah di desa Betania, namun desa ini memang terletak di Bukit Zaitun (Luk 19:29). Hamba perwira di Kapernaum memang langsung sembuh seketika (Mat 8:13 “maka pada saat itu juga sembuhlah hambanya”), tetapi para utusan tidak bisa menyaksikan hal ini. Mereka baru melihat kesembuhan itu setelah mereka sampai ke rumah (Luk 7:10 “dan setelah orang-orang yang disuruh itu kembali ke rumah, didapatinyalah hamba itu telah sehat kembali”). Solusi untuk kasus pohon ara yang dikutuk sama persis dengan kasus hamba perwira di atas: pohon itu memang langsung kering, tetapi Markus sengaja menceritakannya secara terpisah untuk mengapit kisah penyucian bait Allah guna menekankan bahwa dua peristiwa tersebut memiliki makna yang sama, yaitu penghukuman.
Kelima, kontradiksi juga seringkali terjadi karena pembaca tidak mengetahui konteks budaya, keagamaan atau historis Alkitab. Sebagian orang seringkali mempermasalahkan tentang siapa yang menyebabkan Daud menghitung rakyatnya dan akhirnya dihukum oleh Tuhan: iblis (1Taw 21:1) atau Tuhan sendiri (2Sam 24:1)? Pertanyaan seperti ini menunjukkan bahwa yang bertanya tidak memahami konteks jaman dulu. Bagi orang waktu itu maupun bangsa Israel secara khusus, Allah berada di balik semua peristiwa yang terjadi, baik yang buruk maupun yang baik. Tindakan Daud bisa dikatakan berasal dari Tuhan karena tidak ada satu peristiwa apapun di dunia ini yang dapat terjadi tanpa kehendak-Nya, namun bukan Allah yang langsung menyebabkan Daud berdosa. Iblislah yang melakukan hal itu. Contoh yang paling jelas tentang hal ini adalah kisah pencobaan yang dialami oleh Ayub. Sekalipun yang mendatangkan musibah kepadanya adalah iblis (melalui peristiwa alam dan orang-orang jahat), namun Ayub berkata “Tuhan yang memberi Tuhan yang mengambil” (Ay 1:21) dan “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (ay 2:10).

Terakhir, kontradiksi seringkali diciptakan sendiri oleh mereka yang memang tidak mempercayai Alkitab. Mereka memutarbalikkan kebenaran menurut kefasikan mereka (2Pet 3:16). Terhadap orang-orang seperti ini, kita tidak perlu berbantah-bantah dengan dia karena mereka tidak serius mencari kebenaran (Ams 26:4). Mereka justru ingin melawan kebenaran itu. Kita hanya perlu memberitakan kebenaran seperti yang kita yakini.

Penutup:APAKAH ADA KONTRADIKSI DI DALAM ALKITAB

Semua jawaban di atas jelas bukanlah jawaban tuntas atas semua kesulitan yang ada. Bagaimanapun jawaban ini diharapkan dapat memberikan pedoman yang komprehensif dalam menyelesaikan teks-teks yang tampak kontradiktif. Pembahasan lebih detil dan mendalam dapat dilihat dalam seri buku “Hard Sayings of…” (diterjemahkan dan diterbitkan oleh penerbit SAAT, Malang; “Ucapan-ucapan Yang Sulit…”) atau “Encyclopedia of Bible Difficulties” (Gleason L. Archer, diterjemahkan dan diterbitkan oleh Gandum Mas). Tuhan memberkati kita semua.
APAKAH ADA KONTRADIKSI DI DALAM ALKITAB
-AMIN-

Yakub Tri Handoko, Th. M.
https://teologiareformed.blogspot.com/2018/06/apakah-ada-kontradiksi-di-dalam-alkitab.html#

Tags