Latest News

Showing posts with label Kemuliaan. Show all posts
Showing posts with label Kemuliaan. Show all posts

Thursday, January 24, 2019

IMAN YANG MELIHAT KEMULIAAN DI ATAS KEMULIAAN

IMAN YANG MELIHAT KEMULIAAN DI ATAS KEMULIAAN

IMAN YANG MELIHAT KEMULIAAN DI ATAS KEMULIAAN. Ibrani. 11:27-29 “Karena iman maka ia telah meninggalkan Mesir dengan tidak takut akan murka raja. Ia bertahan sama seperti ia melihat apa yang tidak kelihatan. Karena iman maka ia mengadakan Paskah dan pemercikan darah, supaya pembinasa anak-anak sulung jangan menyentuh mereka. Karena iman maka mereka telah melintasi Laut Merah sama seperti melintasi tanah kering, sedangkan orang-orang Mesir tenggelam, ketika mereka mencobanya juga.”

Karena iman, Musa meninggalkan Mesir dengan tidak takut kepada Firaun. Kalimat yang sangat pendek ini menyatakan kebesaran tindakan Musa. Siapakah Firaun? Orang yang paling berkuasa di seluruh muka bumi. Mengapa Musa tidak takut kepadanya? Karena Musa melihat adanya kuasa di atas kuasa, tahta di atas tahta, kerajaan di atas kerajaan. Inilah ciri khas para nabi, para hamba Tuhan yang melayani Tuhan. Karena dia menyaksikan adanya tahta di atas tahta, maka dia tahu, tahta dunia adalah tahta yang sementara. Suatu hari nanti, penguasa yang duduk di atas tahta dunia akan turun, karena kuasa yang dia miliki bukanlah kuasa yang kekal. Maka Musa bertekad menjalankan kehendak Tuhan, Raja di atas segala raja, dengan tidak takut.

Sejarah membuktikan bahwa apa yang Musa lakukan itu benar adanya: di manakah Firaun sekarang? Tidak ada lagi. Di manakah pengaruh Musa? Terus berlangsung di dunia. Hal itu mengajarkan kepada kita bahwa di suatu zaman, ada orang yang memiliki iman dan visi yang menerobos semua zaman. Inilah yang kita pelajari dari Alkitab. Musa bukan memandang pada kuasa, kemuliaan, kehormatan, atau kekayaan dunia yang sementara, melainkan melihat apa yang mungkin dia capai, yang dapat memberi pengaruh kekal di dalam sejarah. Musa melihat ada kehendak Allah yang jauh lebih tinggi daripada kehendak Firaun, ada tugas dan mandat yang Allah percayakan kepadanya. Hal-hal seperti inilah yang dari zaman ke zaman membuat adanya orang-orang yang mengaitkan diri mereka dengan rencana Allah yang kekal, yang tidak mungkin digeser oleh pentas politik yang ada di dalam sejarah. Karena siapakah raja-raja yang mewarisi kerajaan-kerajaan besar di dalam sejarah? Tak lain hanyalah keturunan orang berdosa yang secara ‘kebetulan’ dilahirkan di dalam keluarga kerajaan, sehingga mereka mewarisi kedudukan yang tinggi. Namun hanya orang-orang yang tahu akan kuasa Tuhan yang kekal sajalah yang tidak akan silau terhadap kuasa dunia.

Kekekalan yang Melampaui Kerjaan dan Tahta Dunia

Suatu kali, Beethoven, si musikus, dan Goethe, si sastrawan, yaitu dua tokoh besar di dalam sejarah dan kebudayaan Jerman, berjalan-jalan sambil berdialog di suatu taman di Wina, Austria. Tiba-tiba terdengar suara yang ramai, sehingga mereka berdua berhenti berbicara sambil memncari tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi. Ternyata Rudolf, Pangeran Austria masa itu, melintas dengan mengendarai kereta emas dengan rodanya yang begitu indah. Dan semua orang mengelu-elukannya: “Rudolf, Rudolf!” Mengetahui itu, Goethe segera meninggalkan Beethoven, berjalan ke depan untuk menantikan Pangeran lewat, diapun segera memberi hormat kepadanya. Sedangkan Beethoven, tidak seperti orang-orang lain yang begitu mendengar keramaian langsung mencari tahu, karena dia tetap duduk di sana dengan tenang.

Setelah Goethe memberi hormat kepada Pangeran Rudolf, Pangeranpun balas memberi hormat kepadanya, karena sastrawan besar yang berdiri di depannya ini pernah menjadi gurunya. Selesai Sang Pangeran membalas hormat Goethe, dia melihat Beethoven ada di sana. Di luar dugaan semua orang, Sang Pangeran justru turun dari kereta kudanya, menghampiri Beethoven dan memberi hormat kepadanya. Beethoven pun balas memberi hormat kepada Pangeran. Padahal Goethe, penulis Faust, dan Beethoven, penulis Symphony No. 9, sama-sama adalah tokoh yang agung, tetapi mereka berdua sangat berbeda: Goethe memberi hormat kepada Pangeran, Beethoven justru menerima hormat dari Pangeran.

Setelah Pangeran kembali ke kereta dan meninggalkan keduanya, mereka melanjutkan pembicaraan. Goethe bertanya, “Mengapa tadi kamu tidak memberi hormat kepada Pangeran, tapi Pangeranlah yang menghampirimu dan memberi hormat kepadamu?” Jawabnya, “Orang yang seperti Rudolf sering ada, namun orang yang seperti saya jarang ada. Rudolf menjadi Pangeran, orang ternama, karena dia dilahirkan di dalam keluarga kerajaan, dia mewarisi semua itu secara otomatis; sedangkan saya, Beethoven menjadi ternama bukan karena saya mewarisinya dari orangtua. Kesuksesan saya bukan saya peroleh secara otomatis melainkan melalui perjuangan yang berat. Itu sebabnya saya rasa saya tidak perlu menghampiri dan memberi hormat kepadanya. Karena orang yang seperti Rudolf memang banyak, tapi Beethoven hanya satu.”

Saya sangat terkesan dengan tulisan itu, karena di sana tersimpan pengertian dan kesadarannya tentang I am myself, I gain my own respect, I achieve my own success, I struggle until today. Siapa itu raja, Pangeran, orang yang berkedudukan tinggi di istana? Mereka hanyalah orang-orang yang mewarisinya dari keluarga mereka. Suatu kali, Beethoven mengajukan dispensasi, dan di akhir surat permohonannya dia membubuhkan tanda tangan “Ludwig von Beethoven”. Dalam kebudayaan Jerman terdapat dua jenis nama: van (keturunan bangsawan) yang dihormati dan von (identik dengan istilah from dalam bahasa Inggris), yang tidak terhitung apa-apa, selain sekadar menandakan dia berasal dari kota mana. Surat petisi Beethoven itu ditolak, karena dia menyandang nama von bukan van. Namun sekarang ini, suapa yang peduli penyandang nama van adalah orang yang berasal dari istana atau keluarga bangsawan? Tidak ada. Meski Beethoven tidak memiliki darah bangsawan, juga tidak mewarisi kedudukan dari kerajaan, namun dia telah menjadi orang yang lebih mulia ketimbang raja-raja di Jerman. Adakah yang masih mengingat raja-raja seperti Pangeran William atau Rudolf? Tidak. Namun seluruh dunia, tidak peduli bangsa apapun, mengingat Beethoven, karena semasa hidupnya dia telah mencapai sesuatu yang melebihi apa yang telah dicapai kerajaan.

Yang paling ironis adalah: waktu Jerman berperang dengan Perancis, sebelum orang Perancis maju berperang, mereka memperdengarkan lagu-lagu Beethoven (yang adalah orang Jerman) terlebih dahulu. Meski kedua bangsa itu bermusuhan, tapi waktu mendengar lagu-lagu Beethoven, orang Perancis mendapat semangat untuk berperang. Ini membuktikan adanya unsur yang melampaui zaman, tempat, waktu, kerajaan dan kuasa dunia. Unsur itulah yang ditangkap oleh semua nabi yang memampukan mereka memandang segala sesuatu yang di dunia ini, termasuk tahta raja, sebagai sesuatu yang sementara adanya, tapi yang ada di sorga, sebagai sesuatu yang kekal adanya. Di manakah Suharto, Habibie, Gus Dur? Sudah tak berada di atas tahta. Semua mereka hanya berkuasa untuk sesaat, demikian juga suatu hari nanti Megawati pun akan turun tahta. Namun Tuhan kita tidak pernah turun dari tahta-Nya, amin?

Pada waktu saya berkhotbah kepada dua puluh dua ribu orang di Manila dengan tema “The Delivery of God in the Time of Crisis” (Pertolongan Tuhan di Masa Krisis) saya berkata: the whole country of Philippines, starting from the top, the President, until you, the people: the whole nation should repent. Saat itu, Filipina memang sungguh-sungguh berada di dalam krisis. Enam buah universitas yang paling bergengsi di negara itu sudah dibeli oleh orang-orang dari TM (Transcendental Meditation). Bayangkan, universitas-universitas negara Katholik itu dibeli oleh orang India yang beragama Hindu campur Mistis. Yayasan yang memilikinya berhasil menjual satu-persatu universitas-universitas itu di bawah tangan. Korupsi di negara itu begitu hebat, sementara rakyat hidup menderita. Di saat seperti itulah saya menyampaikan khotbat: seluruh bangsa Filipina, mulai dari Presiden sampai rakyatnya, harus bertobat, karena tanpa bertobat tidak ada pertolongan dari Tuhan.

Di sela-sela khotbah yang berlangsung selama lima puluh menit itu, berulang-kali terdengar tepukan tangan yang meriah, bahkan ada beberapa kali saya harus berhenti berkhotbah. Khotbah itu bahkan diliput oleh FEBC dengan sangat profesional. Di akhir khotbah, saya memanggil orang bertobat dan sungguh-sungguh berdoa bagi Filipina, ada 2.462 orang yang maju ke depan. Itulah salah satu rekor yang saya capai, dimana ada ribuan orang bertobat di dalam satu kebaktian.

Seusai khotbah, panitia yang terdiri dari orang Filipina, orang Amerika dan beberapa negara lainnya itu mendatangi saya dan berkata: “Stephen, we are going to cut off some sentences in your sermon.” Saya bertanya, “What part?” Jawab mereka, “When you say the president should repent, that sentence is very dangeraous, karena khotbah Bapak akan disiarkan ke seluruh Filipina melalui Channel 4 (yaitu channelyang sangat terkenal di Filipina).” Saya lalu bertanya lagi “Is that sentence wrong?” Jawab mereka “There is nothing wrong. But you should know that he is a President” Saya menjawab, “I know, why could I not tell the President to repent?” Mereka menjawab “You are going to come here again, right?” Akhirnya saya menjawab “Up to you, you’ll be responsible to God” Dan jawab mereka, “Ok, we are responsible to God” Dan jawab mereka, “Ok, we are responsible to God. We are going to cut it off, because next time you will come again, probably he is no longer a President.” Aggota panitia itu menjawab, “Ok, he has been there for more than twenty years.” Tapi saya membalas, “My God has been there for thousands of years.” Akhirnya mereka tetap memotong bagian itu dan bertanggung jawab kepada Tuhan. Jika hari itu mereka tidak memotong, dan waktu khotbah itu disiarkan, Marcos mendengarnya dan bertobat, mungkin dia tidak mengalami nasib yang begitu tragis.

Cara Tuhan Bekerja, Sangat Berbeda Dari Cara Manusia

Memanggil orang untuk bertobat adalah intisari, semangat, dan prinsip dari semua nabi yang diutus Tuhan. Pada saat nabi-nabi dipanggil, mereka adalah orang-orang kecil, remeh, hina, dan sederhana. Begitu juga saat Raja Daud dipanggil, dia adalah anak yang paling kecil di keluarganya. Samuel berkata kepada ayah Daud, “Panggillah semua anakmu kemari.” Isaipun memanggil anaknya yang sulung, yang kedua, yang ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh dan katanya, “Semua anakku sudah ada di sini.” Tapi setelah Samuel memandang anak sulungnya, hatinya berkata ‘no‘, begitu juga dengan anaknya yang kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, dan ketujuh. Hatinya selalu berkata ‘no‘. Isai mengira anak yang bakal menjadi raja tentu adalah anaknya yang sudah besar, tetapi cara Tuhan memandang berbeda. Tuhan berkata kepada Samuel, tanyakan kepadanya, “Masih adakah anak yang lain?” Jawab Isai, “Ya, masih ada seorang anakku di ladang, tapi dia masih kecil”. Kata Samuel, “Coba panggil dia!”

Tuhan dapat saja memanggil anak yang paling kecil untuk melakukan perkara yang paling besar, karena itu jangan meremehkan anak kecil. Kadang-kadang kita berpikir, inilah anakku yang paling penting, paling berguna, tapi Tuhan dapat saja berkata, “Tidak, Aku mempunyai rencana lain”. Itulah yang terjadi pada Daud ketika dia masih remaja. Kata ayahnya, “Dia adalah anak yang paling muda, untuk apa dipanggil pulang?” Tapi kata Samuel, “Panggil saja dia pulang.” Isaipun taat. Begitu Daud pulang, Samuel memandang Daud dan Daud memandang Samuel, dan Tuhan berkata di dalam hati Samuel, “Inilah orang yang Aku pilih untuk menjadi Raja, mengganti Saul yang tidak setia.” Samuel pun menuangkan minyak ke atas kepala Daud; mengurapinya. Namun Daud masih harus menunggu puluhan tahun sebelum ia naik tahta.

Cara Tuhan bekerja memang sangat berbeda dengan cara manusia. Pada saat Tuhan memanggil Daud yang paling kecil, yang paling muda dan yang paling lemah di antara saudaranya, Daud sadar bahwa dirinya tidak layak. Sikap inilah yang membuat dia dilayakkan. Barangsiapa merasa dirinya layak, Tuhan tidak melayakkan dia, sebaliknya, barangsiapa merasa dirinya tidak layak, Tuhan akan melayakkan dia. Daud berkata, akulah yang paling kecil di antara kaum keluargaku, aku tidak layak menjadi raja. Dia menuliskan di dalam Mazmur: “Tuhan, aku tidak layak, mengapa Kau memanggil aku?” Lalu Tuhan berfirman kepadanya dan selesai Tuhan berfirman, Daud mulai menyadari bahwa ini adalah anugerah Tuhan, “Aku tidak boleh melupakan, membuang atau mengabaikannya begitu saja”. Maka katanya, “Tuhan, biarlah keturunanku turun-temurun menjadi raja, tak seorang pun yang tidak naik tahta.” Dengan lain kata, keturunannya akan terus menjadi raja. Bukankah tadinya dia merasa tidak layak, mengapa sekarang malah meminta Tuhan membuat keturunannya terus duduk di atas tahta? Karena dia sudah menangkap apa yang Tuhan kehendaki. Apakah unsur iman yang membawanya datang kepada Tuhan? Tuhan selalu mengangkat orang yang remeh, yang hina, yang merasa dirinya tidak layak untuk melakukan pekerjaan-Nya.

Musa adalah seorang bayi yang dibuang ke sungai, tapi Tuhan memakainya untuk melakukan pekerjaan yang luar biasa. Waktu Musa dipakai oleh Tuhan, sama halnya seperti nabi-nabi lain, dia tahu bahwa dia sedang menjalankan pekerjaan Tuhan. Karena itu dikatakan di Ibrani 11, bahwa dia tidak takut pada kemarahan Firaun.

Cara Tuhan Mendidik Musa, Sebelum Memakainya

Perhatikan: Musa dua kali meninggalkan Mesir. Kali pertama, saat dia berumur empat puluh tahun, setelah dia membunuh seorang Mesir, sehingga ia merasa ketakutan dan meninggalkan Mesir. Kali kedua, Tuhan mengutus dia kembali ke Mesir untuk menghadap Firaun dan memintanya membebaskan seluruh bangsa Israel keluar dari Mesir. Kali itu, usianya sudah delapan puluh tahun. Riwayat hidup Musa dapat dibagi menjadi tiga kali empat puluh tahun: empat puluh tahun yang pertama dia hidup di istana, empat puluh tahun yang kedua dia hidup di padang belantara, dan empat puluh tahun terakhir dia hidup bersama orang Israel di padang belantara. Empat puluh tahun ditambah empat puluh tahun ditambah empat puluh tahun sama dengan seratus dua puluh tahun – itulah umur Musa.

Empat puluh tahun yang pertama dia belajar di istana, menikmati kekayaan, kemuliaan, kehormatan, dan mempelajari semua ilmu pengetahuan di Mesir. Ini bukan kalimat bualan atau omong kosong melainkan kalimat yang tertulis di Kitab Suci, yaitu wahyu yang Roh Kudus berikan kepada penulis Kisah Para Rasul. Musa telah mempelajari semua ilmu orang Mesir di kerajaan terbesar dengan kuasa yang terbesar. Dia mempelajari astronomi, aristektur, fisika, dan ilmu-ilmu tertinggi di zamannya. Musa dibesarkan di negara yang paling penting, yang memiliki peninggalan Piramida. Bahkan sampai hari ini kita mengakui kebudayaan Mesir tak tersaingi oleh kebudayaan manapun. Di sanalah dia mendapatkan semua pengetahuannya. Di masa itu, dia merasa “I am something, saya hebat, saya penting”.

Tapi Tuhan memukul dia, dan membiarkan dia berada di padang belantara selama empat puluh tahun. Saat itulah dia sadar: “Actually I am nothing“. Setelah dia mempelajari pelajaran “I am nothing” selama empat puluh tahun, barulah panggilan Tuhan tiba atas dirinya: “Aku akan memakaimu. When you say you are nothing, that is the time when I want to use you. When you say I am something, I am going to train you, to discipline you and to cast you out“. Di masa empat puluh tahun yang terakhir, dia memimpin orang Israel. Barulah dia sadar bahwa pengetahuan yang dia miliki tak terpakai, bahwa semua ilmu yang dia pelajari berbeda dengan hal rohani.

Kadang kita kira kita sudah pandai berbisnis, maka kita melayani pekerjaan Tuhan dengan cara bisnis. Namun saya ingatkan itu: itu berbahaya! Kadang kita masuk ke jalur pelayanan rohani dengan bekal sistem organisasi dunia, memimpin hal rohani dengan administrasi dunia. Namun saya ingatkan: itu berbahaya! Jendral Simatupang berkata kepada saya: “Untuk membereskan TNI, saya hanya membutuhkan tiga tahun, tapi untuk membereskan PGI, sudah tiga puluh tahun masih belum beres.” Ternyata, soal rohani tidak terlalu mudah untuk diurus. Gereja berbeda dengan masyarakat, memimpin orang Kristen berbeda dengan mempimpin tentara yang sudah memiliki peraturan, di mana hanya dengan disiplin semuanya akan berjalan dengan baik. Tetapi mengurus hal rohani begitu sulit.

Maka selama empat puluh tahun Musa memimpin orang Israel, berapa banyak air mata, keluh kesah, kesusahan yang dia alami, tak seorangpun yang tahu. Dia hanya dapat datang kepada Tuhan dengan berkata, “Inilah umat-Mu, umat-Mu berbuat ini, berbuat itu terhadapku.” Jawab Tuhan, “Kau mendapat kesulitan dari umat-Ku? Oke Aku binasakan mereka dan jadikan keturunanmu kerajaan yang lebih besar dari mereka.” Bagaimana reaksi Musa? Adakah dia berkata, “Kerajaanku? Kau akan membinasakan mereka dan menjadikan keturunanku sebagai the kingdom of Moses?Inilah kesempatan bagus bagiku untuk menjadi besar. Ini ide yang bagus Tuhan, bunuhlah mereka agar anak cucuku dapat membangun kerajaan”? Tidak! Mungkinkah keturunan Musa tak serusak orang-orang sezamannya? Mungkin. Tapi apa kata Musa? “Jangan Tuhan, jangan binasakan mereka. Kalau Kau tidak mendengar permintaanku, coretlah namaku dari kitab hayat-Mu; bunuh saja aku.”

Musa tidak pernah menghendaki keluarganya jaya dan orang lain binasa. Itu sebabnya Alkitab mengajarkan dengan jelas, Musa adalah orang yang setia di seluruh keluarga Israel. Kalimat yang tercatat di surat Ibrani itu sudah kita bahas dua tahun yang lalu. Waktu Tuhan melihat hati Musa begitu mencintai umat-Nya, maka Dia tidak jadi membinasakan Israel. Tetapi Musa belajar satu perkara: I am not able, I am not capable, I am not good enough, I am not powerfull enough to guide this people. Umat Tuhan sangat sulit dipimpin, karenanya selama empat puluh tahun dia belajar tentang “I am nothing, only God is everything“. Siang malam dia bersandar kepada Tuhan, meski dia begitu sering menerima sungutan dan caci-maki. Dia dilawan, diejek, dan ditolak oleh bawahannya, tapi bagaimana akhirnya? Waktu Musa mati, orang Israel menangisi dia selama puluhan hari untuk mengingat pimpinannya. Inilah pemimpin rohani: waktu dia hidup, dia ditolak, diejek, dilawan, dan dia menderita, tapi setelah dia mati barulah orang mengingat kebaikannya.

Para penafsir mempunyai pendapat yang berbeda mengenai pertanyaan apakah Ibrani 11 ayat 27 di atas mengacu pada kali pertama atau kali kedua Musa meninggalkan Mesir. Awalnya Musa tinggal di istana, tapi kemudian, karena dia membunuh orang Mesir, dia meninggalkan istana. Itulah kali pertama dia meninggalkan Mesir. Kali kedua dia meninggalkan Mesir dengan memimpin bangsa Israel, dan saat itu dia harus berhadapan dengan Firaun. Firaun mendapat sepuluh tulah dari Tuhan. Maka ayat: ‘Karena iman, Musa meninggalkan Mesir dengan tidak takut pada kemarahan Firaun’ ini mengacu pada kali pertama atau kali kedua dia meninggalkan Mesir? Secara logika, ayat ini tidak mengacu pada kali pertama dia meninggalkan Mesir, karena kali itu dia pergi sebab takut dibunuh orang Mesir. Ayat itu sepertinya mengacu pada kali kedua dia meninggalkan Mesir, karena kali itu dia membawa serta seluruh bangsa Israel. Jumlah pria, tak termasuk wanita dan anak-anak, adalah enam ratus orang. Ini adalah migrasi terbesar di sejarah. Long march yang dipimpin Mao Tse-Tung hanya menempuh jarak seratus ribu kilometer dalam waktu sepuluh tahun, dan jumlah pengikutnya pun sedikit, tak dapat dibandingkan dengan Musa. Di manakah kita dapat menemukan pemimpin yang sebesar Musa? Adakah orang yang memimpin seluruh bangsanya keluar dari tempat perbudakan seperti Musa? Tak pernah ada di sejarah.

Seperti disebut di atas, ada penafsir yang berpendapat bahwa ayat 27 bukan berbicara tentang kali kedua, melainkan kali pertama Musa meninggalkan Mesir. Mengapa? Bukankah kali pertama dia meninggalkan Mesir karena dia baru saja membunuh orang Mesir dan takut ditangkap? Tapi tertulis di sini, dia meninggalkan Mesir, karena dia tidak takut pada Firaun. Mengapa dia tidak takut kepada Firaun? Karena dia tahu, Mesir bukan rumahnya, agama orang Mesir bukan agamanya, Mesir bukan tempat yang kekal, di mana dia boleh melayani Tuhan. Maka dia berkata: aku mau meninggalkan tempat ini. Lalu mengapa dia berani membunuh orang Mesir? Justru karena dia tidak takut pada Firaun. Karena dia tahu, Tuhan lebih tinggi daripada orang Mesir. Sayangnya, dia melayani Tuhan dengan cara nafsu, cara kedagingan, cara duniawi. Dia menyaksikan orang Mesir berani menyiksa bangsanya, maka dia membunuh orang Mesir itu. Kalau saja Musa setiap hari membunuh satu orang Mesir, berapa banyak orang yang dapat dia bunuh dalam satu tahun? Tiga ratus enam puluh lima orang. Berapa banyak orang Mesir yang dapat dia bunuh dalam sepuluh tahun? Tiga ribu enam ratus lima puluh orang. Berapa banyak orang yang dapat dia bunuh dalam waktu empat puluh tahun? Belasan ribu orang saja. Kalau kita melayani Tuhan dengan cara kedagingan, cara nafsu, cara manusia, kita hanya mendapatkan sedikit, tapi kalau kita menggunakan cara Tuhan, Tuhan akan menyatakan kebesaran-Nya. Kalau Musa memakai cara kedagingan: setiap hari membunuh satu orang, tak sampai sepuluh hari dia tentu sudah ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Tapi ketika waktu Tuhan bekerja, kita menyaksikan Musa berhasil memimpin orang Israel merayakan hari Paskah yang pertama di Mesir dan kemudian keluar dari tanah perbudakan itu. Jadi, ayat 27 bukan mengacu pada kali kedua melainkan kali pertama dia keluar dari Mesir.

Kali itu, sesudah dia keluar dari Mesir, Tuhan menggeletakkan dia; tidak memakai dia selama empat puluh tahun. Semua pengetahuan yang pernah dia pelajari sepertinya tidak berguna sama sekali: dia pandai berpidato, fasih lidahnya hebat; tapi yang mendengar pidatonya hanyalah kawanan kambing, apapun yang dia katakan hanya dijawab dengan ‘mbek, mbek’. Baru setelah empat puluh tahun, Tuhan menyatakan diri kepada Musa – di mana Allah sendiri yang berinisiatif mmengadakan encounter dengannya. Itulah wahyu, yaitu Firman Tuhan yang pertama kali datang kepada seorang yang kemudian diberi mandat untuk menuliskan asal-usul dunia. Di dalam hal ini, Musa jauh lebih penting dari Abraham, Henokh, Nuh dan orang-orang yang hidup sebelum dia. Apa sebabnya? Dialah orang yang pertama Tuhan percayakan untuk menulis Kitab Suci, sehingga dunia tahu bagaimana alam semesta ini diciptakan, bagaimana manusia pertama berdosa, dan janji Tuhan untuk menyelamatkan umat manusia. Semua ini tertulis di lima kitab yang paling awal di Alkitab, yang ditulis oleh satu orang yang bernama Musa.

Cara Tuhan Memakai Musa

Memang di dalam hal beriman, Abrahamlah bapa iman kita, tapi dalam hal mengerti Firman Tuhan, Musalah yang terpenting, karena dia adalah orang pertama yang Tuhan percayakan untuk menuliskan kebenaran yang Tuhan wahyukan untuk diketahui oleh manusia. Maka saat Musa pertama kali menerima wahyu, Tuhan berkata, “Musa, Musa, tanggalkanlah kasutmu. Karena tempat di mana kau berdiri adalah tempat yang ‘suci’.” Istilah ‘suci’ itu dalam bahasa asli Ibraninya muncul pertama kali di Keluaran 3. Selanjutnya, istilah ‘suci’ memenuhi seluruh Kitab Suci. Kitab ini disebut Kitab Suci karena di dalamnya penuh dengan istilah ‘suci’. Istilah ‘suci’ yang pertama muncul di sejarah manusia keluar dari mulut Tuhan Allah sendiri dalam panggilan-Nya kepada Musa, orang yang pertama menerima wahyu.

Waktu Musa mendengar panggilan itu, dia merasa kaget sekali, karena selama empat puluh terakhir dia hanya mendengar suara ‘mbek, mbek’ dari kawanan domba dan tiba-tiba pada saat itu dia mendengar suara yang berbicara kepadanya. Siapa yang berbicara? Dihadapannya terdapat api yang membakar semak duri. Waktu dia perhatikan, dia merasa heran, apinya besar, tapi semak duri itu tidak terbakar. Inilah inspirasi yang begitu besar, begitu penting, yang mengajarkan kepadanya: meski anak-anak Allah berada dalam penganiayaan, mereka tidak akan kehilangan iman. Betapa besarpun api membara, Tuhan tetap dapat memelihara semak duri itu. Apa itu semak duri? Sampah, sesuatu yang tidak berguna. Ketika orang Israel berada di tanah Mesir, mereka bagaikan sampah yang tak berguna. Ketika orang Israel berada di tanah Mesir, mereka bagaikan sampah yang tak berguna. Mereka diejek, diolok, dianiaya, dijadikan budak. Tetapi Tuhan berjanji I am with you, you will be preserved forever. Musa melihat semak duri, tapi dia tak melihat Allah, hanya melihat suatu sign, tanda bahwa Allah ada di dalam panggilan itu. Perintah-Nya: “Kembalilah ke Mesir!” Tanya Musa, “Tuhan, justru karena aku tak mau hidup di Mesir, maka aku tinggalkan tempat itu, mengapa Kau malah menyuruhku kembali ke Mesir?” Jawab Tuhan “Stand before the rulers!“

Nabi-nabi diberi kekuatan dan mandat untuk berani berdiri di hadapan pemimpin-pemimpin dunia. Kadang-kadang Tuhan memberi kekuatan, kesempatan kepadamu yang melayani-Nya di hadapan semua pemimpin dunia, menyuruh mereka mendengar kata-katamu. Tuhan menyuruh Musa untuk mengatakan kepada Firaun, “Biarkan umat-Ku keluar dari Mesir untuk menyembah Allah yang sejati, bukan berbakti kepadamu, bukan menyembah patung-patung yang kau sembah atau menyembah ilah-ilah yang ada di Mesir.” Inilah jawaban bagi Musa, jawaban yang membuatnya tahu Allah itu Esa, Allah itu Mahatinggi, bahwa semua dewa di Mesir palsu adanya, dan bahwa semua ilah menghujat Allah. Allah yang Esa itu memberi perintah kepadanya untuk: go, stand before Pharaoh, stand before the rulers of Egypt and tell him, let My people go so they can worship their God in the wilderness. Itu sebabnya Musa kembali ke Mesir.

Musa kembali ke Mesir dalam status dan tanpa kartu penduduk. Berarti dia sudah tidak berhak tinggal di Mesir, tak berhak menempati kamar di istana, bahkan dia berstatus sebagai orang buangan. Empat puluh tahun dia meninggalkan Mesir, sehingga usianya sudah tua, tapi dia tak minder, tak takut, karena dia kembali dengan mandat sorga, dengan kuasa Allah, dengan berita yang Allah berikan kepadanya, maka dia berdiri dan berkata-kata kepada Firaun. Saat itu, statusnya secara manusia berada di bawah tahta, tapi bila ditinjau dari wibawa dan rencana Allah dia berada di atas tahta. “Firaun, demikian firman Tuhan, let My people go! Tak seorang pun berani mengucapkan kalimat seperti itu kepada Firaun atau kepada raja. Maka tanya Firaun, “Apa katamu?” Jawab Musa, “Demikianlah Firman Tuhan Yehovah, biarkan umat-Ku pergi. Mereka mau menyembah Allah bukan menyembah patung dari dewa-dewa yang kau sembah.”

Kalau kita menelusuri dan membongkar kekayaan orang Mesir, kita akan menjadi begitu kagum. Khususnya pada saat kuburan Tutankhamen ditemukan, para arkeolog pun tercengang-cengang, karena emas dan perhiasan yang terdapat di sana begitu sempurna. Kemegahan kuburan itu memang tak pernah terbayangkan. Karena sebelumnya memang ada penemuan-penemuan kuburan yang lebih besar, tapi barang-barangnya sudah habis dicuri. Pada saat kuburan raja yang masih muda itu ditemukan, barulah para arkeolog sadar, betapa megahnya kebudayaan Mesir. Pada saat Musa menghadap Firaun, tentu dia harus berbekal kuasa yang lebih besar dari Firaun, kuasa yang berasal dari Raja di atas raja – Tuhan Allah sendiri.

Makna Keluarnya Bangsa Israel dari Mesir

Di Keluaran 12 tertulis, “Musa, sekarang Aku memerintahkan kau menjadikan bulan ini sebagai bulan pertama. Karena di bulan inilah kamu akan keluar dari Mesir. Di bulan ini, kamu harus makan roti tak beragi, membersihkan hatimu, mempersiapkan diri selama tujuh hari untuk merayakan hari raya Paskah.” (Ibr. 11:28). Untuk mengerti Ibrani 11:28, kita perlu kembali ke Keluaran 12. Di Kejadian 12 terjadi peristiwa ‘keluaran’ dan di Keluaran 12 juga terjadi peristiwa ‘keluaran’. Apa maksudnya? Di Kejadian 12, ada kisah Abraham keluar dari Mesopotamia, tapi di Keluaran 12 ada kisah orang Israel keluar dari Mesir. Mengapa mereka keluar dari Mesir? Sebab ada panggilan. Mengapa ada panggilan? Sebab ada rencana Allah. Allah memanggil Abraham keluar dari Mesopotamia, dan Allah juga memanggil orang Israel keluar dari Mesir, karena Allah mau menyelamatkan mereka. Keselamatan dari Allah datang melalui panggilan-Nya kepada Musa: “Beritahukan kepada orang Israel, jadikan bulan ini sebagai bulan pertama.” Padahal menurut penanggalan Mesir, bulan itu bukan bulan pertama, tapi Tuhan berkata, inilah bulan pertama yang Kutetapkan. Karena bulan ini adalah bulan keselamatan, bulan keselamatan harus dijadikan bulan pertama, bulan di mana kamu keluar dari dosa, kamu tidak lagi dibelenggu oleh dosa.

Di Surabaya, ada seorang yang setiap tahun merayakan dua kali ulang tahun. Orang bertanya kepadanya, mengapa kau merayakan ulang tahun dua kali? Jawabnya, satu kali adalah ulang tahun dimana aku dilahirkan oleh ibuku, satu lagi adalah ulang tahunku dilahirbarukan oleh Roh Kudus. Setiap ulang tahun kelahirannya, dia tak pernah mengundang siapapun, tapi setiap ulang tahun kelahiran barunya, keselamatannya, dia mengundang banyak orang datang ke rumahnya, karena menurutnya, inilah ulang tahun yang sesungguhnya.

Saya kira, orang Kristen harus mengerti bahwa kita dilahirkan dua kali, tapi hanya mati satu kali. Sedangkan orang-orang yang tidak mengenal Kristus, mereka dilahirkan satu kali, tapi mati dua kali. Apa maksudnya? Waktu aku dilahirkan oleh ibuku, itulah kelahiran yang pertama. Kelahiran yang kedua terjadi saat Roh Kudus melahirbarukan aku. Kelak, aku hanya mengalami sati kali kematian. Setelah itu, adakah kematian yang kedua? Tidak ada, karena aku akan berjumpa dan tinggal beserta Tuhan sampai selama-lamanya. Itulah yang dimaksud lahir dua kali, tapi hanya mati satu kali. Siapakah orang yang mengalami hal tersebut? Orang Kristen.

Tapi orang yang tidak menerima Kristus sebagai Tuhannya hanya lahir satu kali, tapi mati dua kali. Mengapa? Karena setelah mereka mati secara jasmani, mareka akan dimasukkan ke neraka, mengalami kematian yang kedua untuk selama-lamanya. Jadi, mana yang lebih bagus: orang yang lahir dua kali, tapi hanya mati satu kali; atau orang yang lahir satu kali, tapi mati dua kali? Tentunya yang lahir dua kali. Dan kelahiran yang kedua itulah yang penting. Karena pada waktu kita dilahirkan kembali, itulah hari pertama kita hidup di hadapan hadirat Tuhan. Sebelum itu, kita hanya hidup di dunia, hidup di hadapan manusia. Karena itu Tuhan berfirman: beritahukan kepada orang Israel, inilah bulan pertama, karena di bulan inilah Aku akan mengeluarkan kamu dari Mesir untuk memulai hidup baru. Keluar dari Mesir mengibaratkan orang Kristen yang keluar dari belenggu setan, menerima hidup yang baru, dan tidak lagi menjadi budak di bawah kuasa Firaun. Firaun mewakili setan dan perbudakkannya mewakili ikatan dosa yang membelenggu hidup kita.

Tuhan berfirman: “This is the first month, because this month I deliver you from Egypt.Sediakan domba atau kambing.” Jadi, syarat-syaratnya: sediakan domba atau kambing, harus yang jantan, yang sulung, yang berusia satu tahun, yang sehat, sama sekali tak sakit atau bercacat-cela. Itulah tuntutan Allah. Apa artinya? Domba yang menggantikan kelemahan kita haruslah yang tidak berkelemahan. Doma yang menggantikan kita yang tidak sempurna, tidaklah boleh yang bercacat cela atau tidak sempurna. Mengapa harus menggunakan domba yang berumur satu tahun? Ketika seseorang mencapai dua puluh sampai tiga puluh persen hidupnya itulah masa dimana kesehatannya paling prima. Jadi, kalau umurmu dapat mencapai seratus tahun, maka usia dua puluh sampai tiga puluh tahun adalah masa dimana kau paling sehat. Ditemukan juga bahwa pada saat domba berumur satu tahun, dia berada dalam keadaan palung sehat, pertumbuhannya sudah lengkap, sudah sempurna. Demikian juga Yesus Kristus, Dia dipaku di atas kayu salib saat berusia tiga puluh tiga tahun; usia paling sehat bagi seorang manusia, dimana dia dapat menyesuaikan diri dengan semua lingkungan, sudah mempunyai kekuatan untuk melawan segala macam penyakit. Yesus disalibkan pada saat Dia paling sehat, sama seperti perintah Tuhan: haruslah kau menyembelih domba yang berusia satu tahun, yang tidak bercacat cela, yang tidak berpenyakit, yang jantan, yang sulung, karena semua domba itu adalah lambang Kristus – Domba Allah yang disembelih. Di dalam peristiwa bersejarah ini kita menemukan perintah Paskah yang pertama, yang harus Musa sampaikan kepada semua orang Israel.

Perintah Allah dan Iman

Bayangkan, betapa sulit Musa mempublikasikan perintah itu, karena pada waktu itu belum ada surat kabar Kompas, siaran radio Sonora atau siaran TV yang dapat dipakai untuk memberitahukan perintah itu kepada semua orang Israel. Di abad ke-21, orang dapat mengeluarkan milyaran rupiah untuk membuat advertensi, iklan, tapi tiga ribu tahun yang lalu, meski punya uang juga tidak dapat melakukan hal itu, apalagi mereka yang tidak punya uang.

Yang Musa pimpin adalah budak-budak miskin yang begitu banyak jumlahnya. Mereka dicambuk, dianiaya, dipukul, dan dipaksa bekerja dengan tidak diberi imbalan apa-apa, kecuali makanan. Sebenarnya, apa gunanya mereka makan? Makan untuk hidup. Hidup untuk apa? Untuk bekerja. Bekerja untuk apa? Untuk makan. Makan untuk apa? Untuk bekerja lagi. Itu saja. Mereka tidak punya uang. Karena jika memakai istilah dari Karl Marx, dapat dikatakan bahwa Kerajaan Mesir telah merampas seratus persen surplus value yang dihasilkan bangsa Israel. Mereka diberi makan hanya supaya mereka dapat bekerja. Bukan makan untuk menikmati hidup yang mewah atau yang lebih bagus, melainkan hanya untuk survive, menyambung hidup hanya sekedar untuk dapat diperas lagi. Ini seperti para usahawan di masa ini yang hanya tahu memeras tenaga wanita, lalu membayarnya dengan upah yang rendah, kemudian juga memeras tenaga anak-anak yang tak dibayar penuh, sehingga surplus value yang dihasilkan oleh kerja mereka, diambil sepenuhnya oleh para usahawan itu. Menurut Karl Marx, surplus value diambil oleh kaum Kapitalis dengan menginjak-injak hak azasi manusia. Itulah sebabnya orang Komunis berkata bahwa surplus value harus dikembalikan, sebelum keadilan dapat terwujud.

Tuhan di sorga melihat keluhan orang Israel, Dia mengingat janji-Nya kepada Abraham, Ishak dan Yakub, maka Dia turun ke tengah-tengah mereka, melihat kesusahan mereka dari perbudakan Firaun. Maka kata-Nya kepada Musa, jika satu keluarga tak sanggup menghabiskan seekor kambing, maka beberapa keluarga boleh bergabung menyembelih seekor domba. Inilah belas kasihan Tuhan. Seandainya Dia berkata: “Tak perduli, setiap keluarga harus menyembelih seekor domba atau kambing”, tentu sangat kasihan, karena mereka adalah budak, mereka tak punya uang.

Kalau saja mereka memelihara domba, itu hanya untuk diperah susunya guna memenuhi kebutuhan anak mereka secara hemat, karena domba memberikan susu tanpa memungut bayaran. Mereka memang memiliki domba, tapi sekarang, seekor dari domba mereka harus disembelih, bahkan harus yang jantan. Bagi mereka, ini adalah pengorbanan yang besar, tapi domba yang disembelih itu dipakai untuk melambangkan Kristus yang begitu sempurna rela menjadi Juruselamat kita dengan cara disembelih. Mereka mulai menghitung-hitung: domba yang berumur satu tahun ini berapa kilo beratnya, kalau disembelih dapat dimakan oleh berapa keluarga, jangan sampai ada yang tersisa. Tuhan memerintahkan semua itu dengan jelas sekali: inilah Paskah yang kelak harus diingat oleh semua keturunanmu sampai selama-lamanya. Apa maksudnya? Tuhan akan menjadikan peristiwa itu sebagai pemisah sejarah (the devide of history): sebelumnya kamu adalah budak, tapi sesudahnya kamu adalah orang yang bebas; sebelumnya kamu berada di Mesir, tapi sesudahnya kamu merdeka; sebelumnya kamu dihina, tapi sesudahnya kamu adalah anak Allah; sebelumnya kamu ditindas, semua surplus value-mu diperas, tapi sesudahnya kamu boleh mempunyai hidupmu sendiri.

Bagaimana caranya Musa mempublikasikan hal ini? Saya tidak tahu. Pertama, saya sungguh tidak mengerti cara Musa mempublikasikan perintah Tuhan kepada dua juga orang yang tersebar di kota-kota dan desa-desa yang ada di Kerajaan Mesir. Bahkan berita itu harus sampai dalam waktu beberapa hari, waktu yang begitu singkat. Kedua, saya tidak mengerti mengapa semua orang Israel mau mematuhi perintah Musa. Seandainya kau berikan perintah, pada tanggal 17 April setiap keluarga Jakarta harus memberikan sepuluh ribu rupiah untuk pembangunan kota Jakarta. Adakah orang yang mau mematuhi perintahmu itu? Tidak mudah.

Sungguh merupakan satu hal yang berbeda dengan semua kebudayaan yang ada, karena jika bukan karena kerja Tuhan, semua hal yang dicatat di Alkitab hampir tak mungkin terlaksana. Apalagi Musa bukan berbicara dengan kuasa seorang raja, polisi, jenderal atau orang yang berpangkat tinggi. Dia hanyalah seorang yang bersandar kepada Tuhan dan berkata: Tuhan berfirman, sembelihlah seekor domba, bubuhkan darahnya di kedua tiang dan ambang pintumu, karena malam ini, pembunuh anak sulung akan tiba. Barangsiapa tidak membubuhkan darah di pintunya, anak sulungnya akan mati. Kalimat itu disampaikan dari satu keluarga ke keluarga yang lain, sampai semua orang Israel yang berada di Mesir mendengar perintah itu. Alkitab mencatat, malam itu juga di tengah orang Mesir, tak ada satu keluarga yang anak sulungnya tak mati, artinya pada zaman itu, generasi itu, malam hari itu, semua keluarga orang Mesir kehilangan anak sulungnya. Itu berarti tak satu keluarga orang Mesir yang menyapukan darah pada pintu rumahnya, karena mereka tidak percaya.

Inilah bedanya antara orang percaya dan orang yang tidak percaya. Mungkin kau berkata, kepada mereka tidak diberitakan hal itu. Tapi sesungguhnya, waktu orang Israel menyampaikan berita itu, pasti ada orang Mesir yang bertanya, “Apa yang kalian bicarakan?” Dan mungkin ada yang menjawab, “Tuhan memerintahkan kami berbuat ini dan itu, karena malam ini anak-anak sulung akan dibunuh, tapi bila pintu rumahmu dibubuhi darah, anak sulungmu akan aman.” Tak seorang Mesir pun mempercayai mereka. Yang beriman ya beriman, yang tidak beriman ya tidak beriman. Iman selalu timbul sebelum malapetaka menimpa, iman selalu dinyatakan sebelum suatu hukuman dijatuhkan, tetapi banyak orang menunggu dan menunggu tak pernah menyadarinya, sampai hukuman tiba barulah menyesal. Tapi Tuhan berkata: the time is up, your opportunity is over. Tapi orang Israel percaya, mereka segera menyediakan roti tak beragi, menyembelih domba yang tak bercatat cela, lalu darahnya disapukan di ambang pintu.

Penghakiman dan Pembebasan Tuhan

Saya percaya, orang-orang Mesir setempat merasa aneh, mengapa hari itu di perkampungan Israel berbau darah, semua pintu dibubuhi warna merah, bukan cat merah melainkan darah. Demikianlah yang tertulis di Ulangan 11: di dalam darah terdapat hidup, artinya Tuhan menginginkan yang hidup menggantikan yang hidup, dan kematian diganti dengan kematian, kematian domba mewakili kita, hidup dompa diambil agar kita dapat hidup. Begitulah kematian Kristus, bagai domba yang tersembelih, yang mengganti kematian kita. Kematian Kristus sama seperti domba Paskah yang meluputkan kita dari kebinasaan akhir yang dari Tuhan.

Malam itu, semua orang Israel tak boleh keluar rumah, mereka harus makan dengan berpakaian rapi, mengikat pinggang, mengenakan kasut. Mengapa Tuhan memberikan perintah seperti itu? Malam itu, waktu kau makan daging domba yang telah disembelih, kau harus mengenakan pakaian lengkap dan rapi, harus mengenakan ikatan pinggang, harus mengenakan kasut; semua itu mengindikasikan bahwa setelah makan mereka akan segera berangkat, memulai perjalanan. Itulah perintah yang jelas. Orang Israel yakin sekali akan apa yang Tuhan katakan melalui Musa, karena mereka sudah jenih dengan kehidupan mereka sebagai budak di Mesir. Hari itu, genap sudah masa mereka menjadi budak selama empat ratus tiga puluh tahun di Mesir, dan itulah cara Tuhan bekerja.

Mungkin kau bertanya, “Tuhan, mengapa harus menunggu begitu lama, lebih dari empat abad baru diberi kemerdekaan?” Indonesia merdeka setelah dijajah Belanda selama tiga ratus lima puluh tahun. Orang Israel menjadi budak orang Mesir selama empat ratus tiga puluh tahun, barulah tiba waktu Tuhan. Sabda-Nya: malam ini juga kenakanlah pakaian lengkap, ikat pinggang, kasut, makan daging domba sampai habis, jangan disisakan. Pagi harinya, kamu akan menyaksikan bagaimana tangan Tuhan bekerja. Keselamatan sudah Tuhan berikan kepada kita, kita harus segera menempuh perjalanan hidup yang baru, jangan tunggu lagi.

Ada orang yang berkata, “Tunggulah sampai saya sudah menjadi orang yang lebih baik, baru saya mau percaya Tuhan.” Atau “Tunggulah sampai saya sudah tidak berdosa, tidak berzinah, barulah saya mau menjadi orang Kristen.” Tidak mungkin! Kapan hidupmu menjadi lebih baik? Orang yang suka berzinah, atau melacur, baru menjadi lebih baik waktu terbaring di rumah sakit. Jadi, ketika kau jatuh sakit, moralmu pasti lebih baik dibandingkan saat kau sehat. Kapankah kau menjadi paling baik? Saat kau mati. Karena saat itu, kau tidak dapat lagi minum minuman keras, tidak dapat menggunakan narkotika, tidak dapat berzinah, tidak dapat berdosa lagi. Tapi dengan lain perkataan, no way to be better, maka jangan kau katakan: tunggu aku menjadi lebih baik, baru aku mau percaya Yesus. Yesus sudah mati bagimu. Sekarang, ikat pinggangmu, kenakanlah pakaian lengkap, kenakanlah kasut, dan setelah kamu menikmati keselamatan; change your life immediately after you receive the grace and the salvation of Jesus Christ!

Malam itu, semua orang Israel tak diperbolehkan keluar rumah. Mereka harus berdiam di rumah yang tertutup pintunya. Sama seperti orang-orang yang masuk ke bahtera Nuh, mereka diam di dalam bahtera, menanti pemeliharaan Tuhan, tak seorangpun boleh keluar dari bahtera. Inilah cara Tuhan. Close your door, and live within the protection.

Malam itu, di saat yang sudah Tuhan tetapkan, apa yang terjadi? Malaikat turun dari tahta Allah, “yang melaksanakan perintah Allah adalah malaikat-malaikat yang berkuasa” (Mazmur 103). Malaikat yang pertama dicatat di Kitab Suci adalah kerubim, yang dengan pedangnya menjaga pintu taman Firdaus, tidak mengizinkan Adam dan Hawa untuk kembali ke sana. Kerubim selalu mewakili keadilan Allah dan hukuman-Nya yang tak dapat ditawar-tawar. Berapa besar kuasa malaikat? Pikiran kita selalu dipengaruhi oleh gambar malaikat di kartu Natal: malaikat yang seperti perempuan, yang baik-baik, berdiri di sana dengan tersenyum-senyum, malaikat yang putih bersih. Tapi Alkitab mencatat, satu malaikat di dalam satu malam, dapat membutuh seratus delapan puluh lima ribu tentara musuh yang dikirim untuk mengepung kota Yerusalem di zaman Raja Hizkia. Malaikat Tuhan mempunyai kuasa yang luar biasa.

Pada waktu Yesus berada di Getsemani, Petrus berkata: di sini ada dua bilah pedang. Yesus berkata: “Cukup, apakah kau kira Aku tak dapat memerintahkan dua belas legion malaikat untuk menolong-Ku?” Saya percaya, sewaktu Yesus disalib, ratusan ribu malaikat mengelilingi Golgota, masing-masing menghunus pedang siap menghabisi semua orang yang melawan Yesus. Mereka hanya menunggu Yesus memberi komando: turun dan habisilah mereka. Tapi karena Yesus tidak membuka mulut, mereka tidak berani bergerak. Ketika akhirnya Yesus membuka mult, mereka mendengar Dia berkata: Bapa, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat. Semua malaikatpun menyarungkan kembali pedang mereka dan bubar; Yesus tidak menginginkan kami membalas dendam, malah meminta Bapa mengampuni orang-orang yang menyalibkan-Nya. Kalau Anak Tunggal Allah saja meminta Bapa-Nya mengampuni mereka, mengapa kami masih mengacung-acungkan pedang?

Perhatikan statement berikut: waktu malaikat dikirim untuk membasmi anak sulung, tak ada pengampunan bagi orang Mesir; itulah tulah kesepuluh yang Tuhan timpakan kepada Firaun yang mengeraskan hati. Meski sudah diberi tulah yang keenam, ketujuh, kedelapan, kesembilan, ia tetap tidak mau bertobat, maka tulah yang kesepuluh ditimpakan: smeua anak sulung dihabisi. Malam itu menjadi malam ratapan massal yang mengerikan di dalam sejarah. Tak ada satu keluarga orang Mesir yang anak sulungnya tidak mati. Dari putera mahkota Firaun di istana, sampai putera sulung menteri dan putera sulung rakyat jelata; Semua keluarga kehilangan anak sulung mereka. Kita tidak dapat membayangkan, betapa memilukan tangisan pada malam itu; Para ibu yang begitu mengharapkan anaknya bertumbuh besar, harus menangis karena anak mereka mati. Itulah saatnya Tuhan berkata: Musa, inilah saatnya kau membawa keluar orang Israel yang berjumlah enam ratus ribu orang laki-laki, belum termasuk wanita dan anak-anak itu.

Sebelum mereka meninggalkan Mesir, mereka mendatangi orang-orang Mesir untuk meminta bekal dari mereka. Mengapa orang Israel masih meminta bekal kepada orang Mesir yang sedang berduka karena kematian anak mereka? Israel sudah diperas selama empat ratus tiga puluh tahun. Orang-orang Mesir cepat-cepat memberi apa yang mereka minta, asal mereka mau cepat-cepat meninggalkan Mesir. Bila tidak, mereka kuatir, jangan-jangan anak-anak mereka akan mati semuanya. Alkitab mencatat, mereka meminta kepada orang Mesir, dan orang Mesir pun segera memberikan emas dan perak kepada mereka.

Tapi Alkitab juga mencatat, bahwa orang Israel telah merampas harta dari orang Mesir. Mengapa di awal ayat tertulis mereka meminta kepada orang Mesir, tapi di akhir ayat tertulis bahwa mereka merampas harta orang Mesir? Tuhan mengizinkan mereka minta dari orang Mesir dan orang Mesirpun memberi, tetapi mengapa dikatakan mereka merampas?

Perhatikanlah kemerdekaan Indonesia dan kemerdekaan Singapura atau Malaysia. Saya sangat kagum terhadap statement yang diucapkan oleh Sukarno: kemerdekaan India adalah kemerdekaan yang diberi, kemerdekaan Pakistan, Malaysia dan banyak negara-negara bekas jajahan adalah kemerdekaan yang diberi, tetapi kemerdekaan Indonesia bukanlah kemerdekaan yang diberi, melainkan kemerdekaan yang kita rampas dari tangan penjajah. Inilah bedanya: bangsa Indonesia tak perlu diberi, melainkan membutuhkan kekuatan untuk merampas kembali hak yang seharusnya dia miliki. Diberi dan merampas adalah berbeda sekali: merampas berarti sebenarnya aku berhak atasnya, maka kau harus mengembalikannya kepadaku.

Tetapi secara tata krama, secara manusia, bangsa Israel meminta dan harus diberi. Mengapa? Dengan terpaksa orang Mesir melepaskan orang Israel pergi. Mengapa? Bila mereka tidak direlakan pergi, malapetaka-malapetaka akan terus-menerus menimpa mereka. Inilah statement Alkitab: pergilah dari sini, bila tidak, kami akan mati semuanya, maka pergilah dari kami, Israel, pergilah dengan mulia. Waktu mereka hidup di Mesir, mereka menjadi budak, tapi waktu mereka pergi, mereka pergi dengan kemenangan yang Tuhan berikan kepada mereka. Mereka meminta dan orang Mesir memberi dengan rela hati, tapi Alkitab mencatat mereka merampas, itu berarti mereka telah memperoleh kembali apa yang patutu mereka terima.


Baca Juga: RENCANA ALLAH BAGI ANDA -J.I.PACKER
Sesudah itu, kedua juta orang Israelpun keluar dari Mesir menuju pada hari depan yang penuh dengan tantangan dan kesulitan. Tapi tidak apa-apa, karena yang memerintah dan yang memimpin mereka adalah Raja di atas segala raja. Pada waktu kau menjalankan kehendak Tuhan, meski kau harus menghadapi pergumulan hidup yang paling sulit sekalipun, jangan kau lupa menyerahkan hidupmu kepada Dia yang memegang hari depanmu dan sekaligus memegang sejarah dunia. Dia, Tuhan yang memimpin anak-anak-Nya Israel untuk keluar dari Mesir.

Dengan iman, Musa mengadakan Paskah. Dengan iman, dia menghadapi Firaun. Dengan iman, dia mengeluarkan bangsanya dari tempat perbudakan. Puji Tuhan! Kiranya Tuhan memberkati kita, memberikan iman yang sama dengan iman Musa: melihat Tahta di atas tahta, Kemuliaan di atas kemuliaan, Kerajaan di atas kerajaan.IMAN YANG MELIHAT KEMULIAAN DI ATAS KEMULIAAN.

-AMIN-

Pdt.Dr.Stephen Tong.

Wednesday, January 23, 2019

RENCANA ALLAH BAGI ANDA

RENCANA ALLAH BAGI ANDA -J.I.PACKER


RENCANA ALLAH BAGI ANDA - J.I.PACKER. ADAKAH SESUATU YANG DISEBUT RENCANA? ORANG ZAMAN SEKARANG MERASA TERSESAT DAN TERHILANG. Kesenian, puisi, novel modern, atau perbincangan lima menit dengan orang yang peka akan membuat kita meyakini hal ini. Sepertinya aneh jika hal ini bisa terjadi pada zaman ketika pengendalian kita atas kekuatan alam jauh melampaui zaman-zaman sebelumnya. Namun hal ini sesungguhnya tidak aneh. Hal ini adalah penghukuman Allah karena kita mencoba untuk merasa terlalu betah tinggal di duma ini. 

Kita menolak untuk percaya bahwa tujuan hidup kita harus melampaui kehidupan masa sekarang. Bahkan sekalipun kita mencurigai kaum materialis karena menyangkali keberadaan Allah dan dunia lain, kita tidak mengizinkan keyakinan kita menjauhkan kita dari kehidupan berdasarkan prinsip-prinsip materialistis. Kita memperlakukan dunia ini seolah-olah ini satu-satunya rumah kita, dan kita berkonsentrasi penuh untuk mengaturnya demi kenyamanan kita. Kita menyangka kita bisa membangun sorga di bumi. 

Kini Allah menghakimi kita karena keduniawian kita. Pada abad silam kita mengalami dua perang dunia “yang panas,” dan satu perang “dingin,” yang dalam bidang tertentu masih berlangsung. Kita hidup pada zaman perang nuklir, rasisme, perang antarsuku, penipuan uang, terorisme, dan segala jenis pencucian otak. 

Mustahil kita dapat betah di dunia seperti ini. Dunia ini telah mengecewakan kita. Kita berharap kehidupan ini ramah tetapi kehidupan mengejek pengharapan kita, dan membiarkan kita kecewa dan frustrasi. Kita menyangka kita tahu apa yang harus diperbuat dalam hidup ini. Kini kita cemas apakah masih ada yang bisa kita perbuat dengannya. Kita menganggap diri bijak. Kini kita mendapati diri bagaikan anak-anak yang tersesat di kegelapan malam. 

Cepat atau lambat ini pasti terjadi. Dunia milik Allah tak pernah ramah terhadap mereka yang melupakan Penciptanya. Pemeluk agama Buddha yang mengaitkan ateisme mereka dengan pesimisme menyeluruh terhadap hidup, benar sampai batas ini. Tanpa Allah manusia kehilangan arah, dan kecuali ia menemukan Sang Empunya dunia ini, ia tidak akan dapat menemukan arah itu. Tidak heran jika orang yang tidak percaya merasa diri mereka tidak berarah dan menyedihkan. Tidak heran jika jiwa jiwa yang pahit dan frustrasi ini berpaling pada obat-obat terlarang dan minuman keras, atau jika para remaja menanggapi kekacauan di sekeliling mereka dengan bunuh diri. Allah menciptakan hidup, dan hanya Allah yang bisa memberi tahu maknanya. Jika kita mau memahami hidup di dunia ini, maka kita harus tahu tentang Allah. Dan jika kita mau tahu tentang Allah, kita harus kembali kepada Alkitab. 

BACALAH ALKITAB 

Jadi marilah kita membaca Alkitab – jika kita bisa. Tetapi bisakah kita? Banyak di antara kita yang kehilangan kemampuan ini. Kita membuka Alkitab dengan kerangka pikir yang membentuk batasan yang tak dapat ditembus. Meski terdengar mengejutkan, hal ini benar. Izinkan saya menjelaskan. 

Ketika Anda membaca sebuah buku, Anda memperlakukannya sebagai suatu kesatuan. Anda mencari plot atau alur utamanya, dan menelusurinya sampai akhir. Anda membiarkan pikiran si penulis menuntun Anda. Tidak peduli apakah Anda membiarkan diri “terbenam” sebelum menyerap isi buku tersebut atau tidak, Anda tahu bahwa Anda tak akan pernah memahaminya sampai Anda membacanya dari awal hingga akhir. Jika Anda ingin menguasai buku itu, Anda akan meluangkan waktu khusus untuk mempelajarinya dengan saksama dan tidak tergesa-gesa. 

Tetapi kita membaca Kitab Suci secara berbeda. Kita tidak terbiasa memperlakukannya sebagai sebuah buku. Kita melihatnya hanya sebagai kumpulan cerita dan pepatah yang tepisah. Kita begitu saja menganggap tulisan ini sebagai nasihat moral atau penghiburan bagi mereka yang bermasalah. Jadi kita membaca Alkitab dalam dosis ringan, beberapa ayat setiap kali baca. Kita tidak membaca keseluruhan kitab, apalagi membaca kedua Perjanjian tersebut secara menyeluruh. Kita menyusuri masa tua Yakub yang kaya raya, sambil menantikan sesuatu menyambar kita. Ketika ayat-ayat ini menenangkan pikiran atau memberi gambaran yang menyenangkan, kita yakin Alkitab telah menyelesaikan tugasnya. Kita menganggap Alkitab bukan sebagai buku, melainkan sekumpulan penggalan bacaan yang indah dan menguatkan, dan berdasarkan itulah kita menggunakannya. Akibatnya, dalam pengertian “membaca” secara umum, kita sama sekali tidak membaca Alkitab. Kita menganggap kita telah memperlakukan Kitab Suci dengan cara yang benar, tetapi kita ternyata salah. Ini hanyalah religiusitas semu, bukan religiositas sejati. 

Allah tidak ingin Alkitab dibaca hanya sebagai obat bagi pikiran yang sedang kesal. Pembacaan Kitab Suci dimaksudkan untuk membangunkan pikiran kita, bukan untuk menina-bobokannya. Allah meminta kita untuk mendekati Kitab Suci sebagai Firman-Nya – pesan yang ditujukan kepada ciptaan-Nya yang berakal budi dan bernalar, sehingga jangan harap dapat dipahami tanpa memikirkannya. “Marilah, baiklah kita berperkara [reason together, KJV]!” kata Allah kepada bangsa Yehuda melalui Yesaya (Yes. 1:18), dan Dia mengucapkan hal yang sama setiap kali kita membuka kitab-Nya. Dia mengajar kita berdoa memohon pencerahan ilahi ketika kita membaca. “Singkapkanlah mataku, supaya aku memandang keajaiban-keajaiban dari Taurat-Mu” (Mzm. 119:18). Doa ini meminta Allah memberikan pemahaman saat kita merenungkan Firman-Nya. Namun kita menghalangi Allah menjawab doa ini jika sesudah berdoa, kita tidak berpikir saat membaca. 

Allah ingin kita membaca Alkitab sebagai buku – sebuah kisah dengan sebuah tema. Saya tidak lupa bahwa Alkitab terdiri dari banyak bagian yang terpisah (tepatnya enam puluh enam bagian) dan sebagian bahkan merupakan gubahan (seperti Mazmur yang terdiri dari 150 doa dan himne). Sekalipun demikian, Alkitab dihasilkan oleh satu pikiran, yakni pikiran Allah. Alkitab berulang kali membuktikan kesatuan ini melalui keterkaitan yang mengagumkan antarbagiannya, bagian satu memperjelas bagian lain. Jadi kita harus membacanya sebagai satu kesatuan. Dan ketika membaca, kita harus bertanya: Apakah plot kitab ini? Apakah topiknya? Apakah isinya? Kecuali kita menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita takkan pernah melihat apa yang sedang ia katakan mengenai hidup kita. 

Ketika telah mencapai titik ini, kita akan menemukan bahwa pesan Allah kepada kita lebih radikal dan lebih memberi semangat, ketimbang apa pun yang bisa diberikan oleh religiositas manusia. 

TEMA UTAMA 

Apakah yang akan kita temukan jika kita membaca Alkitab sebagai satu kesatuan yang utuh dan dengan menyelidiki fokusnya? Inilah yang akan kita temukan: Alkitab tidak terutama berbicara tentang manusia. Tokoh utamanya adalah Allah. Dia-lah tokoh utama dalam drama ini, Sang Pahlawan dalam kisah Alkitab. Alkitab mensurvei karya-Nya di dunia ini, dulu, kini, dan kelak, berikut penjelasan dari para nabi, pemazmur, orang bijak, dan rasul. Tema utamanya bukan keselamatan manusia, melainkan karya Allah yang mempertahankan tujuan-Nya dan memuliakan diri-Nya dalam alam semesta yang berdosa dan kacau. Dia melakukannya dengan mendirikan kerajaan-Nya dan meninggikan Putra-Nya, dengan menciptakan suatu umat untuk menyembah dan melayani Dia, dan dengan membongkar dan menata ulang segala yang ada, yang berarti mencabut dosa dari dunia-Nya. 

Dalam perspektif yang lebih besar inilah Alkitab berbicara tentang karya Allah yang menyelamatkan manusia. Allah Alkitab lebih dari sekadar arsitek kosmos yang jauh, atau paman sorgawi yang mahaada, atau kuasa pemberi hidup yang impersonal. Allah melampaui semua allah pengganti yang mendiami pikiran abad kedua puluh. la hidup, hadir dan aktif di mana saja, “Mulia karena kepudusan-Mu, menakutkan karena perbuatan-Mu yang mahsyur” (Kel. 15:11). Ia menamai diri-Nya – Yahweh (Jehovah: lih. Kel. 3:14-15; 6:2-3). Baik diterjemahkan menjadi “Akulah Aku” atau “Akulah Aku yang akan datang” (bahasa Ibrani mencakup kedua makna ini), nama ini memproklamasikan eksistensi-Nya dan kecukupan-Nya, kemahakuasaan-Nya dan kebebasan-Nya yang tak terikat apa pun. 

Dunia ini miliknya, Ia menjadikannya dan mengendalikannya. Ia “di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya (Ef. 1:11). Pengetahuan dan kuasanya-Nya menjangkau hal terkecil: “Dan kamu, rambut kepalamu pun terhitung semuanya” (Mat. 10:30). “Tuhan bertakhta” – pemazmur menjadikan kebenaran yang tak tergoyahkan ini sebagai titik awal bagi puji-pujian mereka (lih. Mzm. 93:1; 96:10; 97:1; 99:1). Sekalipun kekuatan jahat menerjang dan kekacauan mengancam, Allah adalah Raja. Karena itu umat-Nya aman. 

Itulah Allah Alkitab. Dan Alkitab, dari Kejadian hingga Wahyu, mengumandangkan keyakinan bahwa ada rencana Allah di balik semua kebingungan yang tampak di dunia ini. Rencana tersebut berkenaan dengan penyempurnaan suatu umat dan pemulihan suatu dunia melalui perantaraan Yesus Kristus. Allah mengatur berbagai urusan manusia dengan mengingat tujuan ini. Sejarah manusia merupakan catatan dari penggenapan maksud Allah ini. 

Alkitab merincikan tahap-tahap rencana Allah. Allah mengunjungi Abraham, memimpinnya ke Kanaan, dan mengikut kovenan dengannya dan dengan keturunannya – “perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu turun-temurun menjadi perjanjian yang kekal…. Aku akan menjadi Allah mereka” (Kej. 17:7 dst.). Dia mengaruniai Abraham seorang putra, mengubah keluarganya menjadi suatu bangsa dan membawa mereka keluar dari Mesir menuju tanah milik mereka. Selama berabad-abad Ia mempersiapkan mereka dan dunia kafir untuk menyambut kedatangan Sang Juruselamat dan Raja, “Ia telah dipilih sebelum dunia dijadikan, tetapi karena kamu baru menyatakan diri-Nya pada akhir zaman. Oleh Dialah kamu percaya kepada Allah” (1Ptr. 1:20 dst.). 

Akhirnya, “Setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat. Ia diutus untuk menebus mereka, yang takluk kepada hukum Taurat, supaya kita diterima menjadi anak” (Gal. 4:4 dst.). Perjanjian kepada keturunan Abraham kini digenapkan pada semua orang yang percaya kepada Kristus: “Dan jikalau kamu adalah milik Kristus, maka kamu juga adalah keturunan Abraham dan berhak menerima janji Allah” (Gal. 3:29). 

Rencana Allah atas zaman ini adalah supaya Injil ini tersebar di seluruh dunia, dan “suatu kumpulan besar … dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa” (Why. 7:9) dibawa untuk percaya kepada Kristus. Saat Kristus kembali, langit dan bumi akan dibangun ulang dengan luar biasa. Maka, tempat “Takhta Allah dan takhta Anak Domba itu,” akan menjadi tempat “hamba-hamba-Nya akan beribadah kepada-Nya, dan mereka akan melihat wajah-Nya … dan mereka akan memerintah sebagai raja sampai selama¬lamanya” (Why. 22:3-5). 

Inilah rencana Allah menurut Alkitab. Rencana ini tidak dapat digagalkan oleh dosa manusia, sebab Allah membuat suatu jalan sehingga dosa manusia dapat menjadi bagian dari rencana tersebut, dan perlawanan terhadap rencana Allah dipakai untuk memajukan kehendak-Nya. Kepada saudara-saudara yang menjualnya ke Mesir, Yusuf berkata, “Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar” (Kej. 50:20); “Jadi bukanlah kamu yang menyuruh aku ke sini, tetapi Allah” (Kej. 45:8). Salib Kristus adalah gambaran yang paling tepat dari prinsip ini. Dalam khotbahnya pada hari Pentakosta, Petrus berkata “Ia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh” (Kis. 2:23). Di bukit Golgota, Allah memakai dosa Israel sebagai sarana keselamatan dunia. Jadi, kefasikan manusia tak bisa menghalangi rencana Allah menebus umat-Nya. Melalui hikmat kemahakuasaan-Nya, hal ini justru menjadi sarana untuk menggenapi rencana itu. 

MENERIMA RENCANA ALLAH

Jadi, inilah Allah Alkitab: Allah yang memerintah, Penguasa atas peristiwa, yang melalui pelayanan umat-Nya yang tersendat-sendat dan kejahatan musuh-musuh-Nya, mengerjakan maksud kekal-Nya bagi dunia-Nya. Sekarang kita mulai melihat apa yang akan Alkitab katakan kepada angkatan kita yang merasa begitu tersesat dalam berbagai peristiwa yang sulit dimengerti. Ada rencana, demikian kata Alkitab. Ada makna dalam berbagai keadaan, tetapi semua ini luput dari perhatian Anda. 

Berpalinglah kepada Kristus. Carilah Allah. Serahkan diri Anda pada penggenapan rencana-Nya, maka Anda akan menemukan kunci kehidupan. Kristus berjanji, “Barangsiapa mengikut Aku, is tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup” (Yoh. 8:12). Anda akan memiliki motivasi: kemuliaan Allah. Anda akan memiliki aturan: hukum Allah. Anda akan memiliki sahabat baik, hidup atau mati: Putra Allah. Anda akan menemukan jawaban atas keraguan akibat keadaan yang tanpa makna, bahkan jahat. Anda akan tahu bahwa “Tuhan bertakhta,” dan “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Rm. 8:28). Dan Anda akan memiliki damai sejahtera. 

Altematifnya, kita bisa menentang dan menolak rencana-Nya, tetapi kita tidak akan luput darinya. Salah satu unsur rencana-Nya adalah penghukuman atas dosa. Mereka yang menolak Injil yang menawarkan kehidupan dalam Kristus, membawa diri ke dalam kekekalan yang gelap. Mereka yang memilih hidup tanpa Allah, akan hidup tanpa allah: Allah menghormati pilihan kita. Ini juga bagian dari rencana tersebut. Kehendak Allah digenapi dalam penghukuman mereka yang tidak percaya, seperti ia digenapi dalam keselamatan mereka yang beriman kepada Tuhan Yesus. 

Semua itu adalah garis besar rencana Allah, pesan inti tentang Allah yang Alkitab sampaikan kepada kita. Nasihat yang diberikan kepada kita adalah nasihat yang Elifas berikan kepada Ayub: “Berlakulah ramah terhadap Dia, supaya engkau tenteram, dengan demikian engkau memperoleh keuntungan” (Ayb. 22:21). Karena tahu bahwa “Tuhan bertakhta” dan mengerjakan rencana-Nya bagi dunia tanpa rintangan, kita bisa mulai menghargai baik hikmat dari nasihat ini, maupun kemuliaan yang tersembunyi di balik janji ini. 

“SEGALA SESUATU MENDATANGKAN KEBAIKAN”? 

“Tuhan bertakhta.” Inilah kebenaran dasar pertama yang harus kita sadari. Sang Pencipta adalah Raja dalam alam semesta-Nya. Allah “di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya” (Ef. 1:11). Faktor penentu dalam sejarah dunia, tujuan yang mengendalikannya, dan kunci untuk menafsirkannya, adalah rencana kekal Allah. Ketuhanan Allah yang berdaulat merupakan dasar dari pesan Alkitab dan fakta mendasar iman Kristen, dan kita telah melihat bahwa di atasnya dibangun jaminan besar bahwa “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Allah.” Jika benar, ini adalah kabar yang teramat baik. 

Tetapi benarkah keyakinan ini? Klaim ini cukup menyulitkan jiwa-jiwa yang peka dan perenung. Klaim ini tidak mengizinkan demonstrasi rasional, dan ada banyak situasi yang membuat sulit menerimanya. Sebagian yang dialami oleh orang Kristen sangat menyakitkan dan membingungkan kita. Bagaimana mungkin segala kemalangan, keputusasaan, dan hambatan ini merupakan kehendak-Nya? Dalam menanggapi hal ini, kita cenderung menyangkali fakta bahwa Allah memerintah, atau menyangkali kebaikan sempurna dari Allah yang memerintah. Memang mudah untuk menarik kedua kesimpulan ini, tetapi mudah pula untuk keliru. Ketika kita tergoda untuk berbuat demikian, kita harus berhenti dan mengajukan beberapa pertanyaan kepada diri kita. 

BEBERAPA RAHASIA 

Anehkah jika kita dibingungkan oleh apa yang sedang Allah kerjakan? Tidak! Jangan lupa siapa kita! Kita bukan allah; kita adalah ciptaan dan tidak lebih dari itu. Sebagai ciptaan, kita tidak-memiliki hak atau alasan untuk memahami segala hikmat Pencipta kita. Ia sendiri pemah mengingatkan kita: “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu … Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah … rancangan-Ku dari rancanganmu” (Yes. 55:8-9). Sang Raja juga menjelaskan bahwa Ia tidak berkehendak menyingkapkan semua rincian kebijakan-Nya kepada umat-Nya. Seperti yang Musa nyatakan seusai menjelaskan kehendak Allah yang disingkapkan kepada Israel: “Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi TUHAN, Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita … supaya kita melakukan segala perkataan hukum Taurat ini” (Ul. 29:29). 

Prinsipnya adalah, Allah menyingkapkan pikiran dan kehendak-Nya sejauh yang kita perlu ketahui demi tujuan-tujuan praktis, dan kita harus menerima apa yang Ia singkapkan sebagai aturan yang lengkap dan cukup bagi iman dan kehidupan kita. Tetapi ada “rahasia” yang tidak Ia beritahukan. Dan setidaknya dalam kehidupan sekarang ini, Ia tidak berkenan kita menemukannya. Alasan di balik pemeliharaan Allah kadang masuk ke dalam kategori ini. 

Ayub contohnya. Ia tidak pernah diberi tahu tentang tantangan Iblis yang membuat Allah mengizinkan Ayub ditulahi. Ayub hanya tahu bahwa Allah yang mahahadir itu sempurna secara moral, dan menyangkali kebaikan-Nya dalam kondisi apa pun merupakan penghujatan. Ia menolak “mengutuki Allah” bahkan saat hidupnya, anak-anaknya, dan kesehatannya direnggut (Ayb. 2:9-10). Pada hakikatnya ia tetap menolak tindakan tersebut sampai akhir, sekalipun ucapan keliru dari teman-teman sombongnya yang bermaksud baik, membuatnya hampir gila dan terkadang memaksanya mengeluarkan kata-kata kasar tentang Allah (yang kemudian ia sesali). Walau bukan tanpa pergumulan, Ayub memegang teguh integritasnya selama masa ujian dan mempertahankan keyakinannya pada kebaikan Allah. 

Keyakinan Ayub terbukti. Ketika masa ujian berakhir, sesudah Allah mendatangi Ayub dengan penuh kemurahan untuk memperbarui kerendahan hatinya (40:1-5; 42:1-6) dan Ayub dengan taat berdoa bagi ketiga teman yang membuatnya hampir gila, “TUHAN memberikan kepada Ayub dua kali lipat dari segala kepunyaaannya dahulu” (Ayb. 42:10). Yakobus menulis, “Kamu telah mendengar tentang Ayub dan kamu telah tahu apa yang pada akhirnya disediakan Tuhan baginya, karena Tuhan mahapenyayang dan penuh belas kasihan” (Yak. 5:11). Apakah rangkaian mala petaka yang menimpa Ayub berarti Allah telah turun takhta atau telah meninggalkan hamba-Nya? Tidak! Pengalaman Ayub membuktikan hal ini. Namun alasan mengapa Allah membuangnya ke dalam kegelapan tak pernah disingkapkan kepadanya. Jadi bolehkah Allah, demi maksud-Nya yang bijaksana, memperlakukan para pengikut-Nya yang lain seperti Ayub? 

Tetapi ada hal lain yang harus disampaikan. Ada pertanyaan kedua yang harus diajukan. 

Apakah Allah membiarkan kita sama sekali tidak mengetahui apa yang sedang Ia kerjakan dalam memelihara dunia ini? Tidak! Ia memberi kita informasi lengkap tentang tujuan utama yang sedang Ia kerjakan, dan alasan positif utama dalam ujian yang dialami oleh orang Kristen. 

Apakah yang sedang Allah kerjakan? Ia sedang “membawa banyak orang kepada kemuliaan” (Ibr. 2:10). Ia akan menyelamatkan sekumpulan besar orang berdosa. Ia mengerjakan tugas ini sejak dimulainya sejarah. Ia menghabiskan waktu berabad-abad untuk mempersiapkan suatu umat dan suatu tempat dalam sejarah bagi kedatangan Putra-Nya. Kemudian Ia mengutus Putra-Nya ke dalam dunia agar Injil dapat ada, dan kini Ia mengirimkan Injil¬Nya ke dalam dunia agar Gereja dapat ada. Ia telah meninggikan Putra-Nya di atas takhta alam semesta, dan Kristus yang bertakhta kini mengundang orang berdosa datang kepada-Nya, memelihara mereka, membimbing mereka, dan pada akhirnya membawa mereka masuk ke dalam kemuliaan-Nya, bersama dengan Dia. 

Allah menyelamatkan manusia melalui Putra-Nya. Pertama-tama karena Kristus, Ia membenarkan dan mengadopsi mereka ke dalam keluarga-Nya begitu mereka percaya, dan dengan demikian memulihkan hubungan mereka dengan diri-Nya yang pernah putus karena dosa. Setelah hubungan ini pulih, Allah terus berkarya di dalam diri mereka untuk memperbarui mereka dalam citra Kristus, sehingga keserupaan keluarga bisa semakin tampak di dalam diri mereka. Pembaruan ini terus bertumbuh pada masa kini dan akan disempurnakan kelak, dan inilah yang Paulus sebut sebagai “kebaikan” yang untuknya segala sesuatu bekerja “bagi mereka yang mengasihi Dia … yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Rm. 8:28). Seperti yang Paulus jelaskan, Allah ingin agar mereka yang Ia pilih dan panggil “menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara” (Rm. 8:28-29). Menurutnya semua pengaturan keadaan yang Allah lakukan, dirancang untuk menggenapi tujuan ini. “Kebaikan” yang untuknya segala sesuatu bekerja bukan berupa kemudahan atau penghiburan yang langsung dinikmati oleh anak-anak Allah (seperti yang terlalu sering dikatakan), melainkan kekudusan dan keserupaan mereka dengan Kristus. 

Apakah semua ini menolong kita memahami bahwa keadaan buruk bisa menjadi bagian dari rencana Allah? Tentu! Seperti ditunjukkan oleh penulis Surat Ibrani, hal ini memberikan secercah cahaya pada masalah yang ada. Kepada orang Kristen yang berkecil hati dan apatis karena tekanan kesulitan yang tak henti-hentinya, ia menulis: “Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: ‘Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak’ Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? … Dari ayah kita yang sebenarnya kita beroleh ganj aran, dan mereka kita hormati; kalau demikian bukankah kita harus lebih taat kepada Bapa segala roh, supaya kita boleh hidup? … Dia menghajar kita untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya. Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang membenkan damai kepada mereka yang dilatih olehnya” (Ibr. 12:5-11, mengutip Ams. 3:11-12, penekanan ditambahkan). 

Jelas terlihat bahwa seperti Paulus, penulis Ibrani juga menyamakan “kebaikan” bagi orang Kristen, bukan dengan kemudahan dan ketenangan, melainkan dengan pengudusan. Bagian ini begitu gamblang sehingga tak perlu dikomentari, hanya perlu dibaca berulang kali setiap kali kita sulit untuk percaya bahwa kesukaran yang sedang menimpa kita (atau sesama orang Kristen), bisa merupakan kehendak Allah. 

TUJUAN DARI SEMUA INI 

Namun masih ada yang perlu dikatakan. Pertanyaan ketiga yang harus kita ajukan kepada diri kita adalah: Apakah tujuan akhir Allah saat berurusan dengan anak-anak-Nya? Apakah sekadar kebahagiaan mereka ataukah ada yang lebih daripada itu? Alkitab menunjukkan bahwa tujuan akhir itu adalah kemuliaan Allah sendiri. 

Tujuan akhir dari seluruh tindakan Allah adalah diri-Nya sendiri. Hal ini mutlak benar setara moral. Jika kita berkata bahwa tujuan tertinggi manusia adalah memuliakan Allah, bagaimana kita bisa berkata bahwa Allah memiliki tujuan yang berbeda? Sanggahan bahwa kita tak selayaknya menyebut Allah bertujuan memuliakan diri-Nya sendiri, lupa bahwa Allah dan manusia tidak setara. Sanggahan ini tidak menyadari bahwa jika manusia memuliakan diri dengan mengorbankan ciptaan lain, Allah yang mahapemurah memuliakan diri dengan memberkati umat-Nya. Tujuan-Nya menebus manusia adalah “puji-pujian bagi kemuliaan-Nya” (Ef. 1:6, 12, 14). Ia ingin menunjukkan kemudahan-Nya (“kekayaan” kemurahan dan kemuliaan-Nya – “Kemuliaan” adalah keseluruhan sifat dan kuasa yang Ia singkapkan: Ef. 2:17; 3:16) dalam membawa orang-orang kudus-Nya kepada kebahagiaan terbesar mereka, yaitu kebahagiaan di dalam kebahagiaan-Nya. 

Tetapi bagaimanakah kebenaran ini, kebenaran bahwa Allah memuliakan diri-Nya ketika berurusan dengan kita, dapat menjelaskan masalah pemeliharaan? Kebenaran ini menolong kita melihat cara Allah menyelamatkan kita, dengan memberi tahu kita mengapa Ia tidak membawa kita ke sorga begitu kita percaya. Kita sekarang tahu bahwa Ia meninggalkan kita dalam dunia yang berdosa ini untuk diuji, dicobai, diterjang oleh masalah yang mengancam akan melumatkan kita – agar kita dapat memuliakan-Nya melalui ketabahan kita menanggung penderitaan, dan agar Ia dapat menunjukkan kekayaan kemurahan-Nya dan membangkitkan pujian kita saat Ia menopang kita dan membebaskan kita terns-menerus. Mazmur 107 merupakan deklarasi agung akan kebenaran ini. 

Apakah hal ini sulit dimengerti? Tidak bagi mereka yang telah belajar bahwa tujuan utama mereka di dunia ini adalah untuk “memuliakan Allah dan [dengan demikian] menikmati Dia selama-lamanya.” Inti dari agama sejati adalah untuk memuliakan Allah melalui ketabahan menderita dan memuji Dia atas pembebasan-Nya yang penuh kemurahan. Ini berarti menjalani hidup di dalam ketaatan dan ucapan syukur, baik saat berada di tempat yang empuk maupun kasar. Ini berarti mencari dan menemukan sukacita terdalam bukan dalam kenyamanan rohani, melainkan dalam menemukan bahwa Kristus dapat menyelamatkan kita dari setiap badai dan konflik. Ini berarti tahu pasti bahwa jalan Allah adalah yang terbaik bagi kebahagiaan kita dan bagi kemuliaan-Nya. Tak ada masalah pemeliharaan yang akan mengguncang iman orang yang telah sungguh-sungguh mempelajari semua ini. 

KEMULIAAN ALLAH 

Jadi, kita perlu memahami bahwa Allah Pencipta memerintah dunia-Nya demi kemuliaan-Nya sendiri. “Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Rm. 11:36); Dia sendirilah akhir dari segala karya-Nya. Dia tidak ada demi kebaikan kita, melainkan kita ada demi kemuliaan-Nya. Adalah hal yang wajar dan merupakan hak prerogatif Allah untuk menyenangkan diri-Nya, dan rencana baik yang Ia singkapkan adalah untuk membuat diri-Nya besar di mata kita. Ia berkata “Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah! Aku ditinggikan di antara bangsa-bangsa, ditinggikan di bumi!” (Mzm. 46:11). Tujuan utama Allah adalah memuliakan diri-Nya. 

Karena kebenaran ini begitu penting dan sering kali sulit diterima, saya ingin mempertajam fokus akan hal ini dengan lebih memerincinya. Begitu kita mengerti konsep ini dengan jelas, segala hal lain dalam Kekristenan akan menjadi gamblang dan masuk akal. Selama kita belum yakin, iman alkitabiah lainnya akan tetap menyulitkan kita. Mari kita melihat kembali apa yang telah kita katakan tentang Pencipta kita. 

Kemasukakalannya. Kita awalnya akan sulit percaya bahwa Allah selalu bertujuan untuk memuliakan diri-Nya. Kita langsung merasa bahwa gagasan ini tidak layak dikenakan kepada Allah, bahwa kepedulian kepada diri sendiri tidak akan pemah sesuai dengan kesempurnaan moral Allah dan natur-Nya yang mahakasih. Banyak orang beradab yang peka secara moral akan terkejut oleh pemikiran bahwa tujuan utama Allah adalah memuliakan diri-Nya sendiri, dan mereka sangat menentang konsep ini. Bagi mereka, itu berarti menyamakan Allah dengan manusia yang jahat atau bahkan dengan Iblis itu sendiri! Bagi mereka, doktrin itu sesuatu yang imoral dan kasar, dan jika Alkitab mengajarkan demikian, Alkitab juga bersifat imoral dan kasar! Mereka sexing menarik kesimpulan ini saat menyoroti Perjanjian Lama. Tulisan yang menggambarkan Allah sebagai Pribadi “pencemburu” yang begitu memperhatikan “kemuliaan”-Nya, tak bisa dianggap sebagai kebenaran ilahi. Allah tidak seperti itu. Itu adalah penghujatan, bahkan sekalipun kita tidak sengaja berpikir seperti ini! Karena keyakinan ini dianut oleh banyak orang dengan sangat kuat, kita perlu mempertimbangkan keabsahannya. 

Kita mulai dengan bertanya: Mengapa keyakinan ini begitu kuat? Orang bisa membicarakan masalah-masalah teologis lain dengan tenang, tetapi terhadap doktrin ini muncullah protes yang begitu bernafsu dan kadang penuh kegeraman. Jawabannya tidak sulit dan terletak pada ketulusan moral si pembicara. Orang-orang ini peka terhadap keberdosaan dari sikap orang yang terus mementingkan diri. Mereka tahu bahwa hasrat menyenangkan diri merupakan akar kelemahan dan kekurangan, dan mereka berjuang keras untuk menghadapi dan melawannya. Jadi mereka menyimpulkan bahwa Allah yang berpusat pada diri pasti juga sama buruknya. Kerasnya mereka menolak gagasan bahwa Allah yang kudus meninggikan diri-Nya, mencerminkan kepekaan mereka terhadap kesalahan manusia yang melulu hanya memperhatikan diri sendiri. 

Apakah kesimpulan ini sah? Kami ulangi: kesimpulan ini mutlak salah. Jika manusia boleh bertujuan memuliakan Allah, salahkah Allah jika memiliki tujuan yang sama? Jika manusia tak mungkin memiliki tujuan yang lebih tinggi dari kemuliaan Allah, bagaimana Allah mungkin? Jika manusia salah jika tujuannya kurang dari ini, demikian pula dengan Allah. Alasan manusia tidak boleh hidup bagi diri-Nya sendiri seakan-akan dia adalah Allah, adalah karena dia bukan Allah. Namun Allah tidak bersalah jika bertujuan memuliakan diri-Nya, karena Dia memang adalah Allah. Mereka yang bersikeras bahwa Allah tidak boleh memuliakan diri-Nya sesungguhnya meminta Dia berhenti menjadi Allah. Dan tidak ada penghujatan yang lebih besar dari menghendaki hal seperti ini. 

Jika penalaran dari sanggahan ini jelas keliru, mengapa hal ini diterima oleh banyak orang pada masa kini? Itu karena kita terbiasa menjadikan Allah menurut citra kita dan menganggap seolah-olah Dia dan kita setara. Dengan kata lain, kewajiban-Nya kepada kita sama dengan kewajiban kita kepada-Nya – seolah-olah Dia harus melayani dan membahagiakan kita dengan menyangkal diri, seperti yang merupakan kewajiban kita dalam melayani-Nya. Ini berarti menganggap Allah seolah-olah Dia adalah manusia, sekalipun mungkin manusia yang agung. Jika pemikiran ini benar, maka Allah yang berusaha memuliakan diri-Nya bisa disamakan dengan manusia yang paling buruk clan bahkan dengan Iblis itu sendiri.

Tetapi Pencipta kita bukan manusia, bukan pula manusia super yang mahakuasa, clan memikirkan Dia seperti ini berarti penyembahan berhala. (Anda tak perlu membuat patung Allah untuk menjadi penyembah berhala; gambaran mental yang keliru sudah bisa membuat Anda melanggar Perintah Kedua.) Jadi, kita jangan membayangkan bahwa kewajiban yang mengikat kita sebagai ciptaan, juga secara setara mengikat Dia sebagai Pencipta. Kebergantungan merupakan hubungan satu arah dan memiliki kewajiban satu arah. Anak harus patuh kepada orangtua, bukan sebaliknya! Kebergantungan kita kepada Sang Pencipta mengikat kita untuk mencari kemuliaan-Nya tanpa mewajibkan Dia memuliakan kita. Bagi kita, memuliakan Dia adalah kewajiban; bagi Dia, memberkati kita adalah kasih karunia. Satu-satunya hal yang mengikat Allah adalah apa yang Ia tuntut untuk kita lakukan, yaitu memuliakan diri-Nya. 

Jadi, kita menyimpulkan bahwa bukan suatu penghujatan jika kita berkata bahwa Allah berpusat pada diri-Nya sendiri; sebaliknya, tidak berkata demikian berarti fasik. Merupakan kemuliaan bagi Allah jika Ia menciptakan segala sesuatu bagi diri-Nya dan memakainya sebagai alat kemuliaan-Nya. Orang Kristen yang berpengertian akan menegaskan hal ini. Dia juga akan menegaskan bahwa merupakan kemuliaan jika ia diberi hak untuk menjadi alat bagi kemuliaan Allah. Tidak mungkin ada kemuliaan yang lebih besar bagi manusia selain memuliakan Allah. “Tujuan utama manusia adalah memuliakan Allah,” dan hanya dengan berbuat demikian manusia menemukan kemuliaannya sendiri. 

Kaum humanis, yang yakin manusia akan mencapai kemuliaan tertinggi dan menyerupai yang ilahi jika membuang rintangan agama, akan berkata bahwa meyakini bahwa manusia tak lebih dari sekadar alat untuk memuliakan Allah, berarti merampas nilai sejati dari hidup manusia. Namun, yang sebaliknya justru benar. Hidup tanpa Allah justru tidak berarti dan begitu ganjil. Saat kita berkata bahwa manusia tak lebih dari sekadar alat untuk kemuliaan Allah, kita juga berkata bahwa manusia tak kurang dari itu, sehingga menunjukkan betapa hidup ini berarti dan bernilai. Satu-satunya manusia di dunia yang menikmati kepuasan sejati adalah dia yang tahu bahwa satu-satunya kehidupan yang-bernilai dan memuaskan, adalah menjadi alat bagi kemuliaan Allah. Jalan menuju kebahagiaan sejati adalah dengan menjadi manusia sejati clan jalan menuju manusia sejati adalah dengan menjadi manusia yang sungguh-sungguh saleh. 

Maknanya. Apakah artinya ketika kita berkata bahwa tujuan utama Allah adalah kemuliaan-Nya? Bagi sebagian besar kita, frasa “kemuliaan Allah” tak berarti apa pun. Kepentingan apakah yang Kitab Suci berikan kepada frasa ini? Dalam Perjanjian Lama, kata yang diterjemahkan “kemuliaan” pada awalnya berarti bobot. Kemuliaan merujuk pada ciri-ciri yang membuat seseorang “berbobot” dalam pandangan orang lain, yang mendorong mereka menghormati dan menghargainya. Keberuntungan Yakub dan kekayaan Yusuf disebut “kemuliaan” (Kej. 31:1; 45:13). Istilah ini kemudian diperluas menjadi kehormatan. 

Saat merujuk kepada Allah, Alkitab memakai kata ini dengan makna ganda. Di satu sisi, kata ini merujuk pada kemuliaan yang Allah miliki – keindahan dan keagungan yang melekat pada seluruh penyingkapan Allah akan diri-Nya. Di sisi lain, ia merujuk pada pemuliaan yang diberikan kepada Allah – hormat dan sujud, puji-pujian dan penyembahan yang berhak Allah terima, satu-satunya tanggapan yang sesuai akan hadirat-Nya yang kudus. Yehezkiel 43:2 dst. menggambarkan kaitan ini: “Sungguh, kemuliaan Allah Israel datang … maka aku sembah sujud.” Kata kemuliaan di sini mengaitkan pemikiran akan kelayakan Allah untuk dipuji – keagungan kuasa dan hadirat-Nya – dengan penyembahan, yang merupakan tanggapan yang benar ketika Allah berdiri di hadapan kita dan kita di hadapan-Nya. 

Marilah kita sejenak memisahkan kedua pemikiran ini. 

Dalam pewahyuan, Allah memperlihatkan kemuliaan-Nya. Kemuliaan berarti Allah di dalam manifestasi-Nya. Penciptaan menyatakan diri-Nya. “Langit menceritakan kemuliaan Allah” (Mzm. 19:2). “Seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya!” (Yes. 6:3). Pada zaman Alkitab, Allah menyingkapkan hadirat-Nya melalui teofani yang menyatakan “kemuliaan”-Nya (awan berkilauan dalam tabut dan bait suci, Kel. 40:34, 1Raj. 8:10 dst.; penglihatan Yehezkiel tentang takhta dan roda, Yeh. 1:28; dll.) Orang percaya kini memandang kemuliaan Allah yang dengan sempurna “tampak pada wajah Kristus” (2Kor. 4:6). Di mana saja kita melihat Allah bertinclak, di sana kita melihat kemuliaan-Nya. Ia menampilkan diri-Nya sendiri di hadapan kita sebagai Pribadi yang kudus dan indah, dan kita diundang untuk tunduk dan menyembah. 

Kita memuliakan Allah. Kita melakukannya dengan menanggapi penyataan kasih karunia-Nya: 
Melalui penyembahan dan puji-pujian. “Siapa yang mempersembahkan syukur sebagai korban, ia memuliakan Aku (Mzm. 50:23); “Berilah kepada TUHAN kemuliaan nama-Nya” (Mzm. 96:8); “Memuliakan Allah karena rahmat-Nya” (Rm. 15:9). 
Dengan mempercayai firman-Nya. “Dasar firman-Mu adalah kebenaran” (Mzm. 119:160); “Segala firman-Mulah kebenaran” (2Sam. 7:28). 
Dengan mempercayai janji-janji-Nya (dengan cara ini Abraham memuliakan Allah, Rm. 4:20 dst.). 
Dengan mengakui Kristus sebagai Tuhan, “Bagi kemuliaan Allah Bapa!” (Flp. 2:11). 
Dengan menaati hukum Allah. “Buah kebenaran” adalah “memuliakan dan memuji Allah” (Flp. 1:11). 
Dengan tunduk pada penghukuman-Nya yang adil atas dosa-dosa kita (maka Akhan memuliakan Allah, Yosua 7:19 dst.). 7. Dengan berusaha mengagungkan Dia (yang berarti membuat diri sendiri kecil) dalam hidup kita sehari-hari. 

Sekarang kita bisa melihat makna dari pernyataan bahwa tujuan utama Allah adalah kemuliaan-Nya. Itu berarti kepada ciptaan-Nya yang berakal budi Ia bermaksud memperlihatkan kemuliaan hikmat, kuasa, kebenaran, keadilan, dan kasih-Nya, sehingga mereka mengenal Dia dan dengan mengenal Dia, memuliakan Dia selama-lamanya melalui kasih dan kesetiaan, penyembahan dan puji-pujian, kepercayaan dan ketaatan. Persekutuan yang ingin Ia ciptakan dengan kita adalah suatu relasi yang di dalamnya Ia memberikan kekayaan-Nya sepenuhnya, dan kits memberikan syukur setulus hati. Ketika Ia menyatakan diri sebagai Allah yang “cemburu” dan mengumumkan: “Aku tidak akan memberikan kemuliaan-Ku kepada yang lain!” (Yes. 42:8; 48:11), Ia ingin menjaga kemurnian dan kekayaan dari relasi ini. Seperti inilah maksud Allah. 

Seluruh karya Allah adalah sarana bagi tujuan ini. Satu-satunya jawaban yang Alkitab berikan atas pertanyaan yang dimulai dengan: “Mengapa Allah … ?” adalah: “Demi kemuliaan-Nya.” Untuk inilah Allah memutuskan mencipta dan untuk inilah Ia memilih membiarkan dosa. Ia bisa saja menghindarkan manusia dari pelanggaran. Ia bisa saja menghalangi Iblis masuk ke Taman Eden atau meneguhkan Adam sehingga tidak mampu berbuat dosa (seperti yang akan Dia lakukan terhadap kaum tebusan di sorga). Tetapi Dia tidak melakukannya. Mengapa? Demi kemuliaan-Nya. Sering dikatakan bahwa yang termulia dalam diri Allah adalah kasih penebusan-Nya, yaitu kemurahan yang menyelamatkan orang berdosa melalui pencurahan darah Putra Allah. Tetapi tidak akan ada penyataan kasih yang menebus jika dosa tak terlebih dulu diizinkan. 

Mengapa Allah memilih untuk menebus? Sebenarnya Ia tak perlu berbuat demikian. Ia tidak wajib menyelamatkan kita. Kasih-Nya kepada orang berdosa, keputusan-Nya menyerahkan Putra-Nya bagi mereka, merupakan pilihan bebas yang tidak harus Ia buat. Mengapa Dia memilih untuk mengasihi dan menebus yang tak layak dikasihi? Alkitab memberi tahu kita: “Supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia … menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya…” (Ef. 1:6,12,14). 


Baca Juga: TAFSIRAN KEJADIAN 3:14-15

Tujuan yang sama juga menentukan berbagai tahap rencana keselamatan. Sebagian Ia pilih untuk hidup; yang lain Ia biarkan dalam penghukuman yang memang patut mereka terima. Ia “menunjukkan murka-Nya dan menyatakan kuasa-Nya … untuk menyatakan kekayaan kemuliaan-Nya atas benda-benda belas kasihan-Nya” (Rm. 9:22 dst.). Ia membentuk jemaat-Nya dari sisa-sisa dunia, yaitu mereka yang “bodoh … lemah … tidak terpandang … dan hina.” Mengapa? “Supaya jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah…. Seperti ada tertulis: `barangsiapa yang bermegah, hendaklah ia bermegah di dalam Tuhan”‘ (1 Kor. 1:29-31). Mengapa Allah tidak mencabut dosa dari orang kudus begitu mereka menjadi Kristen, seperti yang akan Ia lakukan begitu mereka mati? Mengapa Ia menguduskan mereka secara perlahan dan menyakitkan, sehingga seumur hidup mereka diganggu oleh dosa dan tak pernah mencapai kesempurnaan seperti yang mereka inginkan? Mengapa Ia memberikan perjalanan yang sulit di dunia ini? 

Jawabnya tetap: Ia melakukan semua ini demi kemuliaan-Nya, yaitu untuk menunjukkan kelemahan dan ketidakberdayaan kita, sehingga kita belajar bersandar pada anugerah dan kuasa penyelamatan-Nya. “Harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami” (2Kor. 4:7). Sekali lagi untuk terakhir kali, marilah kita menyingkirkan gagasan bahwa Allah tak berdaya mengatasi apa yang terjadi. Allah “di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya” (Ef. 1:11), dan segala sesuatu dapat teriadi karena Allah memilih untuk menjadikan mereka, dan alasan pilihan-Nya selalu demi kemuliaan-Nya.RENCANA ALLAH BAGI ANDA - 




J.I.PACKER.
https://teologiareformed.blogspot.com/2019/01/rencana-allah-bagi-anda-jipacker.html#

Tags